Tuesday 31 January 2012

Sepotong Cerita yang Pasti (tidak) Penting

Ini cerita saya. Sebuah pengakuan. Refleksi hidup. Bisikan kalbu. Atau, apalah kalian mau bilang. Dalam paragraf-paragraf selanjutnya, saya akan bercerita panjang, bahkan tidak penting bagi cakrawala berpikir kalian. Barangkali.

Saya baru berusia 21 tahun 2 bulan. Akan terdengar cukup muda memikul gelar sarjana. Saya keseringan menyebut diri seorang gelandangan. Saya memilih jalan hidup ini. Saya lahir 18 November 1990, hari minggu, pukul 6.30 pagi, pas matahari menyapa hari manusia zaman itu. Saya bungsu dari tiga bersaudara, bahkan dari sepuluh bersaudara. Ibu saya tiga, ayah saya dua. Sepuluh bersaudara itu lahir atas suntikan satu benih, dari seorang ayah mahapikir yang kini menghabiskan waktunya memerangi diabetes dan katarak.

Ibu pertama saya, meninggal setelah melahirkan anak tunggalnya, yang baru meninggal dua minggu lalu. Kakak saya meninggalkan seorang istri dan enam anak yang masih kecil-kecil. Ibu kedua saya punya 6 orang anak. Masing-masing mereka telah menikah dan hidup mapan. Masing-masing mereka sedang melakukan pekerjaan terbaik untuk apa saja yang mereka yakini. Masing-masing mereka tak begitu memedulikan nasib keenam keponakan saya yang yatim itu.

Ibu ketiga, ibu kandung saya. Ibu yang paling cantik sedunia. Bukan karena dia yang melahirkan saya, saya bilang dia tercantik sebagai sanjungan. Ini kenyataan. Ibu saya mirip artis-artis Indonesia tahun 70-an. Rambutnya panjang bergelombang, hidungnya mancung, bibir tipis yang mewah dioles lipstik, matanya tajam menyayat perasaan, dan yang terbaik darinya, dia pernah mencoba mencintai ayah saya.

Saya menyarankan anda membaca Siti Nurbaya sebelum bertanya, mengapa ayah dan ibu saya bertemu. Sudahlah jelas jawabannya. Ibu saya dulu mengharapkan laki-laki lain. Ayah saya mendambakan istri belia cantik yang cerdas.

Masa kecil saya tidak bahagia. Akhirnya saya mengakui ini, setelah 21 tahun. Di masa kecil, saya sering bertanya, kenapa ayah dan ibu tidak pernah sarapan pagi di satu meja yang sama. Kenapa ayah tidak di rumah setiap malam. Kenapa saya dicibir ketika bertemu dengan enam orang, yang kata ayah adalah kakak-kakak saya. Kakak kandung saya, satu-satunya yang masih hidup, sebentar saja di sekitar saya. Di usia sekolah dasar, ia disekolahkan di pesantren sampai lulus Aliyah.
Waktu kecil dulu, ibu dan ayah tidak tahu saya pernah terjun bebas ke dalam selokan berair pekat sampai muntah-muntah. Mereka tidak tahu saya pernah diintip makhluk gaib setinggi 30 kaki dari jendela kamar. Dan mereka baru mempertanyakan kurangnya kemampuan pendengaran saya di usia Tsanawiyah. Waktu itu saya menjawab takut-takut, salah seorang dari enam kakak pernah menendang telinga saya, saat di sekolah dasar.

Dari kecil saya dididik untuk menjadi juara dalam hal apa saja. Saya menikmatinya, sampai suatu hari saya dikumpulkan dalam kelas berisi orang-orang rangking dan haus prestasi. Saya akhirnya menyadari, manusia diciptakan untuk berbagi, bukan untuk menjadi penguasa atas manusia lain. Manusia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Adapun jabatan dalam konstruksi kehidupan modern hanyalah simbol.

Saya mengatur strategi agar keluar dari kelas menyesakkan itu. Saya berhasil, walau di Aliyah saya dijaring dalam kelas serupa. Saya kembali ditekan keharusan mendapatkan posisi tinggi di kelas. Saya merasa berbeda. Saya bukan diktator.

Pemikiran-pemikiran saya, yang kata sebagian guru saya tidak pantas berada di kepala seorang siswi menjadikan saya oknum yang dimusuhi hampir setiap orang di sekolah, dengan alasan harga mati perbedaan saya.

Walau begitu, saya tetap mempertahankan apa yang saya yakini. Di tengah kemelut keluarga saya, yang seperti benang woll kusut itu, saya bertahan. Saya melakukan hal-hal yangs saya sukai. Saya menulis, membaca, bemain musik, melukisa, dan menghabiskan malam di bawah cahaya bintang, di atap rumah. Saat saya mencoba sebuah eksperimen, yang nyaris membakar dua rumah di sebuah gang sempit, tetangga sayapun memusuhi saya. Saya bengal. Saya gila.

Masa Aliyah banyak saya habiskan berbicara dengan pantulan diri dalam cermin di kamar. Sakit dan sehat saya lewati dalam kepungan tembok kamar. Satu alasan saya, perbedaan yang tak berterima.
Saya senang merancang busana untuk boneka barbie. Saya senang membuat maket bangunan rumah tinggal, mengumpulkan poster musisi kesenangan di kamar, mengoleksi pernak-pernik skater, sampai memperbaiki radio tua penginggalan kakek. Saya dulu senang sekali jika nenek datang, ia akan menceritakan pau-pau toriolo belum ia tertidur dalam posisi duduk. Dan saya masing melek, penasaran dengan lanjutan ceritanya.

Saya kecil dilarang ayah membaca majalah bobo. Katanya, majalah itu walau sarat ilmu pengetahuan namun rentan menjadikan saya islam sekuler, bahkan tak mungkin menjadi kafir. Saya tidak menerima alasan itu. Diam-diam saya mengumpulkan uang membeli majalah anak itu di agan majalah pinggir jalan, pukul dua setiap kamis. Saya menyembunyikannya dalam kamar. Suatu hari, saya diberi kejutan. Nenek datang ke rumah, menumpangi mobil pick-up penuh majalah bobo dan donal bebek. Begitu senangnya, saya nyaris kehilangan satu lubang hidung karena membuka bungkusan majalah dengan alat pembuka tutup botol dengan paksa. Darah di mana-mana. Di baju, di celana, di lantai. Darah pengetahuan, itu saja pikir saya. Sepulang dokter, saya membaca majalah-majalah itu semalaman. Mungkin itu begadang pertama saya.

Pasca perceraian orang tua saya, saya memberanikan diri keluar kamar. Saya harus mencari kawan sejenis, pikir saya waktu itu. Sayapun mencari teman sebaya, minta diajak ke mana saja ia pergi. Saya dibawa nongkrong di tepi kanal, di ujung lorong, di rental PS, dekat preman pesta minuman, sampai saya menyaksikan teman saya pergi dengan laki-laki berbeda setiap malam. Persis ibu.
Di perkuliahan, saya dihadapkan pada realita yang tak jauh berbeda. Saya harus meninggalkan teman-teman jalanan saya, sebab kata ayah, saya harus jadi sarjana. Teman jalanan saya tidak mengenal sekolah formal. Merekapun mendukung saya kuliah. Di perkuliahan, lagi, saya kehilangan teman sepemikiran. Saya kembali terasing. Masalah tak sebatas ini, perceraian orang tua saya berbuntut panjang. Kami yang dari kelas menengah ke atas, terjungkal dua kelas ke bawah. Ibu luntang-lantung. Ia yang tak sempat berijazah SMA, mau tidak mau hanya menghabiskan harta gono-gini. Kakak kembali dari pesantrennya dan berubah jadi laki-laki hedon luar biasa. Saya mencoba berpikiran jernih, sambil kuliah saya harus bekerja.

Bermodalkan ijazah SMA dan pengamatan urban culture, saya melamar di sebuah distro. Saya diterima, beserta seorang sahabat yang masih setia meminjamkan bahunya hingga kini. Belum dua minggu bekerja, saya dipercaya menangani management perusahaan itu sendirian. Jam begadang saya bertambah, saya belum bisa meninggalkan kantor jika pembukuan hari itu belum selesai. Yah, ternyata saya merangkap akuntan. Pekerjaan itu tak bertahan lama. Sebab di saat yang bersamaan, saya harus memperoleh IP baik di semester awal. Sayapun mengorbankan organisasi jurusan di kampus, yang sampai kini jika bisa, saya ingin mengulangnya.

Dua tahun perkuliahan saya habiskan meraup benci dari teman-teman seangkatan. Alasannya saya lebih peduli dengan kampus orang ketimbang kampus sendiri. Faktanya, saya banyak bergaul, mencari ilmu baru di kampus orang dari jurusan-jurusan yang berbeda. Lainnya, saya sibuk mencari uang untuk membantu ibu.

Setelah ibu menikah, saya sedikit lega. Perkuliahan saya membaik. Sayapun melebarkan sayap, berteman dengan yang katanya ‘orang-orang kiri’ di kampus. Ternyata mereka teman sejenis saya, sepemikiran, sekegilaan. Teman-teman yang dianggap sampah oleh teman-teman lainnya. Kini, saya banyak bergaul dengan mereka. Di sisi lain, saya dicemooh karena semakin berbeda. Jalan hidup saya, dikutuk teman-teman sekelas. Saya tidak peduli. Saya punya cara berbagi dengan sesama, tanpa mengenal kelas dan isi kantong.

Saya besar dalam didikan islam yang keras. Ayah saya seorang imam. Dia yang mengajarkan saya memakai jilbab dan bertutur sopan. Akan tetapi, saya ingin menemukan diri sebagi islam yang ikhlas, tanpa embel-embel keturunan. Tampilan saya kini, dari yang dulunya berjilbab, terlihat urakan, cuek, dan apa adanya. Bagi saya, tak masalah orang menilah fisikal saya bangsat. Toh, suatu hari nanti mereka akan mengingat hal-hal baik tak terduga yang pernah saya lakukan sebagai seorang bangsat. Ketimbang saya muncul sebagai malaikat, ketika berbuat satu kesalahan dikutuk sampai mati.

Kawan, saya takkan marah mendengar semua cemooh orang-orang atas ‘kebatuan’ saya. Ini diri saya. Saya punya persepsi sendiri dalam memunculkan karakter dan pelajaran hidup yang saya lewati selama ini. Hidup adalah pilihan. Pilihan saya tidak menjadi orang lain.

Friday 20 January 2012

Filmmaker Makassar yang Moody

Iking Siahsia, seorang film maker independen Makassar yang mengawali karirnya secara tidak sengaja dengan ide iseng untuk film pendek ‘Please, Karmila’ pada tahun 2003. Salah seorang pengurus ForFilm Makassar ini sekarang menyibukkan diri bergaul dengan anak-anak SMA di Makassar dan sekitarnya, belajar bersama mereka, sembari memberikan masukan mengenai pembuatan film pendek, penulisan skenario, dan pertimbangan sinematografi.

Menurut Iking, sebenarnya definisi film indie itu melekat di banyak sudut pandang. Dia sendiri berpendapat bahwa film indie bergerak sendiri, di luar industri, sebuah gerakan semangat. Film indie menawarkan gaya film alternatif dan eksperimental. Filmmaker ini berbeda dengan filmmaker industry minded yang memikirkan untung dan rugi sebuah produksi film.

Ditanya mengenai psikologi filmmaker di Makassar secara umum di awal munculnya, ia menjawab mereka bergerak dinamis dan kuat di beberapa personal. Geliat kompetisi berkarya masih kurang. Maksudnya, para filmmaker di kota ini melakukan produksi film untuk kebutuhan sendiri atau antar personal sebuah kelompok film. Belum ada gerakan-gerakan khusus yang ‘mengadu’ film karya sendiri dengan karya orang lain. Akibatnya, ada film yang ‘sukses’ sendiri, ada film yang jadi namun tidak dinonton orang.

Iking mengibaratkan filmmaker independen di Makassar itu seperti ikan-ikan di dalam akurium dan orang yang menonton gerak-gerak ikan itu dari luar. Ada ikan kecil, ada ikan yang besar. Ikan besar terlihat eye-catching dari segi ukuran dan mungkin corak tubuh yang menarik. Sehingga orang yang melihat dapat langsung menunjuk ikan-ikan mana yang mereka sukai. Ada pula jenis ikan tertentu yang senang berkelompok, jenis lain cenderung menyendiri. Inilah analogi Iking Siahsia mengamati perilaku filmmaker di Makassar. Kini, akuarium tersebut sudah dipenuhi ikan-ikan tambahan jenis baru. Gerakan mereka tetap ‘timbul-tenggelam’. Kadang ikan tersebut naik ke permukaan, ada yang statis di tengah, ada pula yang betah berada di dasar akuarium.

Filmmaker Makassar terlihat moody. Pendapat ini didasari kondisi psikologi pekerja film independen yang berdasar pada minat dan minimnya dana produksi. Film independen memiliki ciri khas di managemen dan pendanaan yang sederhana. Sulit memang menjadikan film independen sebagai industri, seperti film komersil. Sebagian filmmaker beranggapan, film independen adalah lahan filmmaker idelis yang tidak ingin terikat kontrak dan peraturan film komersil (bisnis film). Dalam film independen, seorang film maker bebas menentukan ide, management produksi, pemain, lokasi, durasi, bahkan cara kerjanya sendiri. Inilah keunikannya. Untuk alasan ini, jika satu karya ingin mendapat tempat di hati penonton, ingin merebut perhatian penonton film industri, seorang filmmaker membutuhkan screening. Baik itu screening komersil, festival, atau screening independen yang kebanyakan dibuat sendiri oleh filmmaker film yang bersangkutan.

Ikingpun menaruh perhatian terhadap mental penonton film Makassar. Selama menekuni dunia film pendek selama 9 tahun (sejak booming-nya ‘Please, Kartika’), ia mendapati masyarakat yang sebelah mata memandang perfilman independen. Filmmaker masih berusaha mencari penonton. Bukan penonton yang mendatangi. Cara memandang tersebut mulai berubah pasca menggeliatnya perfilman independen, menyusul screening regular Solata, Cinematica, dan gerbios Dewi Bulan. Penonton kini memiliki tiga lebih (menghitung screening lain yang bersifat temporal dan momentum) ‘bioskop’ alternatif di luar jaringan XXI. Screening-screening independen ini, walau digerakkan dalam bingkai kerja kolektif suatu komunitas, memperkenalkan langsung film-film pendek Makassar. Informasi-informasi mengenai perfilman independenpun kini mudah diakses lewat situs jejaring sosial.

Makassar telah memiliki banyak filmmaker dan program screening tempat mereka mengajukan karya kepada penonton. Menurut Iking, tinggal bagaimana kita memperkenalkan film independen dengan cara-cara khusus untuk seluruh lapisan usia masyarakat. Tentu sulit mengajak penonton bioskop beralih ke film independen. Sebab mereka terbiasa menonton film ‘mewah’. Iking memahami, usia remaja lebih mudah diperkenalkan jenis film seperti ini. Dua tahun terakhir, Iking fokus mendampingi anak putih abu-abu membuat film-film pendek untuk menciptakan mindset film independen di pikiran mereka dengan cara persuasif dan edukatif. Selain itu, ia memiliki treatment khusus mengawali mereka. Iking sering membawa film-film independen asing atau film yang selama ini tidak mereka dapatkan di bioskop untuk memperluas wawasan film.

20 Januari 2012.

Friday 13 January 2012

Gerobak bioskop Dewi Bulan Episode 9!!!

Seperti biasa, kawan, gerobak bioskop Dewi Bulan turun sekali sebulan. Awal tahun ini sedikit berbeda, 2012 diawali menonton film ‘Pearl Jam 20’. Dan kini, hari ini, 14 Januari 2012 Dewi Bulan turun membawa ‘Linimas(s)a’ dan ‘Ruma Maida’. Tak ada tema khusus episode ini, kita berbagi bersama di program layar tancap ini, bertemu teman-teman baru bahkan teman lama, dan tukar-menukar akun situs jejaring sosial.
Dewi Bulan turun setiap bulan di Markas Tanahindie, Kampung Buku. Jalan Abdullah Dg. Sirua, kompleks BTN CV. Dewi no. 192E. Layar akan ditancap tepat pukul 19.00. Gerbios dimulai sambil memutar video konser Scorpio dan film-film pendek produksi Makassar.


Sinopsis:


Linimas(s)a | Documenter | ICT Watch (2011) | 45 menit | International Premiere: Manchester University -- UK (April 4th, 2011


~The 1st 45 minutes documentary movie about how social media & Internet become a trigger and medium of social movement in Indonesia~

Linimas(s)a, sebuah film dokumenter yang bercerita tentang kekuatan gerakan sosial yang terhimpun dari situs jejaring sosial internet seperti facebookdan twitter. Lahirnya gerakan ini dipicu oleh sejumlah peristiwa penting yang terjadi di Indonesia. Dimulai dari kasus kejanggalan hukum Prita Mulya Sari sampai gerakan kemanusiaan untuk korban Merapi. Ketika Prita Mulya Sari ditahan akibat tuduhan pencemaran nama baik oleh rumah sakit Omni Internasional, kasus ini kemudian menjadi perbincangan hangat dan serius di berbagai situs jejaring online, media elektronik maupun cetak. Twitter dan facebook yang merupakan situs jejaring social terbesar penggunanya di Indonesia, begitu ramai membicarakan kasus ini.Dari sinilah kemudian lahir gerakan solidaritas untuk Prita dengan melakukan kumpul koin guna membantu meringankan denda yang harus dibayarnya.



Ruma Maida | Teddy Soeriaatmaja | Atiqah Hasiholan, Yama Carlos, Davina Veronica, Nino Fernandez, Frans Tumbuan, Wulan Guritno |90 min |2010

“Kerusuhan: Salah Siapa?”

Maida adalah seorang gadis kikuk yang idealis. Telah dua tahun ia mengelola sekolah bagi anak jalanan di sebuah bangunan tua yang terbengkalai. Disulapnya sisi dalam bangunan rongsok itu bagai istana putri salju dan para kurcaci. Meja dan Bangku dibuat dari sisa kayu. Perlengkapan kelas dibuat bersama dari barang bekas. Pada suatu hari, seorang pengusaha membeli kavling itu dan hendak mengubahnya menjadi sentra bisnis. Maida dan sekolah liarnya terancam terusir. Ia berjuang keras untuk mempertahankan istananya. Dalam perjuangannya, Maida justru menyibak misteri dan sejarah bangunan tua tersebut. Bangunan itu pernah menjadi saksi atas kisah cinta yang syahdu dan tragis antara dua insan dengan latar pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia

Friday 6 January 2012

a nocturnal art

www.rybakow.com: night_woman





dailypainters:lonely_girl original oil portrait





Damian_Klaczkiewicz: A lonely nocturn




www.dallasartsrevue.com: kdixit yello man





Tom-Levy: Lonely Painting Lonley





http://image.made-in-china.com/2f0j00fMhQaScrvVkp/Oil-Painting-Lonely-C-48-.jpg
jude griebel: the lonely painting





jude_griebel_the_lonely_painting





girl-lonely by laura johnson

jiwa, segeralah sekarat!

Seperti biasa, seperti biasa.
Seperti biasa hari terang habis tidak saya tonton. Hari malam saya peluk-peluk jinak. Pun detik-detik di antaranya, saya mengingatmu. Masih tentang kamu. Yang bilang, saya sesiapamu. Berulang kali kau sampaikan pada saya. Dan saya selalu tidak ingin menunjukkan wajah paham.


Datang dan pergi, semacam pembeli di warung kaki lima. Semacam mahasiswa semester tua yang muak memaksa diri duduk cantik dalam kelas. Begitulah mereka, orang-orang bodoh yang mencintai kesementaraan. Keabadiaan milik sayapun tak lagi ingin diadopsi. Ia damai dalam kandang, bersama lumut-lumut zaman dan kata-kata pembangkit birahi. Ia tenang sendiri, menggasak kelamin sendiri. Ia tahu, yang menganggapnya sesiapa itu, akan tetap menjadi bukan siapa-siapa selamanya.


oilpaintings by alfred-gockel


Biasanya, kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Harapan saya tahu ia tak pernah pindah menjadi pencapaian. Pencapaian saya menerima, tak ada ciri harapan di antaranya. Keduanya terlahir di tempat berbeda, setelah tukar-menukar rahim.


Saya pun sadar, tak lagi terharu melihat bebutir air jatuh dari pelupuk mata para sahabat. Saya tak lagi menikmati sisa hujan yang merambat turun di kaca jendela angkutan umum. Demikian pula, bias wajah saya di kaca spion sepeda motor yang tak lagi tahu pindah ke mana-mana. Semua berubah biasa. Berubah mengabur. Membiasakan diri akan buat kita tahan,


buat kita paham: ini dunia tak ada pemilik.
Bikin kita mawas diri: ini tubuh tak ada arti.
Buat kita bilang: jiwa, segeralah sekarat!

Tuesday 3 January 2012

Ini Tentang Angin

Saya sungguh mencintai angin. Angin kecil dari siulan, hembusan dari pantat, angin kecil yang mencumbui daun telinga, dan angin besar yang menerbangkan rumah-rumah.

Suatu hari, saya bertemu angin beriak tenang, seperti sungai tak berakhir di air terjun. Angin itu melekat di tengkuk saya. Lalu di atas tubuh saya. Beberapa hari kemudian, angin itu hilang. Hilang seperti bumi sudah terlalu basah tampaknya. Saya menemukan dia, bermain-main dalam sebuah gua purba yang diisi setangkai bunga warna biru. Bunga yang tak terdaftar di ensiklopedia flora. Mungkin saya yang kurang intelek, atau membaca ensiklopedia kadaluarsa.

Angin itu saya panggil, ia tidak menoleh. Mungkin pura-pura. Lama saya marah dibuatnya, ia datang membawa kata maaf. Saya benci kehilangan barang canduan. Dia menyesal buat saya sakau. Angin itu saya maafkan, saya ijinkan dia jadi tornado di depan saya, setiap malam.

Angin itu kembali lagi menjamah gua purba. Saya tidak paham apa yang dipikirkannya. Benar-benar angin kurang ajar. Saya memutar satu lagu yang mampu kembalikan rasa benci saya. Saya buatkan air terjun di ujung tiupannya. Saya tak ingin memaafkan dia lagi.

Agaknya dia angin yang pandai. Pandai mencari kelemahan di tubuh saya. Itu pula yang membuat ia merasa jadi angin yang lebih muda dari angin muson. Saya tidak peduli padanya. Saya mau dia bertiup bukan di dua tempat. Saya tahu dia tak mungkin memilih gurun mana tempatnya akan menghabiskan hembusan terakhir. Saya juga tidak punya hak apa-apa memiliki dia. Saya usir dia, saya usir dia.

Penonton Indonesia Belum Lahir

Saya bukan penonton film yang rajin ke bioskop. Saya penonton film yang lebih senang menontong goyonan live tukang ojek atau penjual martabak. Alasannya, setiap kali ke bioskop, saya merasa kesepian. Teman-teman saya, begitu masuk pintu bioskop, habis diperiksa tasnya, langsung lari melongoi poster film asing. Saya ditinggal sendiri sambil diteriaki, “Ndeso!”. Sebab mereka tahu, saya akan melongoi poster film Indonesia. Itupun hanya lima menit, kalau posternya bicara film semi atau horror dengan setan yang itu-itu terus. Waktu film Fiksi diputar, saya melongoi posternya sangat lama. Perasaan senang mekar-mekar di dada saya. Poster itu cantik dan artistik. Tapi teman saya, yang hari itu bersedia bayar tiket dan pop corn, menyodorkan tiket film asing. Tanpa melongoi poster.

“Semalam aku lihat di internet. Bagus,” begitu alasannya. Saya ikut-ikutan saja, melangkah masuk ke studior, dengan perasaan akan digugat putus poster film Fiksi. Selang beberapa bulan kemudian, pas perhelatan FFI, Fiksi menang sebagai film terbaik. Waktu itu, Fiksi sudah turun dari bioskop. Saya carilah Fiksi di web donlot film gratis. Dan asem, yang ada file-nya jauh dari bagus. Seminggu lebih saya begadang, mencari web lain, menggunakna internet gratis di kampus. Akhirnya saya menemukan, pas saya sangat kelaparan. Saya pun meminta seorang teman untuk men-donlot file film itu sementara saya cabut mencari makananan, teman saya mengiyakan. Pas balik, teman saya hilang. Saya periksa laptop, file-nya succesfully downloaded, tapi hanya Part1. Ternyata teman saya donlot film asing, sebuah film semi dan satu film horror Asia.

Karena jengkel, data kedua film itu saya lempar ke recycle bin dan berniat bilang,
“Kalo mau donlot film asing, jangan pake laptop pribumi!”
Tapi teman saya menghilang betulan. Entah ke mana, saya tidak peduli. Hari-hari berikutnya, saya habiskan nongkrong cerita film di kantin kampus. Mereka lebih banyak bercerita tentang film Korea, film Jepang, dan film-film box-office. Lalu saya nyelutuk, perihal Minggu Pagi di Victoria Park, Mereka Bilang, Saya Monyet, dan Merantau. Mereka cueki saya, katanya seleraku sangat tidak up to-date.

“Dasar monyet!”

Ini saya yang salah negara, atau mereka memang telah dibeli negara asing di alam bawah sadarnya? Film Indonesia berjuang membentuk diri sejak 1825, mulai dari Pribumi Berburu Buaya, sampai film Sang Penari 2011 kemarin. Beberapa kali sempat sekarat karena tuntutan penonton yang mencari dunia lain birahi dalam layar bioskop. Namun disembuhkan oleh sineas lain yang berani berbuat dan berani bicara, “Menyuguhkan Indonesia dari canteng, bukan cangkir.”

Sekarang ini, pembuat film Indonesia mengkotak-kotakkan diri. mereka yang memanjakan pasar dan tidak mau kalah saing dengan produk film luar negeri, membuat film horror dilapis semi-porn atau sebaliknya. Yang lain, yang paham bahwa tontonan tak melulu harus memuaskan serotonin, namun pula mesti memberi asupan nurani dan nilai-nilai moril, membuat film yang di luar ekspektasi penonton kebanyakan walau beresiko kurang laku.

Menurut saya, orang Indonesia banyak sekali, namun sedikit bahkan nyaris tidak ada orang yang tahu ‘menonton’. Jika alasan mereka, film Indonesia tidak ada yang bagus, lantas bagaimana nilai dan pencapaian film-film Indonesia, yang panjang atau pendek, yang memenangkan festival film bergengsi taraf Internasional?

Film-film Indonesia wajar merasa dianaktirikan oleh keluaranya sendiri. Mereka lebih dihargai orang asing ketimbang om, tante, dan saudara pribumi sekalian. Di Hollywood, film-film pemenang Oscar berada di daftar box-office, sementara film lain yang tersisih, jarang kita temukan di list itu. Ini berarti, rakyat Amerika memang senang dan menghargi Amerika. Bukan negara asing. Bahkan rakyat negara asing ikut mencintai negara adidaya itu.

Lah, kita, orang Indonesia. Waktu ibu dan ayah membuatkan kita kuda-kudaan dari pelepah pisang, kita malah minta uang naik komidi putar. Yang hanya memberikan kesenangan sejenak, paling lama 5 menit. Kuda-kudaan pelepah itu bisa tahan sampai besok sore, dan termasuk renewable resource, sebab bahannya dari alam Indonesia.
Sineas-sineas idealis itu menyuguhkan Indonesia untuk Indonesia. Kita, orang Indonesia tidak menonton Indonesia. Ini kesalahan intelektual yang lama terjajah film ‘amoril’ ataukah tak punya nalar menonton yang baik dari sananya? Atau memang penonton Indonesia belum lahir? Penonton hanya numpang kewarganegaraan Indonesia, makan-tidur di Indonesia tapi memberikan mata, tenaga, pikiran, dan uangnya untuk negara lain?

Katanya, menikmati film bukan perkara nasionalisme. Alasan beberapa orang, film Indonesia belum bisa menyentuh capaian film asing. Dari tontonan saya mengenai film Indonesia selama ini, film Indonesia semakin mencerdaskan diri. sudah banyak film-film yang kuat secara tematik dan sinematografi. Ada banyak film Indonesia yang disejajarkan dengan film-film asing, bahkan lebih manusiawi dan artistik ketimbang film-film asing. Menu tawaran perfilman Indonesia tidak lagi monoton. Jadi, penonton saya rasa mulai kurang waras jika mengangkat alasan, “sineas kita belum bisa diandalkan”. Ini hanya alasan pembenaran diri, semacam cari kambing hitam agar tidak disalahkan atas mental menonton yang jauh dari harapan.

***
Segeralah lahir, penonton Indonesia!

Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger