Sunday 1 May 2011

Rumahmu (bagian ketiga)

Merah, kuning, hijau
jangan salah, kawan. itu bukan pelangi. melainkan seperangkat alat pembungkus tubuh. pelan-pelan, sambil tertawa licik kumasukkan ke dalam koper. hmm, tepatnya tas besar warisan kakek. Rumah ini sudah tak layak ditinggali. Semua pintu rusak, atap bertambah bocornya. Belum lagi kalau turun hujan, volume air sekecil apapun, akan masuk dari sela-sela rumah dan membanjiri lantai paving-nya. hanya orang bodoh yang akan bertahan di sini. kalau aku mati, tentu tidak akan ada yang tahu. apalagi dia.

seminggu ini, aku dikirimi telegram dan surat dengan merpati pos. isinya dari orang-orang lama yang jelas tidak ingin aku lupakan. kata mereka, rumah mereka semakin bagus dan pasti aku akan betah jika suatu hari mengunjunginya. pikirku, tidak salah jika kucoba, sekali lagi, menerima jamuan mereka, sambil sesekali tertawa dan mengenang masa lalu yang tidak pernah mereka lupakan. surat lain datang, dikirim bersama sepaket bingkai foto dan lukisan. dari sahabat-sahabatku. mereka ingin aku membantunya memperbaiki rumah mereka untuk dijual kembali. baiklah, kawan! meratap itu pekerjaan sia-sia. makanya, Dia, Tuhanmu, tidak suka kalau kau meratapi apa yang jelas-jelas sudah diambil orang. apa artinya fase ini selain kekonyolan dan jalan buntu. berbaliklah, pilih tikungan yang tadi kau abaikan. dia tentu tidak buntu. tanganku selalu siap menggandeng kalian, kalau perlu aku berjalan di belakang saja, wanti-wanti siapa tahu kalian melemah.

rumah ini. ruangannya sudah sempurna. karena sudah sempurna, buat apa lagi aku tinggal. masih banyak lahan lain yang siap dijamah. koper kuseret keluar pagar. pintu pagar sengaja tidak kugembok. siapa tahu, nanti kau datang, hendak singgah sejenak. dan, selamat ! anda tertipu. hahhaha... aku tidak lagi tinggal di sana ! hari itu, mungkin saja aku tengah menonton dari jauh, dengan binocular pinjaman itu dan tertawa terpingkal-pingkal menonton kebodohan dan penyesalan panjangmu. hidup ini lahan permainan, aku dan kau adalah pemain. maaf, aku sudah naik level. jauh di atasmu.

beberapa pesan pendek masuk. dari para pengirim surat. ternyata mereka tidak sabar lagi ingin kukunjungi. kata film, di sinilah petualangan baru itu dimulai. terima kasih atas kesediaannya. balasku. mungkin nanti, jika sempat kutengok kalian. tapi aku mohon, jangan suguhi aku botolan atau bong. pun tidak seperangkat alat shalat. mau itu tunai atau utang. aku lebih suka sebungkus rokok hitam yang dari jauh, katanya seperti ranting pohon. jangan lupa vanilla latte kesukaanku. dan lagu-lagu santai. kalian mesti pandai-pandai membuatku betah.

nanti aku hubungi jika hendak ke sana. hari ini, ingin kusandangi sebuah rumah baru. kelihatannya sangat asri. kolam ikan menyambutku di halaman. miniatur kepala suku indian terlihat seram di depan pintu, mungkin bagimu, bagiku sangat eksotis. pemiliknya baik dan ramah. dari dalam matanya, bisa kulihat luasnya dunia ini. dan kata-katanya menjadi epilog yang membuatku tidak sabar lagi untuk segera mengetuk pintunya.

Rumahmu (bagian kedua)

Lelaki berlangkah gontai, agak seret namun menyepat. Percepatan yang tidak seirama dengan degup jantungnya. Sore itu dia melintas di depan rumah baru yang sudah lama ia tinggalkan. Ada perasaan jengah pada rumah itu. Kadang terbersit rasa marah hendak membakar. Gumulan rasa yang muncul di hari-hari terakhir menjelang ia memutuskan untuk meninggalkannya. Hari-hari saat aku dan dia terakhir kali melancong udara bersama. Kami melintasi rumah lamanya. Rumah lamanya tampak ceria dan tidak banyak berubah. Bahkan lebih bekarakter dan terpelihara semenjak dia meninggalkannya tahun lalu. Aku melihatnya, seolah dia tidak melihatku memperhatikan rumah itu.

Hari itu, rumah barunya, rumah kami sedang dilanda masalah genteng bocor, engsel pintu rusak, dan lantai yang dibanjiri air dari mana-mana. Kami tidak menyadarinya sebab demikian sibuk dengan urusan masing-masing dan baru kembali ke rumah ketika bulan malam semakin tampak. Maka waktu berdua yang tersisa paling banyak lima menit. Itupun dihabiskan dengan menghisap sebatang rokok mild favorit bersama, di samping asbak yang tak pernah sepi. Selebihnya kami tertidur, melepas penat tanpa peluk cium. Kedataran yang sama-sama tidak diharapkan.

Kedataran itu pada akhirnya berbuah jambu muda yang pekat dan mengganggu di seputaran mulut. Membuat kami saling memaki. Membuat kami saling berhasrat untuk merobohkan dinding rumah kami. Rumahnya yang sebelumnya ia rawat dan cintai sebab masih baru, masih mulus, dan masih sangat mengerti para penghuninya. Sebuah rumah kecil. Satu teras. Satu ruang tamu. Dapur dan meja makan disatukan. Serta satu kamar tidur. Lahannya cukup luas hingga pekarangan kami masih bisa dibanguni beberapa paviliun dan nantinya akan menjadi halaman bagi anak kembar kami untuk bermain lojo-lojo atau ruttak gundu. Sengaja kami membangun rumah di atas lahan itu, agar nantinya bisa kami ganti dengan kastil kecil bergaya gothic dari luar, dan berarsitektur asri pedalaman di bagian dalam.

Rumahmu

Dini hari,
Kelopak mata atas membenci yang bagian bawah..
Maaf, tidur. Kau bukan lagi milik malamku. Menyusul cemilan dan minuman keras.

Dini hari,
Game tetap jadi pengingat akan gondola yang berputar-putar mengkhawatirkan para ibu

Yang menarik bagiku hanya ini... seputar isi rumahku yang berantakan.
Memperhatikan sekitar dalam mimik wajah pengap. Rumahku, apa yang hilang darimu. Ruang-ruangmu tidak pernah berkurang. Tak niat kutambah. Semua pas. Semua membahagiakan. Hanya saja mungkin di ruang tamu, tata letakmu kurang baik bagi mata hatinya. Tidak membuatnya betah untuk menikmati rokok tengah malam bersamaku. Dan barteran cerita baik-buruk. Di bawah bulan yang bersinar sepanjang tahun.

Beberapa bingkai foto tidak pas posisinya. Sebagian mungkin harus kupindahkan dan yang lainnya kubuang saja. Vas-vas bunga itu juga. Terlalu ramai. Kita berdua tidak begitu mencintai mekar bebungaan. Ruang ini semestinya bebas dari warna-warni menipu. Mawar putih dan hitam cukup.

Perabotanpun tampaknya berlebihan. Rak-rak kayu tak berhias tak berisi. Kita tidak sedang menanti hadiah dari siapapun untuk mengisinya. Baiklah, kupindahkan. Ruang tamu mulai lapang. Sesuai kesukaanmu.

Beralih ke dapur. Tempat favorit kita pada pukul 11 pagi menjelang siang. Semua cukup. Pas. Tapi, bagaimana dengan lemari pendingin? Kita butuh persediaan untuk bincang-bincang tengah malam yang membahagiakan itu. Mari ke minimarket terdekat.

Terakhir, kamar kita. Kamar segitiga. Sebuah ranjang besar. Seprainya lembut. Kutata sedikit agar tak cepat kusut kita mainkan. Jendela lebar berkusen kayu cokelat. Ada lampu antik di tepi kiri. Tepi tidur favoritmu. Semakin malam, kamar ini jelas semakin kita cintai. Adakah yang salah dalam ruangan ini? Ah, iya... ayunanmu. Baby box, meja kerjaku. Meja bermainmu. Bodohnya bisa kulupa. Saat kembali, semua sudah lengkap. Jika tidak untuk apa aku tetap di sini?

Bulan belum menemukan jalan pulang. Matahari tergesa-gesa berangkat. Mereka bertemu di persimpangan waktu yang mengantukkan mataku. Selamat tidur kau di sana, semoga mata kita terkatup di saat yang bersamaan. Sambil tersenyum.
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger