Thursday 28 July 2011

Damai itu Kau Tindih, Bukan?

Begitu mudah memulai sebuah permainan besar yang mengharuskan kita bertaruh harta paling berharga lalu mengakhirinya dalam kemenanganmu. Jeleknya, tak sedikitpun petunjuk yang puaskan pemahamanku apa kau menikmati permainan itu hingga hendak membuka meja kembali. Dan aku, di sini, di depan meja yang kita kelilingi malam itu, aku duduk termenung menatap segelas minuman gas dan dibuat tersedak asap lembut, menunggumu datang membawa taruhan yang lebih gila. Aku masih menunggu, bertanya-tanya, sebentar tertawa, sebentar hendak menyulut mata biar tangisku beralibi lain. Bukan sebab kau tak datang.

Setiap pertemuan denganmu kini berasa permen asam-manis. Dulunya asin mendekati hambar. Biasanya kau datang menuang beberapa tetes kecap atau menabur gula pasir dua-tiga sendok. Cukup dengan senyum yang berbeda jika kau tampikkan padaku. Setelah itu aku akan lemas di dalam, tampakanku turut tertawa bersamamu. Entah kau rasakan gempa bumi tubuhku, atau tidak. Yang pasti jejeran kalimatmu, di meja itu, membuatku merasa kau hendak tahu setidaknya.

Sambil menulis ini, kakiku bergetar dan dingin menyayat, merangkak dari ujung jempol terbuka hingga ke pangkal paha. Apa yang terjadi. Apa yang kau tahu. Apa yang aku tidak ketahui. Semunya bermain kejar-kejaran dalam kepalaku. Tak jua berhenti gaungnya sampai ke tepi, tak seperti deburan ombak tepian kota Pare-pare dini hari pahitnya.

Setelah dua dini hari itu. sehabis kau nikmati aliran air mataku di pelipis kanan, yang menembus bantal putih, aku tidak melihat kau terharu, senang barangkali, katamu sangat sukar mendapati perempuan sepertimu menangis. Tampaknya kau tak ingin melewatkan kejadian itu begitu saja. Kenyataannya, mudah mengambil hati seorang perempuan yang tercungkil sedikit masa lalunya dan membuat ia mengharuinya semalu-malu. Kau hapal benar jurus itu. Aku yang mati rasa berbulan-bulan, selama itu kutempa perisai agar hatiku tak digali orang, mampu kau tembus hanya dengan katana berkarat. Kubilang berkarat, sebab tak mungkin jika ia mengilap kau ada di sampingku malam itu, mengajakku menandaskan segelas kopi hitam dan sambung-menyambung cerita tanpa prolog verbal.

Satu waktu, saat pertama kali melihat laki-laki sejenismu, aku tahu bahwa penyakitku membaik. Tidak lagi kudapati diriku terlena di sebaris jejak laki-laki matang yang telah memiliki-dimiliki orang lain ataupun pernah memiliki dan masih merasa memiliki. Senang rasanya kehilangan rasa bersalah hilang daya merecoki kehidupan bahagia orang lain, sebab memujinya meski tidak ada yang tahu selain Tuhan. Saat itu, aku melihatmu pertama kali. Seperti jawaban dari semua imajinasiku saat tak ada jarak lagi antara aku dan Tuhan, pun sejadah seolah melayang di antariksa. Tuhan memang seniman sejati. Mungkin Dia bosan mendengarku menceritakan imajinasi yang nyaris tak mungkin bagi kebanyakan makhluknya. Dia marah tertantang dalam tanyaku, “Tak sanggupkah Kau menciptakan manusia seperti itu?” Dia pertemukan aku denganmu di satu malam, satu malam biasa seperti malam berdingin dan berangin lebat yang kulewati berbulan belakangan. Kudengar Tuhan berfirman dalam kitab yang khusus Ia jatuhkan di tengah jalurku, “Masihkah kau meragukan kekuasaan dan kecintaanku padamu?” akan berlebihan jika tiba-tiba aku sujud syukur di tempat itu. Aku duduk saja, di sampingmu, kau tawari rokok dan kopi. Disusul percakapan yang bagiku sangat menyenangkan. Maka kitabku kini berisi surah-surah berdongeng. Serupa cerita Musa dipertemukan Khidir. Atau dongeng dramatik lain dirangkai Tuhan untuk hentikan tangis yang banjiri pelipis Rasulullah hampir setiap tengah malam.

Sudah bertahun-tahun, tak ada yang pantas kuberi kekaguman selain aktor berandal itu. Kau tahu dia, mungkin pula kau sukai. Saat itu, kau sederajat dengannya. Dan beberapa kalimat lagi, kau menempati urutan teratas. Kau bertahan lama di daftar nomor satu, sekarang hendak kutambahkan tanda + setelah nama lengkapmu. Daftar itu terletak di tengah kitabku.

Tak seperti kitab lain, yang melulu berisi ajaran kebaikan dan daftar tokoh protagonist-antagonis dalam satu surah. Semua antagonis terletak di surah tertentu dan kubuka sambil membakar sampah atau reranting dari pohon tangis. Nama lengkapmu juga tertera di sana. Harus kulakukan itu. sebab kau adalah makhluk setelah manusia dalam kitabku, kau iblis bersayap malaikat, atau kebalikannya. Memprediksikanmu sesulit memainkan gitar kidal. Aku harus memusuhimu. Mau tak mau. Ego kekaguman senantiasa membujuk untuk menghapus namamu, tapi aku harus membiarkannya tertera di sana biarpun kadang memandangnya membuatku hendak menebang seluruh pohon di bilangan timur Makassar. Kau adalah pujaan yang memiliki dan dimiliki biarpun serakah dalam hal kepemilikan. Dan aku si ingin memiliki yang dimiliki juga dalam keserakahan.
Ah, tak pernah kuduga akan seperti ini jadinya. Tak pernah ada tanda-tanda kau akan mengajakku bermain dua malam, bertaruh segala harta, bahkan melupakan permainan kumur-gumul itu dalam sekedip kelopak mata. Mungkin sempat kau transmisikan beberapa signal padaku, dalam tatapan pintas, perhatian mungil, pesan pendek, atau hanya dalam kebungkaman di satu sore berkopi tanpa teman-teman yang lain.

Aku memang pandai berimajinasi. Kejadian itu seringkali nyambung sendiri di ekor imajinasiku tentangmu. Kuharap saat itu otak kananku sedang berkhianat. Padahal tidak. Untung ada si otak kiri, muncul sebagai penengah dan mengusir hatiku kembali ke tempatnya. Dia bilang, “kau jangan bertindak bodoh”. Maka imajinasi tentangmu selalu berakhir dalam sebuah lukisan atau poster yang menempel di dinding hatiku, biar kau tetap berada dalam surah pujaan dan benci, bukan cinta. Surah tentang cinta sendiri, macet di wahyu tiga bulan lalu. Jadikan aku mati rasa sampai kau datang dengan aneka jenis bumbu dapur pribadimu.

Kini aku bersesal, lelaki. Mengapa begitu mudah menerima ajakanmu. Begitu mudah mengiyakan katamu, mengikuti instruksimu, bermain denganmu, bercerita denganmu, sampai bercinta dalam otak dan alam bawah sadar. Sebab kau menang, aku kalah, tangislah penutup permainan itu. Hadiahmu, seluruh diriku. Kau ambil dan teguk damai pagi itu lalu membersihkan diri dan semua memori sementara aku masih diendapi sampai detik kutuliskan ini. Bercerita kepada kawan dekat malah membuatku semakin digerogoti. Seandainya-seandainya pun bermunculan namun tapi-tapi selalu mengakhiri dan aku ditampar kurangajar-kurangajar.

Aku bilang padamu, aku jahat. Kau bilang padaku, aku terjahat. Ah, kita sama-sama penjahat yang dini hari itu kehabisan korban hingga saling menjahati. Kau lupakan rumahmu, kulupakan jalananku. Yang kita tahu hanya meja bermain dengan waktu seolah tak pernah berhenti. Dalam rangkulanmu aku tertahan, dalam manjaku kau nyaman. Jika kita membutuhkan tokoh si bodoh di sini, aku pun bingung harus menjadikan diri atau menjadikanmu. Yang aku tahu ada sebab lain yang membuat orang hilang akal selain cinta, yakni nafsu. Dan lagi, nafsu telah menggantikan definisi cinta semenjak pengkhianatan berhasil dijernihkan dengan kata manusiawi. Orang-orang mengibarkan bendera kemanusiaan sehabis berlaku binatang. Alasannya ada binatang dalam diri manusia, dan justru itu yang menguatkan kemanusiaannya. Tanpamu aku tak pernah mengerti pembenaran itu, dihembuskan dari desah nafas pengacara sekalipun.

Seharian ini, tiga meter di atas permukaan tanah, kunikmati segelas minuman sereal, music tipis dari ponsel biasa, dan wajah menatap langit langsung, aku terbawa dalam imajinasiku. Bersamamu. Aku berkali-kali ditampar kenyataan, namun selalu saja berhasil kembali dalam imajinasiku sampai aku tertawa di luar dan menangis di dalam. Kau adalah siapa-siapa bagi orang lain. Aku masih mencari siapa saja. Pagi itu membuatku tak konsentrasi sampai dini hari ketiga ini. Aku bertemu denganmu di tempat biasa. Sepertinya kau tidak membiarkanku menjauh dan kurang diperhatikan. Berkali-kali kucoba mencari tempat duduk jajahan sendiri, tidak bersamamu, aku sedang malas berkoalisi, namun kau memaksaku dengan tendensi halus memintaku terpaku saja di sampingmu biarpun kau sedang apa dan aku sibuk apa. Kelihatannya, yang jelas kau di sampingku.

Aku datang membawa gitar, langsung kau semprot dengan pertanyaan-pertanyaan dari mana, mengapa, apa kabar. Kujawab sekenanya. Lalu duduk di sampingmu. Serasa berada di tengah peperangan, granat silang-menyilang dilemparkan, seru-deru bising di sekitar tapi kita membuat damai sendiri tanpa perapian besar dan asupan gizi. Kau meraih gitar itu, menyetelnya untukku lalu memainkan beberapa lagu. Dalam tangkapanku, kau teringat akan permainan kita dan mencoba mencari-cari lagu kesenangan yang mampu membawaku mengingatnya pula. Petikanmu damai, ingatkanku pada seseorang yang mengajakku membangun sebuah rumah berkiblat dua. Tergelitik sedetik. Berada di sampingmu tak pernah membuatku lama humoris. Selalu melankolis berbungkus tawa kekeh mirip kuda nyengir memenangkan pacuan anyar.

Tadilah kusadari, memang kau pemain handal. Seperti dia yang meninggalkanku tanpa rasa bersalah itu. Apa nantinya kau gelari aku dengan kata “jijik” pula atau frasa semakna. Entahlah, bagaimanapun sikapmu nanti padaku aku telah menyusut lebih dulu. Kalau dahulu aku masih wajar memohon, bertangis sesal, dan menatap mata orang itu dalam-dalam sampaikan seribu ingin tak nampak. Sekarang ini, apapun tak layak kusampaikan padamu. Aku si terdakwa, sebenarnya kau si pelaku. Namun garis keberadaanmu menjadikanku kambing hitam yang pasti disetujui public berlatar belakang bagaimanapun.

Seharusnya aku tak begini. Tidak berniat menjadi lebih kurus, lebih dingin, lebih liar, lebih gelandang karenamu. Seharusnya keterbiasaan membuat semua bumbu bawaanmu serasa sama dengan penambah rasa yang lain. Namun ini beda, ini kau. Medannya berat, aku berhasil memasukinya dengan mudah bahkan dibekali kitab. Ini kau yang diberikan Tuhan untuk membuatku jera. Seharusnya andai-andaiku itu kugunakan untuk masa depan yang tidak ada kau. Seharusnya lagi tidak ada tulisan ini. Dan kalian tidak dibuat bertanya-tanya.
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger