Monday 28 February 2011

Bulir Jeruk dan Celana Pendek

Kelas terjemahan. aku datang terlambat, duduk paling ujung di sudut kanan. Terpisah dari teman-teman sepermainan dan sekegilaan. Berbaur dengan teman lain yang lebih kalem dari kami. Biasanya kami tertawa bersama, menertawakan teman di barisan belakang, atau memaksa diri menertawakan lawakan dosen yang garing. Karena aku terlambat, moment itu hilang. Dan aku merasakan sendirian di sudut itu.
Kelas berlangsung kocak. Bukan karena dosen itu mengajar diselingi beberapa lelucon, tapi karena dia terlalu serius mengajar. Hingga kadang beliau salah memilih diksi. Kalimatnya ngacir, salah makna

“Di amerika, orang-orang mengukir badannya di hari halloween,” mengukir badan. Ya.. berdasarkan ceritanya, jika malam Halloween tiba, orang-orang ramai membeli pahat dan palu, duduk di teras rumah atau taman kota, berbaris membelakangi, dan memahat tubuh temannya. Mungkin demikian penjiwaan mereka terhadap malam Halloween yang seram. Seram tawwa memang… diukir badannya.

Come on… hahah.. kita sama-sama tau mereka tidak mengukir badan, tapi melukis badan agar terlihat seram. Di Indonesia, hantu ditakuti, dijamu dengan kemenyan, dikeramatkan tempat tinggalnya. Jika malam jumat atau malam satu suro, tidak ada yang berani keluar rumah. Orang-orang takut menjadi santapan setan. Di amerika, dalam kebudayaan barat, hantu justru dijadikan alasan untuk bersenang-senang. Orang-orang berdandan seperti hantu, menari dengan kostum itu, berpesta sebagai hantu. Hantu tidak lebih dari sekedar lelucon tahunan bagi mereka. Dan kita menganggapnya sebagai mimpi buruk setiap malam.

Kelas selesai setelah aku menertawai dosen itu habis-habisan hingga ke halaman gedung SIL. Di luar, aku bersama teman sepermainan sekegilaanku itu lagi. Kami bercanda sedikit. Aku kembali senang. Kembali ke dalam jiwa tawa yang paling dibutuhkan menjalani setiap semester perkuliahan. Belum lama, salah satu dari mereka beranjak. Disusul dua dari mereka, lalu semuanya.

“Mau kemana?” tanyaku

“Makan. Di jasbog, ayo mi..” jawab salah satu dari mereka. Aku gamang. Tiba-tiba merasakan sesuatu yang membuat hatiku perlahan mengerut.

“Kalian pergi saja. Aku tidak ada uang untuk makan di sana..” timpalku. Mereka berjalan makin menjauh. Aku tidak bergerak sedikitpun dari tempat kakiku memaku tegel. Serasa birbilah-bilah pisau terlontar dari punggung masing-masing mereka.

Aku menghindar, berlari ke arah teman-teman kalem. Berbaur. Menjadi gila sendiri di
antara mereka. Tapi aku tahu mereka menyayangiku. Kami berjalan bersama, menyusuri koridor. Satu dari mereka merangkulku hangat. Benar, kan mereka menyayangiku.
Di ujung koridor. Teman perangkul melepas rangkulannya dan menyeberang ke koridor lain. Aku terpaku lagi. Hati yang tadi mengerut, kini makin mengecil. Seseorang menatapku lekat dari jarak 5 meter. Kekasihku. Pernah lihat iklan minuman berbulir jeruk, jeruk itu kempes disedot bulirnya? Hatiku tadinya seperti itu. Tapi ada mengembalikan bulirnya, karena dia tahu aspek fisikal apalah artinya tanpa “something inside” yang membentuk manusia. Manusia yang dia cintai.

Kami melangkah bersama. Aku dibawa di atas kano setelah ditinggal yacht dan kapal pesiar. Kano kecil. Satu dayungnya. Bermilyar senyumnya. Kano kecil berlabuh di ruang kecil berisi bermacam kesibukan. Ada yang membaca Koran, mengerjakan tugas, tidur, nonton televisi yang menyiarkan gejolak di Mesir, ada yang membicarakan tema Perisai Cup tahun ini dan pengangguran yang mengganggu orang-orang sibuk itu.

“Aku mau pergi. Apa kau mau ikut? Atau kau ada hal lain yang mesti dilakukan?” tanyanya sebelum bergabung di dalam ruangan itu.

“Aku lapar,”

“Makan saja di kolong,”

“Sendirian?”kuucapkan kata ini lebih nyaring dari biasanya.

“Kenapa tidak?”

“Hmm… kau pergi saja. Aku lagi gatal. Pengen nulis,”
Dia pun beranjak. Sambil menyalakan sebatang rokok. Jejaknya dipenuhi asap bernikotin.

Sendirian. Berlarut-larut. Dalam cairan apapun. Kopi, teh, juz, berlarut hingga mabok. Semestinya aku terhuyung-huyung kini. Tanpa penglihatan yang mesti menabrak-nabrak tembok demi tembok koridor yang pasif. Tapi tidak. Kesendirian belum seganas itu. Aku masih sanggup membuatnya duduk bersila di sampingku. Menontonku bosan menulis.

Aku menulis apa yang tengah kalian baca ini. Sejenis sekelompok paragraph curhatan di atas lembar Microsoft word. Sebab bisa cerita sama siapa aku sekarang. Sudah seminggu. Malam itu, hujan berhenti sejenak. Seperti dompet yang berhenti terisi. Jadual mingguan menagih jatah dari ayah di rumahnya yang tidak jauh dari tempatku tinggal. Ya, kami tidak serumah lagi sejak tiga tahun lalu. Lebih sedikit mungkin. Legal-nya. Unlegal-nya sudah 6 tahun. Namun sebelumnya beliau masih menyempatkan diri bermalam di rumah dua sampai tiga kali seminggu. Dan ibu, menyempatkan diri keluar empat sampai lima kali seminggu. Aku, kalau bisa tidak usah pulang ke rumah. Kakakku, hanya pulang untuk urusan makan dan minta uang. Itulah kami dahulu dan sekarang.

Aku berangkat ke rumah ayah sengaja mengenakan celana pendek dengan alasan banjir, akan hujan, dan pakaian masih basah semua. Sampai di sana, kuletakkan tas punggung yang kubeli dua tahun lalu ini di atas kursi tamu seperti biasa. Lalu menghampirinya di ruang keluarga. Ayah sedang memeriksa berkas bisnisnya. Oh, bukan, dokumen mobil yang hendak dijualnya. Aku duduk di sampingnya, bersila sebagai posisi duduk kesukaan. Pahaku sedikit kelihatan, kiranya begitulah celana selutut jika kita sedang duduk. Ayah menatapku tajam. Ada apa?

“Celanamu… sekarang kau sudah berani rupanya,”

“Oo… ini. Banjir. Hemat pakaian,”

“Kamu bisa pakai celana panjang dan gunakan mantel hujan jika tidak ingin basah,”

“Mantelku kan hilang dua bulan lalu,”
Ayahku menahan kalimatnya. Dia menulis lagi. Kumainkan ponselnya, mencoba mentransfer pulsa ke nomorku.

“Kamu jangan pernah datang kemari dengan pakaian seperti itu dan jangan harap bisa dapat uang dari saya,”

Dia menahan kalimat untuk mengeluarkan jurusnya ini. Kujelaskan lagi, aku tidak bermaksud memamerkan diri. Aku tidak kemana-mana selain ke sini. Jika hujan, celana pendek ini saja yang basah. Bukan celana panjang yang kubutuhkan untuk kuliah besok. Ayah tetap dengan statementnya tadi, disemprot dengan intonasi lebih tinggi. Jelas aku tidak terima. Celana dan uang tidak ada hubungannya. Kecuali dalam perdagangan.

“Baiklah, aku tidak akan datang lagi,” ujarku. Aku berlalu. Menenteng tas dan tidak kembali lagi sampai hari ini.

Aku kembali ke rumah dalam amarah besar. Ayahku memang sangat keras dengan islamnya. Selama ini, bisa dikata jilbab tidak pernah lepas dari kepalaku. Namun belakangan ini, setelah melewati rentetan pengalaman pahit yang tidak diketahui ayah, aku merasa kurang pantas lagi memuja-muja kerudung. Kadang kulepas, kadang tidak. Jika siang kugunakan, jika malam kulepas. Ada rasa sakit berkepanjangan, menusuk hingga ke persendian jika mengenakan jilbab.

Ah, ayahku. Kau terlalu naïf. Anakmu ini tahu apa yang dilakukannya. Anakmu ini sudah dewasa, segala dosa kutanggung sendiri. Kewajibanmu sebatas memperingati, selebihnya tanganmu tak berhak lagi menyentuhku. Aku pun tidak mau mencintai agamaku disebab aku takut tidak memperoleh pasokan dana hidup lagi darimu. Jika begitu, artinya aku tidak mencintai agamaku, tapi mencintai uang. Maka semua nasehatmu kuturuti karena uang. Agama dan uang tidak pernah berteman. Tidak dikirim sepaket. Tidak pula kuterima sekantong.

Aku cukup tersiksa tanpa donasimu, ayah. Beberapa tahun belakangan ini, sejak aku kuliah, kuusahakan memenuhi kebutuhan materiku sendiri dengan cara yang paling kuhapal, menulis. Menulis apa saja yang bisa memberiku uang. Meskipun rasanya menginjak-injak ideology sendiri.

Mungkin di sinilah portalnya. Tempatku melangkah tanpa digandeng tanganmu lagi. Jika aku bisa bertahan bertahun-tahun dalam kesendirian rasa kopi tanpa gula, kenapa tidak bisa kulanjutkan dalam decimal puluhan tahun. Aku sudah dewasa. Ancaman tak lagi ampuh bagiku.

Ayah, kau laki-laki yang paling kucintai. Kau juara satu. Kau yang paling berharga. Tapi kau juga yang paling tidak memahamiku. Kau letakkan semua mimpimu yang tertunda semasa muda di atas pundakku. Seperti ibu. Kalian berbagi pundakku untuk ditekan, diinjak, dipukul. Bagianku hanya otot senyum di wajah. Yang hanya bisa direkahkan oleh teman-teman dan kekasih. Sementara Tuhan ada di dadaku. Kupahami dia dengan caraku sendiri. Kusayangi dengan pelukanku yang tak kasat mata. Dan kupuji-puji gegap dalam hati.

Ayah, agama dan uang tidak pernah berteman.

Sunday 20 February 2011

Perempuan Kami

Sebelum aku benar-benar dibunuh lupa, harus kubenamkan tanda tangan di hidup dan diri mereka: orang-orang yang kucintai karena apa adanya.

***
Ayah bilang juga apa. Kamu dulu ambil jurusan keperawatan. Begitu lulus, kan gampang, tinggal masuk di rumah sakit punya Om Kim. Kau malah ambil jurusan bahasa Inggris yang lapangan pekerjaannya hampir tidak ada.

“Waktumu habis untuk temani bule! Cas..cis...cus... tidak jelas, mau jadi apa kau?”

“Itu lagi......... seluruh badanmu sudah diobral. Saya yang sudah tua begini pun tidak sudi menikahi perempuan macam kamu, cuiih.....”

Semestinya atmosfer ruang keluargaku makin panas. Namun karena ia sudah terlalu sering menggembor kalimat-kalimat itu, segalanya terasa hampir tidak ada bedanya.

“Yah, jangan lupa. Setengah jam lagi harus ke dokter,”


.....baca lanjutannya dalam kumpulan cerpen 'Satira (Perempuan dan Pena Takdir) atau nikmati filmnya dalam DVD yang bisa kamu pesan via 085.298.457.712

Epilogue

Semestinya, kesabaran itu seperti kebenaran. Keduanya tidak memiliki batas. Aku percaya ini dan mengalirkannya bersama darahku. Ke seluruh tubuh. Yang pada akhirnya kutularkan pada orang-orang di sekitarku. Kepada mereka yang aku yakini mampu merealisasikannya.


Ada dua hal yang tidak pernah absen dalam pemerintahan di Indonesia: Kepalsuan dan keegoisan. Dosen filsafatku berkata,

“Jika ego muncul, ia akan mencari objek untuk dijajah,”

maka setelah berhasil menemukan objek, tentu ego yang membuatmu tertawa terbahak-bahak, terasa seperti hal yang paling benar. Dan tampak seperti hal yang paling bengis. Aku melihatnya. Setiap hari. Di Negara ini. Keegoisan itu ditutupi dengan topeng kepalsuan. Agar kalian yang tidak tahu seluk-beluk topeng bias dimuslihati. Dan aku, jangan harap.

Jaman sekarang, di era demokrasi ini sudah sulit melengserkan orang-orang di pemerintahan. Di dalam parpol, ada parpol lagi. Jika ingin melakukan perubahan, ubah dulu satu demi satu lapisan parpol ini. Ada jalan lain yang kelihatannya diusahakan banyak orang: membuat komunitas baru yang membawa idealisme kebenaran itu. Kendalanya, kita banyak saingan. Dan mereka kuat-kuat.

Hufft… pembukaan ini agaknya terlalu berat. Mungkin kalian mau aku bicara cinta. Sayangnya, aku sama sekali tidak tahu tentang cinta. Aku juga tidak mau kalian ajari. Kita bicara dunia anak-anak saja. Bicara tentang musim permainan yang berganti puluhan kali dalam setahun. Di bulan ramadhan, kamu tentu ingat kembang api yang menyala kekuningan di tangan dan padam di tangan pula. Setelah lebaran, kita berlenggak-lenggok bersama teman sebaya, sambil memamerkan baju-baju yang kita kenakan. Ingat pula saat musim kemarau tiba, kita, para anak lelaki seketika menjadi hitam oleh cahaya matahari yang membakar di tengah hari, ketika kita asyik mengejar layangan yang pada akhirnya tersangkut di tiang listrik. Kita berbagi senyum yang sama-sama sangat bahagia.



Semestinya masa kecil juga tidak ada batasnya.
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger