Surat ini kutulis terburu-buru. Seperti kehadiranmu bertamu di rumahku.
Mungkin kamulah satu-satunya yang mmbuatku damai dalam ketergesaan. Dan satu-satunya penipu ulung yang kupercaya, padahal aku sendiri penipu kakap.
Tak bisa kupungikiri,
150 hari ini bullshit yang
membahagiakan. Semua selalu ada kamu. Sekarang aku terbiasa tanpa kamu. Tanpa
siapa-siapa. Kamu mengajarkanku banyak hal, termasuk menjadi gelandangan dan
menikmati setiap inci sakit yang kau tinggalkan di tubuhku.
Orang-orang semakin
ramai berlalu-lalang di depanku. Banyak yang menyinggahi menyapa dan mengajakku
ke rumahnya. Aku tak peduli, aku tetap di atas sleeping bag-ku di tepi jalan. Bermain api sendiri. Ada yang kena
aku tidak peduli. Ada yang ingin ikut bermain, namun aku senang terluka
sendiri.
Sampai kini aku masih
tidak menemukan alasan yang membuatmu beranjak pergi meninggalkan rumah kita,
waktu itu. Padahal tinggal diberi atap dan semua perjalanan selesai. Sekarang kamu
datang lagi, menyeret beberapa terpal usang untuk atap. Katamu, kamu menemukan
atap di rumahnya. Ia, lagi-lagi kamu sebut, meninggalkan rumah kalian menuju
entah. Di suatu pagi, kamu terbangun, menemukannya tidak ada di sisimu. Kamu tidak
marah, katamu. Karena kamu tahu saat itulah yang paling tepat, dia pergi lalu
kamu ambil atap rumahnya.
Kamu menceritakan itu
dengan detail yang sanggup membuat siapapun percaya. Tapi aku bukan siapapun. Atas
kalimat-kalimatmu, banyak yang meninggalkanku. Mungkin supaya mereka iba padamu
dan sebaliknya benci padaku. Sayangnya, walaupun kamu berhasil memutuskan
banyak tali yang berujuk di tanganku, aku sepertinya sama sekali tidak peduli.
Kini, tinggalkanlah aku dalam damai, jangan lagi meracuni orang-orang di sekeliling hidupku. Janganlah.
Bukankah kamu sendiri yang memilih hidup tenang tanpa aku?
Go away!
Ivone.
nb: penulisnya tidak punya akun twitter
0 komentar:
Post a Comment