Hi…
Apa kabar kamu, gadis yang tak
pernah ingin kuputuskan? Anakmu sudah dua, ya? Semoga ayahnya mencintai mereka
seperti aku mencintaimu (sedari) dulu. Abaikan kata dalam kurung karena itu
bukan hakku sekarang.
Tapi bukankah cinta seharusnya
milik semua orang? Juga dia, lelaki terbelakang yang menyergapmu dari belakang.
Semua gelap sejak itu. Kau dan aku tiga bulan dalam kegelapan yang
menyinggahkanku pada pikiran-pikiran tergelapku.
'Ia tak mencintaiku lagi.',
'Ia sudah punya yang lain,',
'Ia sudah tidak kuat lagi menjalani hubungan jarak
jauh ini'.
Tiga tahun, Tin. Tiga tahun.
Aku kuat hanya dengan dosis 30 menit yang diberikan Tuhan pada kita. Itu sudah
lebih dari cukup untuk melegakan sejenak perasaan yang sudah lama tertahan. Apa
kau masih ingat 30 menit di pintu kedatangan bandara saat itu? Haha, maaf
rupaku jelek. Ospek baru selesai kala itu, kepalaku masih botak. Begitu juga
Ardi. Dede sudah botak waktu SMA, andai saja kau sempat melihatnya, hihi.
Tiga tahun. Terlalu banyak
cerita untuk satu kisah jarak jauh. Dari yang lucu, saat kakakku yang paling nakal
disalahkan atas tagihan telepon yang membengkak. Yang menyenangkan dari kita, seperti
bertukar kabar melalui surat dan kado, sampai yang sedih saat ibumu yang
mengangkat teleponku.
Ya, tiga bulan sejak kau
menghilang, seorang teman yang 'pintar' mengingatkanku sesuatu. 'Hubungi dia
segera!' pesannya lewat channel private message mIRC. Jika kau tahu, security
bank itu sempat mengira ada keluargaku yang meninggal,
melihatku tak bergeming duduk dipinggir trotoar dengan telepon masih menempel
di telinga dan pipi basah. Tidak, bajuku yang basah. Aku tertunduk dari kalimat
pertama dilontarkan ibumu.
Aku mengerti sekarang kenapa
kau menghilang. Yang aku tidak mengerti, kenapa terjadi padamu? Aku pernah
mendengar berita buruk tentang dirimu, tapi aku yakin itu bukan kamu.
Kujabarkan dari tiga lembar HVS suratmu dengan spasi satu. Aku sama gelapnya
dengan dirimu saat itu. Jika kau tahu, ibuku setuju aku menjemputmu dan
membawamu dari sana, menghilang dari hujatan tetangga yang selalu meminta gula
di rumahmu tiap harinya.
Tapi kita terlalu realistis
saat itu. Aku yakin kau tak ingin memberatkanku dengan beban baru, aku pun
terlalu naif jika memaksamu ada di sini. Mungkin, orang di sini lebih kasar
menghujatmu, seperti dua suku kata terakhir nama kota ini.
Kau tahu, pertemuan terakhir
kita lebih singkat terasa dibanding 30 menit di bandara dulu. Setidaknya aku
bisa melihat keluargamu utuh. Sudah lama aku tak bertemu ibumu, ia makin tua
dalam keriput wajahnya. Juga pertama kali bertemu adikmu. Kudengar dulu ia
hampir dinamai serupa namaku? Lalu yang pasti si jagoan, dan pastinya suamimu.
Aku sudah yakin dari awal berjumpa dengannya, ia akan menjagamu sebaik mungkin.
Walau tak sebaik aku menjaga smartphone peninggalanmu sekarang, karena
keteledoranku sendiri menghilangkan punyaku. Tapi aku yakin, sebaik aku menjaga
kenangan tentangmu.
Tapi inilah hidup. Kadang, ada
yang seharusnya terjadi tapi tak akan terjadi.
Saat semua tak seharusnya, aku
lebih memilih tak memutuskanmu.
from the deepest heart of @restuwashere
1 komentar:
eh namaku ada donk... knp tak d tulis.. kita kan dapat coklat :)
Post a Comment