Saturday 29 October 2011

Tarian Buku


foto: Dancing Girl Cipher by Anna Van Skike
Bertapa di sela rak buku
“ajarkan aku membenci cinta yang selalu menggembirakan. Kali ini datang tak tepat waktu pun minta menetap sesaat di lubuk”

Aku bangkit, menari-nari di antara rak buku
Senyum-senyum sayat-sayat
Karatan batas buku sekarang rentan
Atas gugur di permukaan kayu yang kuatir melebur dalam api
Seringai tertahan di tenggorokan
Mau tak mau menelan ludah sendiri yang pahit yang asin yang manis dalam kenangan itu

Meja bergeser kau berpelesir
Dalam sorot mataku diam-diam ikuti ritme tarian ragu-ragu
Bila ingin berdansa buang malumu
Gerakan ini akan sempurna jika kau sentuh getirku sedikit saja
Bilapun enggan memang ada, setidaknya jangan gelisah kuhampiri

Bertapa di sela rak buku
Aku menari sendiri dalam kepala dirimu takkan tahu
Sebab kau sebenarnya tidak ingin berkunjung ke sini subuh-subuh

Thursday 27 October 2011

Chimerazo

this is the view of Castle Chimera
I call it 'Chimerazo'

The Art of Flame

an art of flame comes from the cold of humans

Ending Riotz


Ending is a beginning, a wise said
A birth is ending of mother's struggling
A death is ending of chaotic adventure in reality
A success is ending of thousands error

and the riot is the sign of beginning

The Smiling Latte



Life is like a cup of coffee

Definisi Kesepian

Malam itu saya tidak mau bertemu dengan anda jika bukan karena desakan pertanyaan yang membutuhkan jawaban taktis. Percakapan kita memang selalu saya mulai tanpa basa basi. Anda menjawabnya grammatical, pelan, dan jelas. Saya mencatatnya di kepala. Muncul lagi pertanyaan baru. Lagi dan lagi. Sampai tak terasa ada satu jam saya dan anda menghabiskan malam dengan sejumput kayu bakar dan nyala api yang terjaga.

Beberapa malam lalu saya mengeluarkan kalimat terakhir dalam amarah terbungkus seni kata. Saya ingin anda melupakan segala kenangan dalam dua kali dini hari itu. Padahal saya sadar, saya belum pula menemukan cara menjauh darinya. Saya menyukai kopi. Setiap gelas kopi berarti cambukan bagi hati saya. Bagaimana dengan anda, saya berharap hal yang sama. Namun saya paham harapan itu hanya punya kuasa di hati, tidak dia dunia nyata. Saya melihat anda santai saja menandaskannya setiap malam lalu masuk kamar dan tertidur bahagia.

Anda, tuan. Anda telah mengenalkan saya dengan jenis kesepian baru. Satu jenis yang bisa datang kapan saja, menyeruak dari celah udara mana saja. Kesepian itu mengandung siluet anda. Saya sebenarnya mulai jemu, kesepian merasa tidak demikian.

Kesepian saya selalu diekori harapan. Artinya semua sia-sia. Harapan saya takkan berjawab apa-apa. Tuhan mendengar tapi tidak bermurah hati untuknya. Kesepian saya menarik keluar roh dalam tubuh untuk mencari anda dalam brangkas di kepala, sel-sel otak saya kadang marah digodok-godok rajuk.

Anda, tuan. Berhentilah tersenyum pada saya dengan cara itu. Cari pula cara lain untuk menatap saya dengan alasan kesepian. Mungkin saja kesepian anda seperti punya saya. Akan tetapi kesepian anda tidak pantas berlama-lama. Kesepian kita berbeda. Punya saya selalu menghidupkan anda, punya anda pandai menenggelamkan saya.

Wednesday 26 October 2011

Senyum Saman


Bagaimanakah rupa permukaan di luar gedung besar ini? Benarkah gedung ini besar? Untuk sementara, jawabannya iya. Tapi untuk selamanya, mungkin aku tidak akan pernah membuktikannya. Luas jangkauku hanya sepanjang telinga bisa mendengar suara-suara sekitar tanpa tahu apa sumbernya. Aku familiar dengan berbagai macam rupa tangis, keluh-kesah, teriakan, dan senandung tidak harmonis. Ruang langkahku bergantung pada kecerdasan kulitku. Apakah ia bisa meraba permukaan dengan baik lalu benarkah tebakanku tentang reliefnya. Sejauh ini aku hapal kerasnya tembok dan lembutnya bulu kucing yang selalu menggelayut minta makan di kakiku. Kadang aku sangat bahagia melintas di depan dapur panti oleh bau-bau nikmat dari dalam. Berbeda setiap hari, siapapun koki di dalam sana aku ingin menciumnya. Dan setelah itu mungkin aku akan mencintainya.

“Aku membutuhkan aliran bergetar hebat itu, Man! Yang tidak akan pernah aku lupakan,” baru kali ini Saman terdiam mendengar ceritaku. Biasanya ia akan balik bercerita dengan mulut yang lebih besar.

“Percayalah, kawan. Cinta tidak sebaik kedengarannya. Ia benar-benar parah untuk mata,”

“Hahahaha...jangan menjatuhkan semangat begitulah. Kau kan sahabatku,”

Penyebab orang-orang masuk ke panti ini beragam, mungkin seperti rupa warna dalam program editing foto kegemaran Saman. Ada yang karena kecelakaan, bawaan lahir, penyakit, atau disengaja. Saman termasuk dalam golongan orang yang cacat karena kecelakaan. Ia lumpuh saat menyelamatkan seorang wanita dari lindasan truk sampah. Wanita itu memiliki sebagian hatinya, mungkin. Tapi ia tidak pernah tahu sampai detik ini. Saman bangga atas keberaniannya itu. Aku tahu dari nada bicaranya yang selalu sombong padaku, setiap kali kami bercerita tentang kekurangan kami. Dan dari sedetik setelah rasa sombongnya habis, kutemukan nada raksasa kecewa mengekori.
----

Pada akhirnya di sinilah aku berakhir, dari yang memiliki segalanya sampai hanya punya angka nol dan pita suara yang tidak berfungsi. Mungkin aku kebanyakan menggombal, keseringan menipu, dan memfitnah orang sampai tiba-tiba aku terbangun di suatu pagi tanpa biasa bersuara sedikitpun. Menjadi bisu setelah dua puluh tahun sebagai perempuan bersuara merdu. Ujung-ujungnya aku di panti ini untuk melihat, mendengar, meraba, dan mencium sesuatu tanpa bisa berkomentar. Dan bagaimanapun aku harus mencintai tempat ini. Karena kadang kala di rumah orang lain, kita bisa merasa lebih baik.

Menyedihkan. Penghuni panti ini layaknya siswa-siswi pecundang di sekolah menengah atas yang tidak sanggup menghadapi kejamnya proses inisiasi macam ospek. Mereka orang yang dikutuk masyarakat yang tidak sanggup percayai masa depan. Mereka adalah mahasiswa teknik yang penemuannya dianggap gagal maka harus meninggalkan kampus dengan rentetan air mata yang tumpah sampai ke mata kaki. Mereka merasa sampah. Kini aku bagian dari mereka. Aku sampah. Lebih busuk baunya.

Bukk!

seseorang menabrakku dari belakang, “Maaf,” katanya kemudian. Aku mau marah, tapi bagaimana caranya. Kupelototi dia, agaknya sia-sia. Ia tidak bisa melihatku.


.......baca lanjutannya di kumpulan cerpen 'Satira (Perempuan dan Pena Takdir)'
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger