Thursday 20 January 2011

Tali-tali Sinai

Bagaimana cinta bisa memperdaya tubuhku sementara aku sibuk. Sibuk yang terlalu. Aku sibuk menggunakan otak dan tubuhku bekerja siang malam. Mulutku berbicara sepanjang hari, menjelaskan pada setiap orang yang memasuki ruko kotak itu mengenai detil yang kami jual. Mataku awas mengamati gerak-gerik siapa saja di dalam ruangan. Selain bernapas, hidungku tidak pernah berhenti mengendus-endus bau parfum mereka. Pikiranku pun tidak kenal frasa buang waktu. Ia sangat kompromis dan berdedikasi memajukan hidupku. Ia cerdas, menciptakan banyak terobosan baru dengan ide-ide bisnis superuniknya. Bersamanya, aku merancang seragam pegawai kantor ini, menggantikan seragam lama yang berwarna kulit telur bebek.

Hatiku, pasti kau mengira ia tidak sesibuk properti tubuhku yang lain. Seandainya kau bisa memantaunya, tentu kau akan akui pekerjaan keras yang ia lakoni. Lebih keras dari yang digeluti otakku selama lima tahun belakangan ini. Hatiku membuat dirinya jatuh cinta pada kantor ini. Pada sekat kacanya yang seksi, pada lembut beludru sofa. Pada kayu dan paku meja kerjaku dan meja rekanku. Juga pada langit-langit kantor yang mulus.

Aku sibuk dalam makna keseluruhan, tapi kenapa aku jatuh cinta. Aku penuh tidak percaya. Dan pada hawa tipe begitu.
Hawa yang kumaksudkan terlalu biasa untuk memencet tombol pause kegiatanku. Aneh malahan. Ia tidak bisa membangkitkan nafsuku. Karena tubuhnya dihijabi kain tebal panjang. Yang bisa kulihat dari dirinya, hanya wajahnya. Terkadang pula cuma matanya.

Aku pernah menemukan orang berpakaian seperti itu saat kuantar Sudan ke sebuah bangunan berkubah selebar rumahku. Bangunan itu tidak seperti desain perumahan, apalagi mirip dengan ruko. Bangunan itu memiliki pintu di setiap sisinya, kecuali sisi bagian depan yang ditempati sebuah mimbar. Orang berpakaian seperti itu memenuhi ruangan itu, mondar-mandir melakukan banyak kegiatan asing. Ada yang membersihkan, membaca sebuah kitab berhuruf seperti mie instan. Sementara yang laki-laki sibuk di sekitar mimbar. Tapi anehnya, antara mereka dan para laki-laki itu seperti ada sekat yang panjang. Hingga mereka seperti tidak saling mengenal. Sudan menghampiri laki-laki yang menghadap ke mimbar. Mereka ngobrol sejenak. Mereka bersalaman, membuat laki-laki itu tersenyum. Sisa tangisnya masih bisa kutangkap.
“Berbahagialah orang yang bisa menangis dalam tempat ini,” ujar Sudan begitu menghampiriku. Kami lalu duduk di sisi kanan bangunan itu. Ketika terdengar suara bertalu-talu yang sempat mengagetkanku, Sudan bangkit. Semua yang ada di dalam bangunan itu bangkit. Serentak mereka menuju barisan keran air di luar bangunan. Mereka membasuh tangan, seluruh wajah, tangan, kepala, dan kaki. Gerakan mereka teratur dan penuh penghayatan. Setelah suara bertalu-talu itu berhenti, mereka berdiri merapat menghadap ke mimbar. Segaris. Yang laki-laki di depan, dan yang perempuan di belakang. Mereka melakukan gerakan aneh. Aku teringat pada gerakan yang mirip dengan itu, aku paling senang melakukannya saat masih SD. Disertai lagu, “Kepala, pundak, lutut-kaki, lutut-kaki...”

Hawa seperti dia juga biasa kutemukan di kampus-kampus besar dan sekolah bernama pesantren. Tapi aku paling jarang menemukan hawa tipe begitu di tempat favoritku, kafe-kafe dan resort. Pun tidak pernah ada di majalah dewasa langgananku.
Satu hal yang paling tidak bisa kubayangkan saat aku sembunyi-sembunyi menatap matanya. Padahal hal itu merupakan hobi nomor satuku. Aku betul-betul tidak bisa menelanjanginya dengan mataku. Sensor kelaki-lakianku tidak mengedip. Hanya mataku, yang meski ratusan kali kukedipkan padanya pun, ia tetap urung niat menoleh padaku.
Dulu ada hawa seperti dia di perumahanku. Hawa itu baik, menurut para ibu. Mereka senang bertanya padanya tentang resep masakan. Baru sebulan di komplek, ia diusir. Katanya warga tidak mau komplek ini digerebek polisi. Terakhir kali kulihat ia pada hari dimana kompleks kami dimasuki armada kepolisian, waktu warga meneriakinya teroris.


Menurutku, ia tidak mungkin melakukan tindakan yang mencemaskan orang lain. Hanya saja, ia sedikit sinting. Daerah ini cuacanya panas. Aku saja yang selalu mengenakan kemeja tipis, masih gatal mau toples-toplesan di kantor. Lihat dia, dia membungkus dirinya dengan pakaian satu warna, yang setiap hari warnanya hanya hijau tua. Sebagai pencinta fashion, aku sebal melihatnya mondar-mandir seperti kepompong begitu.

Ia datang ke sini setiap hari jumat untuk mengajari bosku membaca kitab bertulisan seperti mie instan itu. Bosku, yang suka mengikat satu rambutnya, kini turut pula memakai jubah kepompong. Mereka berdua aneh, tapi cantik. Seperti bunga...ah bukan. Seperti kupu-kupu atau pelangi. Hm...mungkin seperti ketiganya jika digabungkan. Ah, aku sungguh tidak bisa mengumpamakannya.

“Hai, aku Rendi!” tidak tahan, aku memaksa diri berkenalan dengannya. Hawa itu tidak melihat uluran tanganku. Ia meletakkan kedua tangannya di depan dada,

“Assalamu ‘alaikum,” ujarnya.

“Apa itu?”

“Selamat kepadamu, akhii. Afwan, saya Sinai,” singkat bukan? Tidak seperti pakaiannya yang repot. Ucapan-ucapannya praktis pada siapa saja. Membuatku selalu bertanya-tanya, setinggi apa kecerdasannya sampai merasa buang-buang waktu untuk ngobrol lama denganku.

“Bu Ratna, sebenarnya dia itu siapa?”
tanyaku pada bosku. Yang kami bicarakan sudah meninggalkan kantor.

“Oooh, dia dulu temanku saat masih kuliah. Baik bukan?”
jawab bosku. Terpancar dari matanya bahwa ia amat mengagumi Sinai.

“Aku pun heran padanya, Rendi. Ia sudah memilih jalan hidupnya itu sejak kami remaja. Aku kira ia begitu karena silsilah keluarga. Karena ayah dan ibunya yang alim betul, terpaksa ia juga membungkus diri dan membiarkan dirinya tidak menikmati kenikmatan dunia. Padahal bukan. Ia memang terlahir untuk begitu. Untuk membunuh diri sendiri. Katanya, kalau ingin islam jangan setengah-setengah,”

Sinai betul-betul menggerogoti hidupku. Seperti zat dalam rokok tipis kesukaanku. Semenjak mengenalnya, perbendaharaan kataku bertambah. Mulai dari, hijab, nama kitab itu, Al-Qur’an dan kini menyeruak kata Islam yang seketika membuat hatiku tergetar hebat.

“Apa itu?”

“Itu yang mulai kuanut sekarang, Sinai yang memperkenalkannya padaku. Ia membawa Al-Qur’an ini untuk aku pelajari. Dan isinya betul-betul di luar nalar saya. Tapi hati saya memahaminya dengan baik,”

Sinai hawa yang penuh tanda tanya. Mataku, mulutku, telingaku, hatiku bertanya. Dan ada satu lagi yang melontarkan pertanyaan tentang munculnya Sinai. Dia jiwaku. Aku tidak menyangka ia akan ambil andil dalam urusan ini. Namun jiwaku bertanya bukan tentang Sinai, melainkan tentang keyakinan yang melahirkannya, Islam.

“A ba ta tsa...” Bu Ratna mulai lancar membunyikan huruf buku iqra. Sinai tersenyum, “Masya Allah, bagus sekali. Besok kamu sudah bisa membaca iqra jilid dua. Artinya empat buku lagi untuk membaca Al-Qur’an yang sebenarnya,”
Bu Ratna senang tak main-main. Ia kegirangan dan meloncat-loncat di depan mejanya.

“Baca hamdalah, Ratna...”

“Eh, maaf. Hamdalah...hamdalah..hamdalah...”

“Hamdalah itu Alhamdulillah. Ya sudah, saya pulang dulu. Assalamu alaikum,” Sinai pamit sambil menahan rasa geli.

“Saya juga pamit, Bu!” seruku. Air muka Bu Ratna berubah, karena jam kerjaku belum selesai. Aku bilang ada keperluan mendadak. Ia memberiku izin dengan catatan besok harus lembur. Aku tidak betulan pulang. Pertanyaan-pertanyaanku butuh jawaban secepat mungkin. Aku butuh perpustakaan.

Rak-rak di dalam tempat ini berbaris rapi seperti perwira angkatan laut. Di atas kepala mereka terpampang papan buku apa saja yang mereka simpan. Aku berjalan menelusuri rak-rak itu sambil menengadah, membaca papan perihal buku.

“Rak keempat, em...ini dia!” buku yang kucari sangat mudah ditemukan. Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Begitu yang tertulis di pembukannya. Agama ini diturunkan di jazirah Arab, ketika Muhammad ‘alaihissalam bertahannus di gua hira. Aku meneliti gambar gua tepat di samping penjelasan ini. Dan Al-Qur’an adalah kitab yang berisi semua firman Allah SWT untuk ditaati manusia.

Aku tiba pada bab mengenai perempuan. Di situ dikatakan bahwa setiap wanita wajib mengenakan hijab. Ini dia yang dikenakan Sinai. Kenapa harus berhijab? Kucari jawaban pertanyaanku di bab selanjutnya. Waktu benar-benar tidak pernah lelah, ia sudah berjalan tiga jam selama aku di dalam sini.

Dan pertanyaan terakhir yang muncul, “Sebenarnya, aku ini apa?” Aku menanyakan ini karena aku tidak tahu siapa yang menciptakanku. Oleh Mama aku diajari bagaimana makan, ke kamar kecil sendiri, tidur, berbicara dengan sopan. Oleh Papa aku diajari menghormati yang lebih tua, bersekolah, bertahan hidup, mencari uang. Dan keduanya tidak pernah mengajarku siapa itu Tuhan.
Mereka hanya bilang, suatu hari nanti aku akan mati. Caranya sama, nyawa lepas, jasad kaku mendingin. Mereka tidak bilang lagi bahwa nanti aku akan dikremasi atau dikubur.

Sekarang Sinai datang, mengajariku siapa itu Tuhan. Tuhan bernama Allah yang menciptakan seorang Rendi. Yang sampai hari ini telah mati untuk hidup kembali. Ya...aku akan hidup kembali.

***
Tiba sudah masa ini, saat aku sadar ternyata jatuh cinta ini bukan seperti biasanya. Aku tidak jatuh cinta pada Sinai, tapi pada apa yang ia bawa. Eksistensi penciptaan. Setiap hari di dalam hidupku, ia membawakanku selembar tali. Tali-tali yang kuikat sendiri, kusambung untuk membawaku pada ujung terakhirnya. Pada jawaban akan pertanyaanku. Bahwa aku ini adalah hamba Allah.

Sinai muncul di depan bangunan berkubah yang akhirnya aku tahu bernama mesjid. Bukan dengan jubah warna hijau itu, namun bermukenah putih. Di sampingnya ada seseorang yang mengenakan topi kotak, eh songkok, ia memberi salam padaku. Menuntunku masuk ke dalam. Aku didudukkan di depan mimbar. Di hadapanku, terbentang kitab Al-Qur’an. Aku dikelilingi orang-orang berpakaian warna serupa. Semakin lama, semakin banyak. Mereka tembus dari pintu, jendela, dan mimbar.

“Asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan rasulullah,” ucapku pelan, mengikuti ucapan laki-laki itu. Dan yang menyaksikanku semakin lama, semakin banyak. Sekarang mereka turun dari langit-langit mesjid, dari kubahnya yang melingkar sempurna.

***Untuk saudari-saudariku, yang mempertahankan hijabnya meski di sekitar terlalu bingar***

Tuesday 18 January 2011

Kawan, Saya Baik-baik Saja


Untuk ukuran perempuan seperti saya, saya telah melewati banyak desa terpencil bersama cerita-cerita mistik dan tidak setengah-setengah. Saya telah singgah di bermacam jenis rumah, menemani tuannya bercanda dan disuguhi bercangkir-cangkir teh atau kopi sampai lupa pulang. Saya juga telah duduk dalam beragam ruang kelas, mendengarkan jenis demi jenis tipe retorika dosen dan keegoisannya yang disusupkan rapi dalam bentuk alasan bolos mengajar. Saya telah melalui hal-hal yang cukup banyak.

Suatu hari, saat sedang menggerus permukaan dinding dengan tatapan mata, seseorang berujar kepada saya,

“…kau sudah sangat jauh melangkah, tapi sendirian..”

Sendirian. Satu kata yang membuat tatapanku tiba-tiba berusaha menusuk tembok itu. Sendirian. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain kelaparan dan kesepian. Sendirian. Melangkah, bernafas, bicara, berpikir, belajar, menangis, tertawa, semua sendirian.

“…mereka memang ada di sekitarmu, mengenalmu, tapi tidak satupun yang memahamimu…” tambahnya.

Sendirian dan tidak satupun yang memahami saya. Kalimatnya semakin terpencil dan menohok. Kuminta ia diam. Lantas saya berlalu dari hadapannya. Menghilang secepat pencopet terminal.

Kata-katanya tidak berhenti menggelayut di kepala saya. Saya tertebak. Tepat. Di balik segala jenis tawa yang saya keluarkan di depan kalian, yang di antaranya keluar gerimis air liur dan tetesan air mata, sejatinya saya melangkah sendirian. Kalian memang ada. Menemani saya makan siang di kantin, menunggu dosen datang sambil sesekali nyomot cemilan dan memakinya. Kalian bersama saya, menghabiskan hari-hari kuliah. Kadang kita berdebat di dalam kelas sampai di toilet, kadang kita diam sampai pulang atau dua hari berikutnya. Kalian bersama saya, menghabiskan jatah waktu hari itu bersama sebaskom tawa dan sepanci ayam bakar. Ada telinga kalian yang siap mendengarkan ceritSaya, maaf kadang begitu fiktif kedengarannya. Ada bahu kalian tempat saya tinggal sejenak dan menangis, namun seingatku belum pernah kugunakan selama ini. Mungkin Saya kurang percaya atau kalian tidak pernah betul-betul memahami alasan saya menangis.

Teman-teman, belakangan ini saya sangat bahagia. Bukan hanya karena saya bersama dia sekarang, tapi karena saya merasa mulai tidak kesepian dan tidak lagi harus menekuni jalan pikiran ini sendirian. Untuk pertama kalinya, saya bebas menjadi diri saya yang sebenarnya. Untuk alasan apapun, mereka tidak pernah berkata, “Berhenti, kawan.. apa yang kau lakukan itu tidak benar,” yang mereka katakan cukup, “kau manusia bebas, lakukan apapun yang menurutmu benar dan menyenangkan hatimu,”

Mereka tidak pandai mengintervensi saya. Namun jelas memberikan kebebasan untuk jadi bijaksana. Kawan, saya tahu belakangan ini kalian berpikiran “jalan hidupku semakin salah,” “pergaulanku semakin bebas,” atau “Saya semakin jauh dari agama,” dan menjadikanku topic pembicaraan di setiap kesempatan kalian bertemu. Bagi saya, terima kasih sudah perhatian. Saya sangat tersanjung. Apalagi kalian mulai memikirkan cara menyelamatkanku. Namun kalian salah.

Kawan, saya yang kalian kenal selama ini adalah orang lain. Dan begitu kalian melihat diri saya yang sebenarnya keluar, berhubung waktu, tempat, dan situasi kali ini sangat tepat, anda kaget luar biasa. Serta-merta teriak saya gila, saya termakan pergaulan, saya liar, saya berdosa!

Lucu ya… tapi jangan kaget. Ini adalah saya. Saya yang sungguh saya.

Kawan, saya bosan terus-menerus jadi baik, terlihat baik berdasarkan persepsi kalian. Saya sesekali ingin mengeluarkan apa yang ada di pikiran saya dan menikmati hidup saya yang indah ini. Kawan, saya dibentuk oleh masa lalu, oleh hal-hal yang telah saya lewati dan peristiwa-peristiwa yang saya alami. Dan mungkin tidak kalian temui. Saya berpetualang sendirian untuk menemukan kesimpulan sendirian. Apa pernah kalian berpikir kenapa selama ini saya demikian introvert, memendam banyak masalah sendirian dan hanya sesekali membaginya, itupun demikian singkat? Ya…sebab saya tahu kalian tidak akan menerimanya, tidak akan memahaminya.

Jadi, saya mohon untuk kali ini, berhentilah berkata “saya tersesat.” Saya tahu di tempat mana saya semestinya ada dan bernafas. Saya menyukai tempat ini, bersama mereka dan idealisme pembebasan mereka yang terdengar demikian konyol bagi kalian. Dan untuk pertama kalinya saya merasa menemukan bangsa sendiri, I’m home! Saya bersama orang-orang sejenis. Dan ternyata selama ini mereka hanya terpisah satu koridor dari dunia tempat kita sering bermain bersama, kawan.

Kawan, tidak usah kuatir tentang saya. Saya baik-baik saja dan bahagia. Mereka menjamu saya dengan sangat baik dan tertawa bersama saya lebih lama ketimbang bersama kalian. Saya tidak sedang membanding-bandingkan, saya hanya sedang berbahagia.

Kawan, terima kasih sudah peduli. Kalian tidak harus bertindak lebih jauh untuk membantu. Jika kalian tetap beranggapan saya berada di jalur yang salah, tidak apa. Tapi saya berharap agar kalian tidak terlalu kuatir.

Mulai sekarang, bersiap-siaplah untuk mendengar lebih banyak cerita gila tentang saya. Saya ingin menikmati kebebasan ini seperti menikmati kenyalnya sop buah di Kansas. Saya ingin memaki kebebasan ini seperti dalam gondok besar saat menanti pesanan sop buah terlalu lama. Saya ingin tersenyum tak putus-putus dan menjaga api kedamaian dalam dada tetap menyala.

Kawan, saya baik-baik saja
Terima kasih
Saya tidak akan kemana-mana
Saya mencintai kalian, sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya…

Monday 17 January 2011

Satira

Seekor burung melintas tepat di atas ubun-ubunnya. Satira menengadah, setetes darah jatuh di puncak hidungnya. Tidak jauh dari tempatnya berpijak, seorang pemburu mengokang senapannya sekali lagi untuk buruannya yang terbang menjauh.Satira menyentuh darah itu dengan telunjuk lentiknya, lalu..., aku paling suka bagian ini, Satira menjilatinya. Seutas senyum lahir dengan bibir mungilnya yang berserat-serat. Aku lahir pada saat itu, Maria. Tidakkah kau tahu betapa bahagianya ia melihat setetes gumpal merah itu? Mana pernah kau membuat dia merasa senang begitu. Kau memang sudah ada dua tahun lebih awal, tapi Satira mencintaiku seolah kami berdua telah saling kenal selama satu dasawarsa.

Ketika itu, Bumi berusaha mengabukan rumah mereka dengan sebatang obor. Satira butuh seseorang untuk menghentikan tindakan itu, namun kau tidak muncul. Payah!Maka aku datang untuknya, Maria. Aku menghapus semua beban di pikirannya. Aku membungkusBumiuntuk bergabung bersama abu rumahnya.

“Diam,”

Begitulah reaksi lain orang yang bersalah kalau bukan melempar cerita-cerita palsu, menjalin kalimat-kalimat eskapisme. Kau tidak bisa muncul, karena kau lahir di satu malam hina. Saat Satira dikelilingi sepi kamarnya. Ia yang lelah menanti penghuni rumah yang lain pulangtanpa sengaja singgah di situs tentang orang-orang sepertimu. Yang memuja bibir sesamanya. Yang menikmati payudara sesamanya.


.....baca lanjutannya dalam kumpulan cerpen 'Satira (Perempuan dan Pena Takdir)'

All The Small Things


Banyak hal yang tidak bisa diluluhkan dengan cara apapun. Misalnya, membuat dosen gendut killer itu mengganti nilai C anda menjadi A, paling tidak B. oke, masih terlalu tinggi, C+ setidaknya. Contoh lain, meredakan amarah orang tuamu saat tahu anda menabrakkan sepeda motor yang baru dibeli untukmu. Ada banyak hal. Dan hal-hal itu benar-benar memuakkan. Dampaknya, anda juga mengeras dan tidak ada yang bisa meluluhkanmu.

Satu-satunya cara adalah cinta. Sebenarnya saya paling malas bicara cinta blak-blakan seperti ini. Saya lebih suka menuliskannya di balik bebatuan puisi saya, atau saya sebarkan tidak rapi di antara cerpen-cerpen saya. Tapi kali ini beda. Saya telah mengalami banyak hal perihal cinta. Cinta yang mampu meluluhkan. Cinta yang pijar.

Cinta yang kecil cukup untuk merekahkan senyum di wajah dosen anda. Dan cinta yang kecil juga bisa membuat ayahmu berkata, “Tidak apa, motor bisa diperbaiki. Anda tidak kenapa-napa, kan?”

Banyak orang yang salah kaprah akan cinta. Padahal banyak orang yang memilikinya dan menjaganya. Termasuk anda. Anda punya kekasih, mungkin yang kesekian. Berapa kali anda kehilangan cinta? Dua, tiga, empat? Baiklah, Sembilan. Ooww… ada yang menyebut angka 30. Fine. Cinta memang menyebalkan, tapi itu kekuatan yang membuamu bertahan sampai sekarang. Membuat milyaran manusia di bumi masih bisa bangun pagi tanpa niat menusukkan pisau di perut orang-orang sekitarnya.

Cinta, dalam kapasitasnya, sedikit atau banyak sudah cukup untuk menghentikan kelaparan di negara subur ini. Cinta yng kecil itu seperti yang dimiliki oleh seorang pengamen kecil yang menyedekahkan recehannya kepada pengemis tua di trotoar jalan. Bayangkan jika ada ratusan orang yang memiliki cinta kecil seperti ini? Kelaparan, tuntas. Di tengah peperangan, seorang prajurit berhenti menembak rakyat sipil, padahal itu perintah dari atasan, sebab mereka dicurigai menyembunyikan pemberontak di gudang beras mereka. Tapi prajurit itu tidak tega membunuh orang-orang yang belum tentu melakukan tindakan yang mereka tuduhkan. Jika 5 prajurit berhenti menembak, kematian sia-sia bukan lagi senjata satu-satunya untuk memenangkan peperangan. Dan para rakyat sipil itu masih bisa menikmati sisa waktu mereka di dunia.

Kawan… kalau anda punya cinta. Berapapun kapasitasnya yang anda berikan pada orang lain, peliharalah. Tak sulit. Cukup dengan meperhatikan hal-hal kecil yang menjadikan kalian bersama. Hal-hal kecil tak kasat mata. Seperti mengucapkan “Selamat pagi” untuknya, meskipun ia bangun telat dan kepalanya pusing akibat mabuk semalam. Ingatkan dia untuk makan siang, tidak telat tidur, dan menjaga kesehatan. Saat dia lelah, tinggallah di sampingnya, sejenak. Jika anda punya keperluan penting, jelaskan padanya dengan pelan, jaga emosinya tetap kecil. Agar tidak jadi pertengkaran.

Saya akan mengutip satu lirik lagu, yang juga sering muncul di banyak lirik lagu lain…

The little things, you do to me are
taking me over, i wanna show ya
everything inside of me
like a nervous heart that, is crazy beating
my feet are stuck here, against the pavement
i wanna break free, i wanna make it
closer to your eyes, get your attention
before you pass me by

~Colbie Caillat


Sudah lihat, kan? Memelihara cinta yang anda punya tidak harus pakai uang banyak, tenaga super, atau pemikiran panjang. Cukup dengan perbuatan-perbuatan kecil yang bermodalkan ketulusan. Masih ada yang bilang susah? Apa yang susah dari meluangkan waktumu sejenak untuknya, lima menit di pagi hari. Lima menit di siang hari, dan lima menit di malam hari. Apa yang susah dari menghabiskan waktu makan siang bersama orang yang tepat. Kecuali kalau dia bukan orang itu. Untuk masalah ini, maaf, anda tidak masuk kriteria orang yang perlu membaca tulisan ini.

Kebanyakan laki-laki beranggapan bahwa wanita mereka senang diberi bunga, diberi kejutan berupa baju baru dan kalung berliontin. Atau mengantar-jemput mereka. Kebanyakan berpikiran seperti itu. Tapi jaman sudah berubah. Perempuan bukan cuma putri keraton. Perempuan jaman sekarang lebih mandiri dan tidak lagi menyukai tetek-bengek dongeng seperti itu. Mereka akan lebih menghargai anda yang bisa memberinya senyum tulus setiap hari. Wanita yang menyayangi anda tidak akan membiarkan anda terlihat seperti babu, supir, atau ajudannya. Mereka lebih senang anda berjalan sejajar di sampingnya, menggenggam tangannya dan berbagi susah dengan anda. Jika masih ada wanita yang suka diperlakukan seperti putri, sepak dia jauh-jauh dari kehidupan anda. Suatu hari, wanita seperti itu akan membuat anda keteter, tertatih-tatih setiap hari oleh perintahnya. Anda tentu mau menjadi pendamping, bukan pembantu.

Hal-hal kecil lain yang bisa mengawetkan cinta besar adalah perhatian. Masih ada yang mengeluh? Anda patut mengeluh jika harus memberikan wanita anda iphone sementara uang untuk beli ponsel jadulpun tidak ada. Perhatian yang saya maksud misalnya, suatu hari wanita anda lebih banyak diam, tentu dia ada masalah. Tanyakan padanya kenapa dan apa yang bisa anda lakukan untuk membuatnya kembali ceria. Jika ia bilang “aku baik-baik saja” itu pertanda ia berusaha menguatkan diri. Tapi ingat, dia belum tentu kuat. Perhatikan perubahan psikologisnya dan bantu dia dengan cara halus. Terus temani dia. Kalau dia ingin ditinggal sendiri, beranjaklah. Tapi stay ready di sekitarnya, dan awasi dia tanpa menimbulkan perasaan mengekang. Meskipun wanita jaman sekarang kebanyakan kuat, ingat satu hal, mereka tetap wanita dan wanita tidak mungkin sekuat laki-laki. Yang perlu anda perhatikan dari pasangan anda adalah aspek internalnya, bukan eksternal. Maksud saya, bukan fisik tapi batinnya. Batin yang bahagia dan damai di samping anda akan membuatnya betah bersama anda.

Don't want to reach for me do you
I mean nothing to you
The little things give you away
But there will be no mistaking
The levees are breaking

All you've ever wanted
Was someone to truly look up to you
And six feet under water
I
Do
~Linkin Park


Perhatikan lirik di atas. Maksudnya Mike shinoda dkk adalah, laki-laki itu gagal menenangkan batin pasangannya. Anda mau seperti itu? Tentu tidak. Anda tidak mau gagal dengan pasangan anda. Anda ingin selamanya bersama dia. Maka, tetaplah melakukan hal-hal kecil untuknya, meski sederhana dan kesannya biasa, tapi itulah pondasi dasarnya. Jagalah pasangan anda, seperti anda menjaga jantung anda tetap berdetak.

Sunday 16 January 2011

Bingkisan Kecil dari Masa Lalu

Petualang kata, ini beberapa puisi yang sempat kutulis saat masih mengenakan rok abu-abu (tak kusangka aku juga pernah pakai rok). Masih ada kurang lebih 80 puisi lain yang kutulis selain ini pada masa itu. Tapi setelah membaca ulang sambil sesekali menertawakan diri (karena teknik atau kenangan dalam puisi itu), kuputuskan mencomot mereka saja dan membaginya kepada kalian. Nikmati dan muntahkan !

Sayap Puisi Legenda

Lima masa dipasangi sayap
Lima masa diajari terbang
Lima masa melayang entah kemana bersamanya
Sepanjang masa dijatuhkan ke dalam lembah termistik

Ini bukan puisi
Kandungan puisi itu kata-kata indah
Bukan begini
Ini bukan puisi

Orang lain pergi berampas sesuatu yang pasti
Kau menyimpan seraksasa tanya

Ini bukan puisi

Melainkan kebencian yang kulegendakan
Ini perasaan dan tanda tanya
Kemarahan yang meluap

Ini bukan puisi
_


Kotoran

Satu hal yang pasti kukerjakan, melupakan ajaranmu
Kelak, waktu gunung meletus tak berhasil buahkan tolehanku,
Kudapati waktu statis tak berbuih
Menempel erat sebagai kawan dalam nurani
Waktu yang terangkai berutas-utas senyum tak putus-putus

Mematung,
Memikirkan pelangi lurus satu warna
Adalah tingkahku kala terpaksa mendengar ajaranmu

Ini, itu, anu, maka
Semua cuma kosong yang dilucuti agar ada
Benci terhadap segala kata yang kau semburkan

Setahun pembicaraan tak berguna
Ajaranmu tak berdampak…pak…
Meski hanya pada kotoran kukuku
_

Sesuatu


Air berteriak,
Dinding mengalir,
Tanah menggantung,
Awan terinjak.
Aku terkulum dalam rona-rona ceria
Di saat lain dilumat-lumat kenyataan


Argghhh…

Ingin kuhancurkan semua kepala tukang protes itu
Sebelumnya kutampik dulu wajah mereka dengan papan
Atau kuusuk saja dengan lembing ini
Teganya mengutukku binatang
Nyatanya aku berakal dan berbudi
Sudah, menyingkirlah para pembela!
Jangan memalang jalanku
Jangan sandung kakiku

Seekor binatang menyerang menyeruduk
_


Pagi Ini Sangat Cerah

Gumpalan peka dalam dada kini sedang risau
Kutunggu waktu penentu keeksisanku datang
Lima menit lagi, harus katakan tak setuju
Terlanjur aku kepalang basah
Ada handuk tergantung di sisi tangga.
_


Cerita Pendek

Tumbuh, layu
Tumbuh, tamat
Tumbuh, mati
…alur melingkar

Tersedia jiwa
Terhidang janji
Tertumpah padamu
…ada kisah

Tangis bersungai
Meretak kuasa
Jamah egomu
… dungu bersesal

Pupus harap
Tiada pungutan
Sudahi sedumu
…kita usai
_

Lagi manjat pohon, Makassar, 13 Maret 2008


Titik Tiga Kali

Jadi jalinan-jalinan benang merah kalian putuskan
Usaha setelahnya akan percuma
Otakmu, otaknya, sama bebal
Harap tak kalian wariskan padaku dan saudaraku
Cinta kalian terkotak-kotak
Disayat-sayat waktu, dirobek cemburu, dihanguskan amarah
Masa depan terlihat mengabur
Serasa ingin menggertak bumi

Pada siapa nanti kami mengekor
Hanya harapkan keluarga ini dibenci masalah
_


Jangan Pukul Aku, Kekasih

Ammakku…
Romantika manusia,
Memuakkan!

Bikin gatal leher
Buat hidung tersumbat
Otak mengarat
Taik memuncrat

Bapakku…
Romantika manusia
Memuakkan!

Jangan pukul aku, kekasih
Benar-benar sudah bosan saya
Makan cintamu yang berjaket palsu
Sama seperti punya mereka semua
_

Thursday 13 January 2011

“…..tunggulah benci yang aku tahu, jalang…”

Saya tidak mau dianiaya cinta. Tolong, jangan bubuhkan koma, tapi titik. Itu jawaban saya kalau anda bertanya, “Kenapa tidak punya pacar, kawan?”. Kalau tidak anda sertakan “Kawan” di belakang, siap-siap bercumbu dengan kepalanku. Karena pasti anda adalah salah satu dari mereka, yang berdiri di posisi netral dan berkata, “Saya hanya ingin tetap jadi orang baik” atau yang jelas-jelas menyediakan senjata untuk melawanku di bawah jaminan si jalang itu. Dan bagi mereka, “Semoga kita tidak bertemu lagi di kehidupan selanjutnya,”

“Ini rencananya,” bisik Ravis pada Iga disambung bisikan , “Belum pernah kuceritakan ini pada siapapun,”

“Aku juga belum pernah terlibat dalam percakapan seperti ini,” balas Iga. Ia tidak pandai berbisik, Jalo, mahasiswa Blackberry dan earphones itu berbalik. Tapi perhatiannya ditarik kembali oleh isyarat, “Ada yang mengomentari status anda!”

“Anda lihat si jalang itu? Aku akan membuatnya benci padaku,” ujar Ravis mantap, tegas, dalam tatapan yang tajam.

“Hanya itu?” balas Igo. Dia memperbaiki posisi duduknya dan mengamati manusia kribo di hadapannya.

“Bukan benci yang dia tahu, tapi benci yang aku tahu…. anda paham?”
Igo terbahak. Entah darimana Ravis menemukan definisi benci yang tampaknya lebih sepadan dengan kata “terror”. Mau tak mau, Igo angkat jempol dua di depan hidung Ravis.

“Lantas kapan kuikuti langkah pertamamu, kawan?”

“Cukup awasi aku, kamu akan tahu kapan itu dimulai… prepare your sly detector!”
Perasaan itu berawal pada malam itu. Saat sebaiknya kubawakan ember untuk menampung semua air matamu, yang lagi-lagi tidak pernah berguna. Aku ada vest anti senjata psikologis. Kamu bilang, dengan tatapan yang menembus sela lantai kayu itu,
“Aku juga butuh dia,”

Bagus kamu jujur dan itu hal terakhir yang bisa kuhargai darimu, selebihnya itu yang membawamu pada julukan “jalang”. Keserakahan hanya akan membawamu pada fase tidak punya apa-apa. Sudah anda lihat atau tidak, aku sedang dalam proses membuatkanmu potongan film untuk membuktikannya. Jangan kuatir tentangku, aku tidak lagi hapal untuk bersedih. Dan terima kasih sudah menemaniku dalam kebahagiaan yang tidak sepenuhnya benar.

Anda tahu, sejak pertamakali anda memutuskan untuk menerima uluran kasih sayangnya, sejak itu anda kuberi satu demi satu huruf dari kata “jalang”. Sekarang anda memilikinya dengan sempurna karena telah bersama laki-laki itu, tanpa peduli ada apa dengan saya yang telah anda campakkan.

Mungkin aku yang tidak pandai menjaga apa yang kupunya, atau anda memang sudah bosan kumiliki. Sesuatu memang tidak pernah dimiliki selamanya. Kadang ia akan terlepas sendiri, seperti jemuran yang terbang di bawah angin sesaat sebelum titik hujan terjatuh di atas genteng pondokanku. Aku harus bisa menerima kenyataan kau diterbangkan angin lebih cepat. Sementara aku tengah menikmati film, berlinang pop corn buatanmu yang meletup-letup merdu semalam. Ternyata sembari menyiapkan cemilan untuk tontonan hari ini, kau berencana ikut bersama angin sebelum hujan itu. Kelicikan yang cantik.

Sebelum aku memakai kepolosan Igo untuk mengejakanmu benci yang kumaksud, tidak salah jika aku mengingat kejadian malam itu untuk yang terakhir kalinya. Seperti kuhapus lagu melayu yang sama-sama kita benci dari MP4 murahan ini.

Bercak demi bercak yang membiarkan warna kuning lampu lima watt di koridor pondokan temanmu memperjelas bahwa kau membohongiku. Untuk apa kau di sana saat lebih nyaman pulang ke pondokanmu dan beristirahat dengan celana pendek dan kaos selutut? Kenapa kau berada di tempat itu, mencuci muka, lalu pura-pura tertidur saat aku datang? Aku tahu kau menyembunyikan sesosok manusia yang menjadikanmu demikian jalang di mataku.

Sekarang untuk apa kau mencari informasi tentang setiap jejak langkahku di koridor saat gelap semakin menguatkan eksistensiku? Nyamankan dirimu di sana, di tempat berpendar cahaya terang bersama dia dan pelukannya yang siap sedia. Aku bahagia di sini, ditemani kegelapan yang tidak kau lihat jika di alamnya. Jangan lagi mengirimkan semacam peliharaan untuk mencatat amalan-amalanku dari malam hingga malam selanjutnya. Kita bukan kita lagi. Dan aku merasa lebih nyaman sehabis membakar semua tentangmu yang gemar bersendawa dengan segelas kopi dan selembar kertas berkata-kata marah.

“Hey, Igo…. malam yang gelap is meaningless tanpa secercah api!” teriakku pada Igo yang sedang mengawinkan sepasang ilalang di samping parkiran. Jalo tetap tenggelam dalam status-statusnya yang meramaikan situs jejaring social itu.

“Hahahha… juga dingin tidak sempurna tanpa sebenang kehangatan!” balas Igo. Ia polos dalam mata kuliah manapun, namun cerdas membaca jalan pikiranku. Ia berlari ke lantai tiga gedung perkuliahan, membuka-paksa ruang kelas yang katanya paling bagus sekampus ini. Kuangkat satu bangku tinggi-tinggi,

“Good night!” teriakku dan bedebum bangku kayu pecah melawan gravitasi bumi di lantai dasar. Igo meraih bangku sejenis dan melakukan tindakan serupa,

“Sleep tight, dear!”

Setengah ruangan kini kosong, saatnya menyempurnakan malam dan dingin pada tanggal itu. Aku dan Igo menuruni tangga tiga demi tiga anak tangga lalu melempar korek gas ke atas tumpukan kayu bangku. Sedikit percikan api dari tempat kami berpijak, memberikan variasi bagi halaman parkir kampus yang lapang. Api muncul, kami terbahak.

“…..tunggulah benci yang aku tahu, jalang…”

“….aku bantu jika kau kesulitan,” tambah Igo. Kulirik makhluk setinggi bulu ketiakku itu,

“… cari kopi, yuk !”

Tuesday 11 January 2011

Catatan Kecil Menjelang Akhir Masa Transisi

Menjelang tanggal itu, hari-hari rasanya jadi lebih lama. Aku juga semakin suka kopi. Segala jenis kopi, sampai kopi luwak kutanyakan pada orang yang sepanjang hidupnya hanya mencicipi Capucinno.

Sambil mengemudi, aku kadang lupa mana pedal rem dan mana pedal gigi. Sebelum tiba di perempatan, aku sering lupa kalau ada jalan ke kanan dan kiri. Aku tidak sadar berjalan lurus dan bahkan pernah statis sampai lampu merah putaran ketiga.
Siang yang dulu kubenci, semakin menjijikkan di mataku. Rasa cintaku pada kegelapan dan panorama malam mendalam. Saat para perempuan sesusiaku memakai lotion dan pelembab wajah, aku menyiapkan sebungkus rokok dan sebotol minuman berkarbonasi. Aku bahkan tidak butuh selimut. Pakaian yang semula kukenakan untuk mencuci, kukenakan pula saat tengah malam. Aku tidak merasakan dingin sedikitpun. Hanya sejumput rasa panas yang entah datang dari bagian tubuhku yang mana. Kedengarannya mungkin mengganggu dan kamu, alcoholic, paling tahu rasa panas jenis ini. Aku mau memeliharanya.

Aku sedang dilanda takut, cemas tepatnya. Lusa tanggal delapan belas, aku berkepala dua. Usia belasan yang labil ditinggalkan. Siap atau tidak, usia dua puluhan yang menuntut kedewasaan mesti kusambut dengan tangan terbuka. Kujamu dia dengan baik di ruang tamu. Dan menemaninya berkelakar seperti kita bercanda di taman kampus sebelum pulang ke rumah, kawan.

Adakah cara yang tepat meleati jurang kecemasan ini? Aku mau melompatinya tanpa sempat menoleh ke bawah. Aku ingin sampai di seberang secepat kuda Australia atau lemparan batu kerikilmu. Jurang itu menakutkan, mungkin tidak berujung. Dan jika aku terjatuh, gema suaraku pun berjarak jutaan tahun cahaya dari telingamu. Atau mungkin kau takkan mendengarnya, sebab kau demikian sibuk dengan earphones dan lagu cinta dialirkan kabelnya dari ponsel sekaratmu.

Aku takut, kawan! Apa kau dengar degupan jantungku yang lebih mirip bunyi drum, cepat, beraturan tapi horror. Dan tubuh ini, bergetar demikian hebat. Jika kau letakkan segelas air di atas kepalaku, kau akan melihat getaran itu.

Kawan, dunia kedepan kuyakin semakin liar dan biadab. Dia bi s amengulitiku dalam semalam. Aku yakin. Sebab duniaku yang sekarang lebih kejam daripada yang kau bayangkan. Hanya bersisa beberapa kecil poin kejahatan iman dan kemanusiaan yang belum kuterapkan. Aku benci diriku. Benci padanya yang dahaga akan hal-hal baru. Dahaga yang nantinya membuatku mual dan terjungkal ke lembah kebencian Tuhan. Keyakinan ini menguat melihat keadaan sekelilingku yang mengibarkan panji dukungan. Aku benci mengamati hidup. Tolong gantikan aku.

Sudah tiga malam, kawan. Cemas, takut, dan kecewa menghantui harapan dan mengusir satu demi satu keramaian di dalam hati. Sampai yang kutahu adalah satu kata, sepi. Sepi yang menggila. Seperti kerbau kurban sebelum disembelih.

Selamat datang angka dua
aku tak ada apa-apa untuk menjamumu
hanya sekujur tubuh ini yang sudah hampir kehilangan bulu-bulunya
kusajikan padamu
jamahi aku, jamahi aku dengan gaya terliarmu
aku akan manut saja
kau lucuti aku, aku menangis saja
selebihnya, bisa kutahan…

Angka dua…
berbagai jembatan kulewati untuk menorehkanmu sebagai tato di jidat
kuterima kau apa adanya
aku takkan menyia-nyiakan dirimu
kehadiranmu berharga,,,
dan setiap angka baru yang mendampingimu di tahun-tahun mendatang, semoga sanggup memanggil pengertian dan kasih sayang dari orang-orang terdekatku…

aku gundah, cemas menunggu kedatangan hari itu
hari-hari yang ditandatangani delegasi perasaan damai dan tenang

aku merindukannya
semoga kau datang sebagai pertanda yang jelas akan mendekatnya aku pada masa itu
dan semoga ia mampu mendekatkanku padaNya…

aku sangsi …
apakah aku masih layak disebut manusia

selamat datang, angka dua
aku siap menemanimu menyusuri trotoar dan mematikan lampu jalan satu-persatu
aku akan ada saat kau terbangun di tengah malam dan tiba-tiba ingin menangis

beri aku cinta yang semestinya

angka dua…
kesepian semakin jelas rautnya
sedikit berkerut dan mimiknya memaksaku menunduk
aku membencinya..

temani aku, angka dua,,
sampai aku bertemu angka tiga atau tiba di tempat tanpa angka

Welcome to Dunia Tanpa Logika

         Belakangan ini, meski monoton, duniaku semakin menjadi. Menjadi nyata, mendekati apa yang kusebut “Istana Tanpa Logika”. Ya… istana yang tidak diracuni pemikiran orang zaman batu. Tidak ada diskriminasi gender. Apalagi aturan-aturan konyol buatan para orang tua dengan landasan agama yang menurutku terlalu fanatic dan gila urusan.
Aku bosan direcoki hujatan-hujatan tentang kesalahan dan dosa yang sudah kuhapal mati. Aku tahu apa yang aku lakukan. Ingat satu hal, aku bukan binatang peliharaan dalam kandangnya, yang kalian beri makan tepat jadwal, dan dengan tempat buang hajat di sudut belakang. Aku manusia bebas. Manusia dewasa. Yang melangkah dengan pikiran dan kemauannya sendiri. Bukan mobil yang menunggu disetir.
Aku juga tidak sedang tersesat di tengah gurun kehidupan ini. Sekali lagi, aku ingin bersenang-senang dalam kesenangan yang kupahami. Dalam cinta demi cinta yang kurasakan. Dalam duniaku yang tidak putih juga tidak hitam. Dalam dunia yang bisa leluasa kumanfaatkan. Seperti ini, kau lihat jariku? Apa kau lihat? Kuarahkan jari tengah ke atas.
Dunia ini terlalu kecil untuk mengalahkanku,

Newer Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger