Saturday 25 February 2012

7 bulan luka.

tersenyumlah,

Friday 24 February 2012

Seni Kata Tuhan

Totality or die. Saya tak pernah main-main saat menyebutkan kalimat itu. Kebanyakan temanku tertawa mendengarnya. Katanya, sama saja kalau kau bilang, “Aku bisa hidup sendirian,” kalimat itu tak bisa dilakukan semudah dikatakannya. Saya bilang, “Kau tahu, saya tak suka bermain-main soal seni dan sastra,”

Mei 2011, saya sering menghabiskan waktu di UKM seni fakultas saya. UKM ini mengaji seni, sastra, dan teater. Setelah vakum cukup lama di perteateran, teman-teman UKM Kosaster memutuskan untuk ikut serta dalam FTMI 7, sebuah ajang kompetisi pertunjukan teater antar pekerja seni kampus. Saat itu digelar se-Sulsel dan Sulbar.


Dalam mencari anggota baru, Kosaster terbilang unik. Belajar dari pengalaman prosesi penerimaan anggota baru yang telah mereka laksanakan tiap tahunnya, hanya sedikit yang menciptakan PSK loyal bagi UKM tersebut. Banyak di antara alumninya yang hanya cari nama, kasarnya biar dibilang aktif di kampus, jadi mereka mendaftar di UKM itu. Alhasil, di tengah kepengurusan, mereka hilang satu persatu. Tinggallah beberapa teman seangkatan saya mengurusi UKM tersebut. Kebanyakan dari mereka tak begitu tertarik dalam penyutradaraan teater. Waktu itu teman-teman tahu saya pernah mendeklamasikan puisi, bermain dan menyutradarai drama sekolah, dan telah membuat beberapa film pendek. Riwayat ini memang tak sering saya ceritakan kepada orang. Malam itu mereka menjadikan saya sebagai anggota Kosaster. Tanpa melewati prosesi.

Waktu itu saya cuma sahabat Kosaster. Saya menghabiskan waktu di sekret Kosaster sekedar merokok dan curhat kalau galau. Jujur saja, saat masih menjadi mahasiswa baru saya sangat tertarik dengan Kosaster, namun saya terbelit masalah ekonomi keluarga hingga harus mengurungkan niat untuk berkesenian di kampus. Dari situ, teman saya, kepala suku Kosaster meminta saya menjadi sutradara untuk FTMI7.

Saya kaget, gemetaran, takut, dan aneka jenis perasaan negatif lainnya setelah ditawari. Saya tak pernah mendalami dunia teater sebelumnya. Saya menganggap pengalaman drama dan film jauh berbeda dengan teater. Namun, teman-teman dan senior saya memberi semangat. Sayapun menerima tawaran itu. Sekali lagi, totallity or die. Sudah jadi prinsip saya pula, menyelesaikan sebuah kata ‘iya’ yang keluar sengaja atau tidak dari kepala saya.




Kamipun membentuk tim produksi kecil, melakukan casting, dan memilah-milah naskah yang paling sesuai untuk kondisi Kosaster. Jadilah kami mengambil naskah Motinggo Busye, ‘Malam Jahannam”.
Kosaster berada di bawah binaan tokoh teater senior Sulsel, bapak Fahmi Syarif. Ketika teman-teman Kosaster menyampaikan niat keikutsertaan mereka di FTMI7, beliau sangat senang. Dan semakin senang ketika tahu ada mahasiswi sastra yang ingin menjadi sutradara. Beliaupun membimbing kami, utamanya saya. Saya terus belajar dari dia.

Setelah membaca beberapa buku teater, saya memilih teknik penyutradaraan yang saya sebut ‘kerjasama’. Teknik ini tidak menjadikan sutradara sebagai satu-satunya penentu bentuk karakter tokoh, melainkan ia memanfaatkan kemampuan aktor bersama dengan ide dari kepalanya sendiri. Sutradara ini tidak diktator. Waktu itu, teman-teman menganggap remeh saya, sebab gaya penyutradaan saya baru bagi mereka. Mereka terbiasa disutradarai dengan teknik satunya, teknik yang menyerahkan segalanya kepada sutradara. Dalam praktiknya, sutradara memberi contoh, aktor meniru. Teknik yang saya pakai, saya awali dengan pertanyaan, “Bisa kamu tunjukkan pada saya, bagaimana karakter si Fulan dalam cerita itu?”. Setelah aktor menunjukkan pemahamannya, lalu saya gabungkan dengan pemahaman saya. Dan jadilah tokoh tersebut.

Masukan dari pak Fahmi, (dan beberapa cerita dari Pak Alwy Rahman), bacaan, rekomendasi buku dari senior, dan video-video tidak cukup bagi saya. Saya merasa harus melakukan sebuah simulasi, paling tidak menonton langsung lebih banyak pertunjukkan teater, kebetulan saat itu I Lagaligo akan berlabuh di Makassar. Robert Wilson, setelah perjalanan keliling dunia mementaskan I Lagaligo, sebelum kembali ke Palopo, mementaskannya terlebih dahulu di benteng Rotterdam. “Saya bukan hanya harus menontonnya, tapi harus belajar dari para kru-nya pula!” Saya memang terbiasa menyiapkan bahan selengkap mungkin sebelum mengolahnya. Saya harus mempersiapkan diri untuk teater ini dan jauh setelahnya.


Saya pun mencari cara menjalankan niat ini. Adalah Sani, teman angkatan saya, dia anggota Kosaster dan alumni sebuah sanggar seni di Barru. Kebetulan sekali, senior ukm seni tersebut menjadi kru Robert Wilson. Kamipun bertemu di pantai Losari.

Ternyata senior Sani datang bersama seorang pemain dan dua lagi kru I Lagaligo. Kami ngobrol banyak. Penampilan saya memang agak nyeleneh malam itu. Saya datang mengenakan celana sobek-sobek dengan rambut acak-acakan. Tiga orang kru itu tertarik pada saya, mungkin mereka bilang, “Wah, ada seniman muda!” nyatanya saya bukan siapa-siapa.

Tiba-tiba Sani mengirimi saya sms, padahal dia duduk di samping saya.
Isinya:
“Gawat, salah satu dari mereka mau ayam!”

Saya membalasnya dengan santai, saya pikir Sani sms karena agak malu sama mereka berlima.

“Ajak aja mereka ke sekitaran Datu Museng, di sana kalo nda salah ada resto ayam bakar,”

Sani menjitak kepala saya, “Ayam kampus!”. Saya membelalak. Keempat seniman itu minta ayam kampus. Sialan sekali. Tapi mereka menjanjikan free access menonton pertunjukan itu. Saya memang tidak punya uang untuk membeli tiket yang waktu itu naik lagi jadi tiga ratus lima puluh ribu. Dengan ragu saya mengiyakannya.

Seminggu menjelang pertunjukkan. Saya bertanya ke mana-mana informasi tentang ayam kampus. Sial sekali. Waktu itu mereka sudah pada sarjana. Sampai don juan kampuspun kutanya, dan hasilnya nihil. Saya mulai putus asa. Tiba-tiba saya teringat seorang sahabat lama, dia pernah cerita kalau dia kini ‘menjajakan diri’. Saya bilang dalam hati, “Saya tak mau menjual teman sendiri. Tapi jika memang tak ada pilihan lain, semoga dia mau mengerti.”

Saya tak langsung menghubungi teman lama itu. Tapi saya menganggap pencarian ayam kampus berhenti di situ. Latihan dasar persiapan FTMI7 pun saya mulai. Kami perlahan-lahan berlatih setiap sore di seputaran sastra.

Malam hari H. Saya mengingat janji ayam kampus itu. Tapi saya tetap berusaha mencari cara agar tidak melakukannya. Risih saja berurusan dengan dunia pelacuran. Sayapun pergi ke Rotterdam, pukul 7 malam, sendirian. Halaman benteng ramai sekali. Harga tiket naik. Saya sempat iri melihat begitu banyak orang dengan santai memasuki antrian tiket dan mengeluarkan sejumlah uang yang tidak saya punyai. Lalu senior Sani menelpon saya,

“Di mana? 30 menit lagi pertunjukan dimulai. Kamu harus masuk sekarang,”
“Saya di taman. Jemput saya!”

Tak lama, datang dia datang mengenakan jaket khusus kru dan Id Card. Ia menyerahkan Id Card itu pada saya, lalu menarik tangan saya menerobos antrian,

“Skenarionya, kalau ada yang tanya kamu pas di pemeriksaan tiket, jangan ngomong apa-apa. Biar kakak yang bicara,”

Saya mengikutinya dan lolos ke dalam. Id Card itu ia ambil kembali. Di dalam, saya bebas memilih tempat nonton, tapi bukan yang ada kursinya. Saya tak peduli. Saya mencak-mencak pas melewati gerbang dan langsung lari tidak keruan saking senangnya. Saya naik ke bagian atas gerbang benteng dan menemukan view yang nikmat menyaksikan pertunjukan itu. Senior Sani kembali bekerja. Saya sendirian, tapi senang tak kepalang tanggung.

Di atas sana, saya bertemu dengan teman-teman filmmaker yang sedang mendokumentasikan pertunjukan itu diam-diam. Akhirnya tak sendiri. Pertunjukkan berlangsung magis. Saya berkedip tak normal. Tak mau menghilangkan secuilpun pelajaran dari pertunjukan itu sampai selesai, sekisar pukul 10 malam.

Senior Sani pun menjemput saya di atas sana, lalu kami membahas pertunjukkan tersebut di kafe depan benteng. Saya banyak belajar dari dia. Kami ngobrol sampai pukul tiga. Lalu dia mengajak saya ke hotel tempat para kru I Lagaligo menginap. Kami ngobrol lagi di dermaga hotel tersebut sampai subuh.

Berhari-hari tak tidur bikin kepala saya pening. Kakak itu menyuruh saya beristirahat di kamarnya. Kamipun ke sana. Saya tak curiga. Ya, saya sudah terbiasa tidur sekamar dengan teman lelaki. Teman saya hampir semua laki-laki. Hidup saya cukup Rock ‘n Roll, mengikuti istilah teman.

Di dalam kamar itu, ada dua kru yang tempo malam ketemu di Losari. Kami ngobrol lagi. Saya jadi tidak bisa beristirahat. Tapi saya senang, mereka memberi saya pelajaran yang banyak mengenai teater. Apalagi posisi mereka berbeda-beda di pertunjukan itu. Satunya di artistik, satunya lagi mengurusi aktor, yang lain sebagai pemusik. Ngobrol subuh sampai pagi itu sangat berharga. Saya lupa urusan ayam-ayam.

Pukul 7 pagi. Semuanya sampai di titik capai tak tertahankan. Satu-persatu keluar kamar dan mencari tempat istirahat. Hotel itu sengaja disewa khusus untuk para kru I Lagaligo. Semua pergi, termasuk kakak itu, tapi tidak dengan si pemusik. Dia orang Bali. Saya hapal namanya, tapi kita panggil dia Bli saja.

Saya melanjutkan cerita teater dengan dia. Soal musik teater. Ternyata dia salah seorang musisi tradisional bernama di Bali. Saya senang sekali. Semua pengorbanan saya untuk sampai di tempat itu tidak sia-sia. Tapi kesenangan saya terbang hilang, menyublim entah kemana ketika ia bertanya,

“Mana pesananku?”

Ternyata Bli yang cari ayam. Sialan! Saya kelabakan harus ngomong apa. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terkunci dari luar.

“Ah, tidaaaaak!”

Terpaksa, saya jujur dan minta maaf. Saya tidak mendapatkannya.

“Tidak apa-apa. Asal kamu yang jadi penggantinya,”

Itu bulan di atas, rasanya jatuh menimpa saya. Jual diri demi kesenian memang sudah biasa saya dengar. Tapi bukan berarti saya harus melakukannya. Totalitas atau mati. Saya ingat ini. Dengan sangat berat hati, saya mengiyakan. Iya, jual diri! heh.

“Oke, saya siap-siap dulu!” lalu saya masuk ke kamar mandi. Si Bli langsung baring aja di ranjang. Sial betul saya pagi itu.

Di dalam kamar mandi, saya tidak buka baju. Saya terus memikirkan cara, bagaimana menghindari barang ini, tanpa menyinggung perasaan Bli. Saya paham bagaimana perasaan seorang lelaki yang pengen ‘konek’ tapi tak bisa ‘nyolok’. Dulu, tahun 2009, saya pernah menyaksikannya langsung. Waktu itu mantan saya kesurupan kayaknya, minta ML waktu berkunjung ke rumah temannya. Situasinya mirip ini. Udah dua-duaan di kamar tapi saya menolak. Dia menendang-nendang tembok dan memukuli dirinya sendiri. Saya kabur aja, kan waktu itu. Putus dan nggak pernah ketemu dia lagi.

“Sahabat!” oh, Tuhan, terima kasih. Tiba-tiba saya teringat dia. Sayapun menelponnya. Berharap dia masih menggeluti profesi itu dan bersedia membantu saya.

“Jadi gitu, Li. Aku terjebak di sini. Please... tolong. Kamu tahu, kan aku bukan cewek begituan,”

“Aduh sayaaang, aku minta maaf. Aku begituan cuma sama pacar saja sekarang. Aku insaf, insaf....”

“Hah? Please... siapa kek teman kamu yang masih. Please...” aku ingat dia pernah cerita terjun ke dunia itu gegara teman sekolahnya.

“Oh, iya. Tunggu aku hubungi dia dulu. Berdoa ya sayaang...”

Tiba-tiba Bli mengetuk pintu kamar mandi.

“Udah belum? Lama amat, sih... aku check out dua jam lagi. Wah... quicky, nih!” Aku membuka pintu. Dengan wajah ragu dan nada putus-putus, aku bilang,

“Ada teman yang barusan sms, katanya dia ada. Tapi tunggu dulu. Masih nunggu konfirmasi. Biar dia naik taksi aja ke sini,”

Si Bli senang. Cuman agaknya dia lebih senang kalau sama aku. Mungkin dia tertarik setelah bincang-bincang yang cukup lama itu.

“Oke, kita tunggu,”

Sambil menunggunya, kami ngobrol lagi. Saya tak henti-hentinya berdoa dalam hati. Semoga teman sahabatku itu bersedia kerja sepagi ini. Tapi, Tuhan tampaknya pengen saya beneran jual diri kali ini, sampai 30 menit kemudian teman saya menghubungi,

“Dia nggak balas BBMku,”

BBM sialan! Tuhan, hari ini kamu menggilaiku!

“Ya, udah, kamu aja,” kata Bli sambil buka baju.

Sayapun menurut. Udah, total aja. Total. Toooootaaaaal!. To tal. To tal. T o t a l. To....................t..................al. troooot...al. al. Taaaaaaaaaal.... hiks.
Saya menangis! Serius, saya tidak bisa melakukannya. Untuk dipeluk lawan jenis saja, saya harus mencintainya dulu. Dan Bli, siapa dia, pemirsa? Saya baru kenal dia sepantaran obrolan saja. Dia orang asing. Hiks. Hiks.

Bli liat saya menangis,

“Kamu kenapa?”

“Tidak... teringat masa lalu saja,” jawab saya. Memang ia, saya kembali ke insiden sama mantan itu. Dan beberapa mantan setelahnya. Imajinasi saya memang liar. Dia malah kembali ke masa-masa perceraian orang tua saya. Sampai ke cerita bodoh lain soal kehilangan keperawanan. Sialan beneerrr...

“Aduh, ki. Maaf Bli, nggak maksud bikin kamu nangis. Coba, deh kamu cerita semua hal buruk itu,” si Bli lalu meluk saya. Ada yang keras-keras di bagian bawah. Sialan. Ternyata orang ini lain juga, tambah terangsang liat cewek sedih. Ada pelajaran tambahan.

“Dulu ada mantan, Bli. Pengen ML sama aku. Aku nolak. Kami bertengkar sampai putus. Dia kayak orang kesurupan,”

Paling sialnya, saya jadi ingat satu kejadian yang selama ini telah saya lupakan. Waktu itu ayah saya punya teman. Saat saya tidur di ruang tamu, tiba-tiba ada yang meluk. Ternyata dia. Saya masih kecil, kira-kira SMP. Tangisan saya makin keras. Tiba-tiba terjadi mukjizat di bagian bawah. Yang keras itu melembek. Yes!

Kayaknya benar juga teori, sebelum jadi sutradara, jadilah aktor terlebih dahulu! Oke, aku emang udah sering main drama. Saatnya acting. Imajinasi saya biarkan seliar apapun. Saya mengingat semua luka yang pernah saya alami. Apapun itu. Dari perceraian orang tua, putus cinta, dosen bikin sakit hati, teman yang meninggalkan saya, cerita film, curhatan teman, sinetron pernikahan dini, novel, ayat-ayat Al-Qur’an, petuah ayah saya, apapun itu.

Air mata saya jadi air terjun. Pokoknya nangis. Tidak ada lagi benjolan di bagian bawah. Si Bli terharu. Benar-benar terharu. Terharunya total. Toooo...taaaal. tal. Tal. Yeah!

“Udah, Ki. Brenti nangisnya. Bli bisa gila. Nggak usah, nggak usah ML. Ini duit kita pakai beli souvenir aja,”

“Maafin aku, bli...”

“Nggak apa-apa. Ayuk, kamu cuci muka. Butek banget kamu, udah nggak tidur, nggak mandi, nangis pula,”

Dan.... sudah!

Uang ayam Bli berakhir di toko ole-ole. Saya menemaninya berkeliling toko di sekitaran jalan sulawesi mencari souvenir untuk dibawa pulang ke Bali. Saya pilihkan dia sarung dan passapu’.

“Ki, sampai di sini, yah. Makasih sudah mengajari Bli banyak hal,” katanya pas ngatar aku di parkiran hotel.

“Aku yang harus berterima kasih, Bli mengajari saya teater dengan baik. Tapi, Bli, aku minta maaf soal tadi,”

“Hahahha... kamu itu bikin Bli sadar, ternyata cewek jenis kamu masih ada. Dan adanya di kota megapolitan. Bli nggak nyangka,”

“Maksudnya?”

“Di Bali, hampir semua teman cewek bli udah bli temenin tidur. Gampang banget ajak mereka. Kamu beda, kamu seniman muda yang beda,”

“Terima kasih sekali lagi buat ilmunya. Sama kakak yang lain juga,”

“Sama-sama, kamu hati-hati yah. Pelan-pelan bawa motornya, kamu belum tidur loh,”

“Iya,”

“Kalau mau ke Bali, bilang, yah. Nanti nginap di rumah Bli aja. Bli temani ke mana Eki mau pergi,”

“Serius? Hahha... terima kasih bli,”

Bli memakaikan saya sebuah gelang yang sejak pertama bertemu tak pernah lepas dari pergelangan tangannya.

“Aku nggak ada apa-apa buat kamu, ini aja. Jaga baik-baik ya,”

“Terima kasih, bli,”

Saya pun menyalakan sepeda motor dan pergi. Dari kaca spion, saya lihat Bli sampai saya belok di ujung jalan.
***

Beberapa minggu kemudian, sehabis latihan ‘Malam Jahannam’, saya ngaso sejenak di tempat latihan. Jam 9 malam. Sebuah pesan pendek singgah di ponsel saya. Dari Bli,

“Ki, kira-kira berapa, ya uang panai’ kamu?”
Heh?


Sepenggal dari FTMI7...
Kepala suku Kosaster berperan sebagai Utai. Setelah berminggung-minggu latihan dengan karakter sinting, dia kemudian bertanya,

“Ini Utai sebenarnya bodoh atau gila?”

“Menurut kamu?”

“Aku bingung, Ki. Dia bodoh, tapi mengerti rahasia Mat Kontan dan Soleman,”

“Apa selama ini kamu nyaman memerankan Utai?”

“Iya,”

“Aku lihatnya juga natural. Dapat.”

“Tapi itu gila, gila. Masa’ dia ketawa terus, masa’ orang gila mengerti rahasia?”

“Teruskan saja yang sudah kamu perankan. Itu sudah pas menurutku. Kamupun nyaman dengannya. Tak ada yang mesti kita ubah,”

Menurut saya, bodoh dan gila itu tipis batasnya. Pemain tak harus membedakannya. Tak harus memilih. Dalam beraktingpun, sutradara tak mesti memaksakan idenya pada aktor, apalagi di saat si aktor telah nyaman memerankan karakter dengan satu penafsiran mimik, vokal, dan gerak tubuh.

Teman saya masuk nominasi pemeran pembantu terbaik, dari tiga orang yang memerankan Utai.
Acting adalah membebaskan diri.

gambar: aku, para pemain, dan segenap kru 'Malam Jahannam' di FTMI7


gambar: Sekretaris Kosaster, Aku, Kepala Suku Kosaster, dan aktor andalan kami

Sunday 19 February 2012

#19 overworked underpressured

Malam ini aku hanya ingin menancapkan belati ke jantungmu.
Belati dari semua air mataku.
Air mata buatanmu.

*Arrrgh.....!!!

you are fucking jerk.


Kenangan kamu buat saya tak bisa melanjutkan buku itu.

Eh, camkan ini:
"Saya tak akan melanjutkan apapun yang telah saya katakan padamu setahun ini. Saya menjadikan diri pecundang. Kau pergilah jauh-jauh. Pergi! Bawa pula bayanganmu. Dia tak berguna. Dia hitam. Tapi hatimu lebih hitam"

Angin Sial

Mencintai angin mesti jadi Siul, ya?

jadi saya harus memainkan angin dengan nada dari mulutku. mulutku penuh makian untuknya.
ya, dia sialan!

angin itu, kau tau, Sapardi.... lebih suka kubunyikan pakai mulut pantat.
semakin menyenangkan karakternya, semakin kukutuk pertemuan kami.

Sapardi, aku bicara padamu seolah kita seumuran.
Perihal mencintai angin, aku rasa kau pakarnya.
Puisimu malah melukaiku.
Musikalisasinya mengganggu tidurku.

angin itu memberi derik miris di tepi kelopak mataku.
angin taik.

semua komitmen yang telah kukatakan padanya, akan kulupakan secepatnya.
Sapardi, berhentilah membicarakan angin.

Ah,....
dia sedang berdesir di sampingku,
coba menggeli tengkuk,

Sapardi, aku tak mau menjelma aku.
Buatkan aku puisi menjelma setan.

aku mohon

Judulnya Kopi

Selanjutnya. Datar. Selanjutnya, sesuatu yang lembut dengan lirik menyentuh dirimu, dan bibirmu. Bukan ini. Selanjutnya. Habis. Tidak ada lagu yang menyerupai bibirmu. Sinai mematikan pemutar musiknya. Ponsel yang beberapa tombolnya rusak digerus jari itu, ia tinggalkan di atas bangku batu. Di tengah taman kampus. Tak satupun yang menoleh ke sana. Tidak pula su ami-istri yang menjual nasi dos dan gorengan murah di kolong gedung fakultas.

Sinai mencium bibir bekas perempuan lain. Di bangku tengah taman. Dalam kepalanya.
Lebih bahagia menyanyi sendiri. Mendengarkan suara sendiri. Yang salah, yang benar. Tidak peduli. Kita bernyanyi, menyanyikan lirik-lirik yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Kita bernyanyi tanpa ada yang menggugat kesalahan eja dan harmonisasi nadanya. Sinai bernyanyi dengan lelaki milik perempuan lain di bangku taman tengah malam. Pada reff-nya mereka berpelukan. Bertukar lirik dari bibir ke bibir. Dari bisik ke bisik. Di dalam kepalanya. Dan segalanya menjadi bahagia.

Di bangku taman yang sama, tiga hari lalu.

Jaket dirapatkan, kancing tengah ketiga dari bawah hilang. Tanggal setelah tersangkut di sesemak parkiran, suatu pagi mengejar keterlambatan kelas pagi. Sinai mencoba menenangkan diri. Tidak, dia sudah tenang sebelum mencapai bangku itu. Seseorang sedang dalam perjalanan menjemputnya. Katanya, dia tidak bisa menghabiskan segelas kopi sendirian. Ia butuh Sinai, butuh bibir yang menyentuh bekas minumnya di satu gelas yang sama.

“Terkadang, kita harus membiarkan sesuatu tetap salah. Untuk satu tujuan, bukan hanya diri sendiri yang bahagia pada akhirnya,”

laki-laki itu menunggu asap berkurang dari gelas berkopi, meminumnya tiga teguk. Lalu menggesernya ke depan genggaman tangan Sinai. Ponsel berbaring di sampingnya. Pesan pendek memberi tanda kedatangan.

“Ada yang mencariku. Semestinya aku tidak di sini,” timpal Sinai, menyampaikan makna pesan yang baru saja datang.

“Apa kamu yakin dirimu semestinya berada di tempat itu?”

“Tidak,”

Satu pelukan menyergap tubuhnya dari belakang. Pelukan yang bisa meredakan gejolak jiwa dua perempuan sepertinya. Sinai membalas pelukan itu. Cukup sukar memiliki seluruh tubuh lelaki yang lebih besar darinya. Tapi hatinya yakin bisa memiliki apa yang dimiliki lelaki itu padanya dua kali lipat.

“Ke mana kita akan pergi?” Sinai menggelayut. Setengah ragu ia bertanya. Sebab lebih baik meyakinkan diri jika sedang bersama lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum, menatapnya ke bawah, “Suatu tempat yang tidak satupun hendak ambil peduli,”

Mereka beracakap, di bawah tenda bertuliskan merek rokok di atasnya. Sekitar kurang riuh. Lebih riuh percakapan mereka. Riuh yang diam. Riuh yang badai sendiri. Tak satupun suara terdengar. Hanya kedipan mata dan beberapa senyum saling membalas, dari kedua bibir pasang yang mulai tak asing satu sama lain sejak beberapa hari ini. Percakapan jenis ini terus berlanjut mereka lakukan, sampai lelaki itu membuka kunci sebuah pintu kamar. Satu-satunya topic yang mereka ulas habis hanya itu, tentang mengapa hati mereka saling mengenal sebelum mereka bertemu tatap.

Kopi hitam dijerang. Dua sendok susu kental manis dituang ke dalam gelas kopi. Adukan itu, pas. Seperti takaran gula. Satu pelengkap lagi, tersedia tanpa batas, namun sulit menghadirkannya: senyum seseorang. Sinai menatap kenangan dalam gelas kopi. Dua bekas bibir samar terlihat. Seperti bekas desah yang menenggeri kaca jendela di pagi hari. Hilang beberapa detik kemudian. Dedaunan bambu yang sempit melambai tak terasa. Angin malam semakin dalam. Pukul dua belas. Lelaki itu belum datang.

Dia akan datang. Beberapa menit lagi. Keyakinan adalah kehadiran dirinya.

Sinai tidak mengerti, sejarah mencatat banyak peradaban musnah karena kerakusan rajanya. Dinasti hawa nafsu. Sejarah mencatat raja-raja itu memiliki segalanya. Tanah, air, sumber alam, wanita, anak, dan kekuasaan. Namun sejarah juga memberitahu bahwa semua raja itu musnah oleh keinginan memiliki kuasa raja tetangga. Raja tetangga bertabiat sama. Mereka pun saling membunuh. Sebaiknya kita lebih sering menggunakan mata untuk melihat benda-benda terdekat, menyadari keberadaannya, merawatnya. Yang terdekat itu punya kita. Yang jauh merupakan hak orang lain.

Ia tidak mengerti apa yang membuat laki-laki itu mencintainya. Ada stok pelukan tak terbatas dari istrinya. Pun tidak ada yang lebih membahagiakan selain makan malam di rumah sendiri, rekening di bank tak pernah kosong, terdengar lagu lama dari gramofon warisan kakek di ruang tamu, dan seorang anak sendiri sedang lahap menghabiskan makanannya. Apa yang lelaki itu cari. Apa yang belum ia miliki. Tidakkah ia sadar diriku mungkin adalah hak orang lain.

Rasa yang sempurna. Lelaki itu datang membawa senyum yang dinanti. Ia duduk di samping Sinai, mencubitnya canda, lalu memesan kopi yang sama.

“Maaf, lama. Anakku rewel,”

“Mestinya kakak tidak usah datang, mungkin anak itu membutuhkan kakak sampai besok pagi,”

“Ah…kamu. Apa kamu tahu moment yang paling kusuka sejak kecil?” Sinai mengerutkan kening. Bagaimana ia bisa tahu.

“Minum kopi,”

“Hahah.. suatu hal yang bisa kamu lakukan di rumah,”

“…. belum selesai, Nai..” kopi pesanannya datang. Lelaki itu meneguk kopi dari gelas Sinai. “…aku suka saat minum kopi, sejak kecil. Akan tetapi, selalu ada yang kurang. Mungkin butuh teman minum kopi yang tepat,”

“Menurutku kakak sudah memiliki teman minum kopi, yang baik. Sekaligus barrista handal,”

Terjadi percakapan yang riuh sendiri lagi. Mereka mencakapkan banyak hal. Tentang segala kemungkinan. Di tengah-tengahnya Sinai mengeluh kelelahan. Banyak kali ia mencoba menggali hal yang mungkin dari ketidakmungkinan yang ia jalani. Seperti musim yang datang silih berganti, seperti lalu-lintas jalan di mana kita tidak tahu akan berpapasan dengan siapa di traffic light, ketidakmungkinan itu datang berkali-kali. Dia menggali lagi. Dari orang-orang yang berbeda. Sebelum menemukannya, orang itu telah beranjak. Sekarang ia kelelahan, di trotoar jalan, lelaki itu menghampirinya dalam wujud ketidakmungkinan yang lebih absurd. Apatis tidak diperlukan di sini. Sebab, ya, sebab trotoar bukanlah tempat tinggal.

“Saya juga ketidakmungkinan?”

“Ya,”

“Galilah lebih tekun, kubantu kamu menemukannya…”

“Aku tidak ingin ada peradaban lain yang hancur,”

“Bukankah kamu ingin aku bahagia? Nai, biarkan semua ini salah. Tidak semua yang salah mesti ditinggal pemiliknya. Jika semua memilih jalan yang benar, apa kau pikir jalan salah tidak akan kesepian?”

“Pasti kesepian,”

“Biarkan aku menikmati apa yang kau nikmati. Berikan aku rasa yang berbeda,”

Lelaki itu menenggak kopi milik Sinai lagi. Dua kali itu kesengajaan. Sinai menatap matanya dalam-dalam. Ketidakmungkinan melayang-layang di dalam sana. Juga perasaannya. Sinai tiba-tiba saja egois. Ia ingin bahagia sendiri.

Friday 17 February 2012

#18 Overworked Underpressured

Mencintai Angin
Harus Menjadi Siul

Mencintai Air
Harus Menjadi Ricik

Mencintai Gunung
Harus Menjadi Terjal

Mencintai Api
Harus Menjadi Jilat

Mencintai Cakrawala
Harus Menebas Jarak

Mencintaimu
Harus Menjadi aku


Sajak Kecil Tentang Cinta
~ Sapardi Djoko Damono

Monday 13 February 2012

#17 overworked underpressured

14 februari 2012


:: 2 a.m
the lonely in.
it takes me


:: 2 a.m
there, you will never even know how does it feel anymore.
you're all crowded.

Wednesday 8 February 2012

...

sebuah wawancara di pesisir kota:

Siapa nama anda?
~ angin

Apa kemampuan anda?
~ menerbangkan rindu, harapan, kecewa, amarah, benci, bahagia, dan jenis produk hati lainnya.
~ sayapun pandai menghibur, menenangkan perasaan manusia, dan menyejukkan jiwa.

baiklah. Anda diterima. Rahasiakan identitas anda kepada pihak lain.

...

sebuah wawancara di pesisir kota:

Siapa nama anda?
~ angin

Apa kemampuan anda?
~ menerbangkan rindu, harapan, kecewa, amarah, benci, bahagia, dan jenis produk hati lainnya.
~ sayapun pandai menghibur, menenangkan perasaan manusia, dan menyejukkan jiwa.

baiklah. Anda diterima. Rahasiakan identitas anda kepada pihak lain.

...

Malam ini, aku terbang ke amerika.
pemerintah amrik mengijinkan aku ikut di pesawat ulang aliknya.

jendral pertahanan luar angkas amrik,
"apa tujuan kamu?"

aku, dengan sepatu boot, kaos, dan celana skinny hitam menjawab,
"hanya ingin bercinta di luar angkasa" jawabku, sambil kutunjukkan piringan hitam wanita yg menyanyikan sebuah lagu gospel.

jendral itu mengantarku ke dalam pesawat.
sebelum lepas landas, ia berpesan,
"ingat pulang!"

tidak kusahuti. Aku tak yakin masih sanggup mengingat di luar angkasa.


#sekian

Tuesday 7 February 2012

Sesekali aku pengen kamu rasa yg aku rasa berbulan-
bulan

tak ada sebab aku marah.
kulotarkan kekata tak enak padamu.
kemudian aku minta maaf,

kau maafkan aku, seperti aku. "mungkin kamu lg nyimenk, makanya aku tak ambil pusing"

heh, serendah itukah aku?
semua kau pahami sbg dampak nyimenk?

~ ya, aku nyimenk malam itu. Nyimenk rindu kamu.

aku kira kamu rasa.

Sunday 5 February 2012

#15 Overworked Underpressured

U've rebuild that terrible hope, extremely...





Angin

#14 Overworked Underpressured

Aku kira, tiupan angin memelan awal tahun ini.
Aku masih padanya. Masih yang paling tulus.
Aku menerima alasannya menjauhi dari tanah kekuasaanku, dari rok selututku, dari malam-malamku. Aku berhasil membiasakan diri menerima angin buatan kipas angin.

Aku kira ia tidak ada lagi.
Ternyata, ia pamit sejenak untuk kembali dengan tiupan ringan namun konstan.
Angin yang perfeksionis, misterius, dan romantis.

Selamat datang kembali, jangan seka air mataku…


Kembalinya Angin

#13 Overworked Underpressured

8 januari 2012


Tapi sudahlah, tak lama lagi saya akan meninggalkanmu.
Menuju banyak tempat yang membutuhkan saya.
Seperti katamu, saya mesti bersenang-senang dengan kemampuan saya.
Iya, pasti. Saya akan selalu bersenang-senang.
Saya harap kau pun bisa bersenang-senang tanpa objek penipuan lagi.
Saya tak berbakat ditipu.
Saya berbakat menjauh dalam sakit.

Kau hilanglah, kekasih. Segera!
Kita tak pernah hidup.

Kita takkan pernah ada.

#12 Overworked Underpressured

23 Desember 2011

Saya tidak percaya kau tersedu di sudut ranjangmu,
Saya tidak percaya kau memikirkan kita,
merindukan kita,
mencintai saya.
Saya tidak percaya segala yang kau bilang tentang perasaanmu,


Saya percaya kita tidak pernah hidup.

#11 Overworked Underpressured


i choose this, Angin

Kalimati

: tatap-menatap

Kepadamu yang tak bisa kusentuh peluk

Aku tahu tak lagi bisa kubahasakan apapun kepada matamu. Bersekat-sekat masa dan sehimpun nafas yang bersandar di punggungmu, selayak lecutan setali pecut yang sacral lagi mematikan selusin harapan di dadaku

Kepadamu yang menghabiskan sekamus kosakata

Dua minggu tiga hari, punggung ringkih ini kubuat familiar dengan garuk demi garuk, yang tak sadar dihadiahi kukuku setiap malam. Sebab najis najis najislah aku mengenangmu. Namun jua tak lagi bosan kupelototi raut wajahmu, yang kucuri di sela-sela jejeran buku dan jendela digital. Dalam buku elektronik, kuletakkan di puncak kerajaan mudaku, tersembunyi dari lacakan detektif sekelas ibu anakmu dan konco-konco debutannya

Kepadamu yang menemaniku amati seruah kenangan dalam gelas

Sekata dua kata. Sesekat dua sekat. Tambahkan gula dari senyummu. Sesendok kenyataan legam. Aku hendak memeras segala kenang dalam kepalamu, oleh cenayang kuminta menghidupkan boneka jerami atau anyaman teman kita, harapan kuberi sebagai jiwa gratis. Tuk temaniku menari nocturnal ataukah sekedar mengintip di tepi layak saat aku mengetik detik-detik kita. bengal kau paksa berlalu

Kepadamu, seadam yang kubiarkan mencuri keygen kerangkeng

Diakah kau? Yang bangkitkan kembali roh ayahanda dalam jiwa, perjelas kutukan silsilah nenek moyang, bahwa segala penghianatan hidup terlahir dari ras kami. Percaya diri dan cinta sebagai alasan utama porak-porandakan kerajaan tetangga tersayang, tetangga terbaru. Merusak kebahagiaan satu kaum semacam candu labilitas.

Kepadamu, yang tenggelam dalam larutan lagu campur malam

Kemarin subuh, sepaket lagu lalu kuterima antaran wahana antar pulau. Purnama depan kuputar di tengah satu ruang nuansa putih, ada kaca setinggi punggungmu di dalam, kain gorden dua kali panjangmu tak pernah melambai oleh angin pilihan. Maukah kau berdansa denganku di antara mereka?

: benturlah asa

Teruntuk Angin

Aku rasa, melakukan apapun untukmu akan berakhir sia-sia

Tidak melakukan apapun, apa lagi

Maka kuputuskan untuk menunggu

Satu kesempatan saja,

Sebab aku yakin, kita pernah saling merasai
…love is poison that u drink without any permission…


~ Rez




#

Jawaban untuk setiap pertanyaan, “Siapakah Aku?” adalah “…Kau Menjelang Manusia


~ Rezky Saleh

#10 Overworked Undepressured

Beberapa bulan yang lalu,
Mei 2011 barangkali, aku tak pandai mengingat,
Seseorang kuatir akan kegersangan karyaku,

"Apakah tanganmu mengering?"
"Maksud kamu?"
"Tangan basah, tangan penulis,"

Harus aku akui, tanganku belakangan itu malas mengetik,
Perasaanku gersang,
Otakku membenci banyak ide,

"Apa kau butuh stimulan?"
"Iya,"
"Akan kuberikan,"

Ia sekejap berubah angin, meniup-niup sekujur tubuhku.

Kado yang Kubungkus Seumur Hidup

Aku hendak menghadiahkan buku kosong untuk matamu
Telah tersedia mata pena dan tinta di dalamnya

Tangan-tangan menggapai kehausan, meja-meja bergeser sendirinya

Dalam kedipanmu mereka siap menulis, menuliskan kata yang tak lagi mampu kuutarakan



Sudah kubilang matamu itu bagus,

Saat kau tertidur, kutadah ketenangan yang jatuh membanjiri tempat tidur

Marahmu mengeluarkan saga dari sana, kugunakan warnai baju putih yang senantiasa kupakai menemuimu



Matamu seperti tanganku, pandai menulis

Jangan kau tutupi dengan pura-pura berpaling dari mataku

Terimalah pemberianku,

tiap lembarannya kubuat dari kulit hatiku..

About Marriage

Her life runs unstopped. She is hunting for someone to home. One day, I saw her sitting under a big tree in front of quite lake. She shouted

“God, may I ask something? You said anything human asked will be real because you over all controls?”

She sat down. I wanted to give my handkerchief, but I realized she still owned her arms. I pissed off. My eyes wandered down her sight. I saw her wish floated on water’s surface

She said, “May I marry myself?”

#09 Overworked Underpressured

WE ARE INDEPENDENT,
WE WORK AS A OPTIMISTIC TEAM,
A TEAM OUTSIDE MAINSTREAM BRANCH,
A TEAM WITHOUT LEADER,
A SOLIDARITY MOVEMENT,

WE MAKE MORTAL CREATION, NOT A FORGETTABLE ONE!

#08 Overworked Underpressured



takes that burden to anywhere, but yeah there's always way to smile

#06 Overworked Underpressured



Menunggu.
Manusia ditakdirkan untuk lahir
Lalu mati,

Menunggu berada di antara kelahiran dan kematian.

Aku menunggu,
Untuk satu ketidakpastian,
atau dia harapan, barangkali...

Saturday 4 February 2012

#07 Overworked Underpressured



the real morning coffee

#05 Overworked Underpressured

Here we are....






Would you go there, this Thursday, dearest?

#04 Overworked Underpressured



For Angin

Playlist 'Random Mood'

Avril Lavigne ~ Smile
Lisa Bassenge ~ Perhaps (remake form Cake)
Lykke Li ~ LIttle Bit
Hindi Zahara ~ Stand Up
8 Ball ~ Pria Banding
Radiohead ~ Thingking About You
Keane ~ Everybody's Changing
Mr. Big ~ Wild World
Gugun Blues Shelter ~ Wishkey Woman
Landon Pigg ~ Fallin' in Love at a Coffee Shop

Bener-bener Random... kurang beberapa genre music malah
:D

#03 Overworked Underpressured

Hujan rintik di luar,
Hujan deras di atasku,



So.... if you really love me, say yes....
said Cake

Percakapan Tangga Tanggal

“kenapa kita nekat malam itu?”

“kamu yg nekat... pagi itu,”

“iya, pagi”

Lalu diam. Kita diam.
Berpura-pura menanti pemilik rumah.
Padahal kau dan aku hendak saling mengetahui banyak hal.
Rasanya, tidak satupun dari kenangan kita yang bisa aku lupakan.
Kita seperti sepasang kekasih yang saling malu-malu. Bercinta hanya dengan mata.
Kau menatapku cukup lama di balik pintu itu.. kita bertatapan.
Seperti adegan kecil dalam film.
Yang nantinya akan disambung adegan besar.

#02 Overworked Underpressured.

Timbul tenggelam wajahmu.
Ekspresi dan nada bicara yang berubah, tiba-tiba.
Apa yang mempergaruhimu?

~ bukan saya.

#01 Overworked Underpressured

Baru saja terjadi. Niat dan kebutuhan di-banned.
Saya mengirim pesan pendek, hendak pulang ke rumah. Kepala saya sakit, tiba-tiba. Kebanyakan orang di sini berpikiran saya mengada-ada.
Saya sudah di sini, untuk apa pulang jika tak terpaksa?

Lalu... tiba-tiba pintu terkunci dari luar. Entah siapa yang melakukannya.
Saya tak bisa ke mana-mana.

~ get cry inside, dear.

Friday 3 February 2012

Gadis Kecil yang Mengenakan Rok Selutut dan Setiup Angin Bangsat

Satu-satu. Satu per-satu awan comulonimbus ambil tempat di langit. Mereka bersatu, saling berpegangan tangan. Tak ada jarak barang satu senti di antara mereka. Awan-awan itu berbagi muatan. Setelah aba-aba dari awan paling hitam dan tebal, mereka serempak manjatuhkan muatan masing-masing. Jemuran Ibu Fatiyah basah di atas bumi. Gadis kecil yang mengenakan rok selutut itu lari masuk ke teras rumah, meninggalkan gambar dende’ bulang dari batu merah di atas jalanan aspal.

Ibu Fatiyah tergopoh-gopoh dari dalam rumah, merenggut puluhan jemuran dari tempatnya menggantung. Wina berdiri, kakinya bermain-main genangan air. Roknya diterbang-terbangkan angin kencang. Jarak Wina terpisah sepuluh meter dari ibunya. Wina berdiri di bawah atap teras yang menjorok keluar. Hujan mengenai tubuhnya dalam percikan-percikan kecil.

Seorang tetangga melakukan hal yang sama dengan Ibu Fati di halaman rumahnya sendiri. Ia memandang kesal pada Wina.

“Kau biarkan saja anak gadismu bermain seperti itu, padahal kau membutuhkan bantuan!” serunya pada Ibu Fati.
“Tidak apa-apa bu’. Saya senang lihat dia bermain angin,”
“Eeeh...dikasih tau. Kalau anakmu masuk angin bagaimana?”
“Sekali-kali angin penting bagi manusia, sakit karena angin juga penting, bu’!” Ibu Fati mengambil jemuran terakhir, selimut cokelat kesayangan Wina. Ia segera masuk rumah, meninggalkan tetangga yang geleng-geleng kepala.

“Selesai main angin, segera masuk ya!” seru Ibu Fati kepada Wina. Wina kecil berseru mengiyakan. “Maaa....anginnya hebat!”
Wajah ibu Fati nongol di jendela ruang tamu,
“Hebat bagaimana, win?”
“Tadi Wina dibuat kegelian!”

Sepasukan comulonimbus datang dari barat. Mereka datang karena mengikuti ajakan setiup angin.
“Aku memanggil kalian ke sini karena anak itu!” seru angin kepada pimpinan pasukan comulonimbus dari barat.
“Dia lucu, senyumnya manis,”
“Bukan parasnya, perhatikan gerak-geriknya. Aku telah bertiup dengan kecepatan terbaikku, tapi ia sama sekali tidak takut,”
“Seorang anak takkan pernah merasa takut jika bersama ibunya,”
“Ah, bantu aku membuatnya takut. Kau bisa membuat ibunya takut, lalu ibunya akan membawa anak kecil itu masuk kamar!”

Pasukan comulonimbus barat menyatu bersama comulonimbus lainnya. Langit semakin kelam. Angin bertiup semakin kencang mengombang-ambing pohon ketapang di halaman rumah ibu Fati. Sekali kilat menyambar di horizon barat. Wina bertepuk tangan. Ibu Fati segera merenggut Wina masuk kamar.

“Langit marah padamu, sayang!”
“Tidak ibu, mereka mau main-main sama Wina,”
“Jangan lagi bermain jika angin sudah sekencang itu, nak. Tidurlah, sudah pukul 2 siang,”
“Memangnya kenapa kalau angin kencang?”
“Ibu tidak tahu. Tuhan paling tahu,”

Seteguk kopi, Selusin Kenangan

Siang terik. Seputar tugu Adipura macet. Pete-pete yang Wina tumpangi berhenti. Sangat lama. Di bawah jembatan penyeberangan setengah jadi, depan Mtos, tepat berseberangan dengan spanduk promosi Ramayana, Wina turun. Matahari menyengat sampai hati. Taksi berhenti, Wina naik. Aku tak ingin mau marah-marah padaku. Wina tak ingin dia menunggu terlalu lama.
***

Laki-laki itu duduk di sudut kafe. Matanya sendu. Dua gelas kopi dan segelas juz hampir tandas berbaris di depannya. Lagu pop uring-uringan terdengar samar, bergantian dengan deru kendaraan, bunyi blender menghancurkan batu es, dan gosipan dua pelayan kafe. Wina menghampiri lelaki itu, dalam senyum pura-pura yang biasa. Si lelaki menatapnya,

Dari mana saja kau? Aku menunggumu sejak sejam tadi. Katanya sebentar saja. Kau tahu ada berapa bulan kita menantikan pertemuan ini dan kau kehilangan jiwamu sebagian. Kau yang meminta kita bertemu, kau yang membuatnya jadi membosankan sekarang!

“Duduklah,” kata Jaura lemah. “Tak perlu minta maaf,”

Wina menjaga jarak duduknya. Ia menggeser tubuh barang sejengkal. Bisik-bisik samar ia dengar dari dapur kafe. Kafe itu dibagi dua, bagian dalam ada empat meja privat yang membatasi ruang gerak pengunjung satu dan lainnya. Mirip-mirip booth dalam warnet. Bagian satu seperti ruang kafe kebanyakan, terbuka. Jaura dan Wina tak mungkin duduk di ruang pertama. Walau dibuat menguntungkan privatisasi pengunjungnya, para pelayan kafe di meja dapur dapat mengamati setiap pengunjungnya dengan saksama.

Meja tepat di samping Wina dan Jaura, duduk sepasang kekasih mahasiswa. Usia mereka palingan terpaut satu tahun. Mereka mesra dengan laptop masing-masing. Meja depan diisi tiga lelaki paruh baya, mendebati poin-poin kontrak di atas secarik kertas putih. Meja satunya kosong. Kosong sampai Wina dan Jaura meninggalkan kafe itu.

Tak banyak percakapan yang terjadi dalam setiap pertemuan Wina dan Jaura. Mereka senang diam-diaman. Sesekali Jaura mencubiti Wina. Wina kegelian sewajarnya. Ia menyembunyikan banyak ingin terhadap laki-laki itu.

Asap rokok memenuhi booth Wina dan Jaura. Dua batang rokok terakhir. Wina menahan-nahan cakapnya. Sebulan lebih tak bertemu, memberinya banyak waktu melewatkan malam-malam sendirian. Jaura tentu tak kenal rasa sepi lagi. Satu hal yang membuatnya iri pada laki-laki itu.

“Belakangan ini aku pusing, Qin. Pekerjaanku menumpuk. Ide-ideku kusut. Ada masukan darimu?” Jaura menggenggam tangan Wina. Erat. Tangan mereka saja yang berpelukan.

Wina menyukai jenis pelukan ini. Genggaman mererat. “Kakak terbiasa dengan keruwetan itu. Istirahat. Barangkali itu yang tak kakak ingat,” timpal Wina. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam. Tangan itu semakin hangat.

Tiga lelaki paruh baya di meja depan memerhatikan mereka. bapak kumis sesekali dipergok Wina sedang mengamati mereka berdua. Jaura melepas genggaman tangannya.

“Akupun merasakan itu. Kesehatanku lagi butuh perhatian,”

Jaura memeluk Wina. Dalam kepalanya.
Wina bersandar di bahu Jaura. Di mimpinya tadi malam.
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Arsip

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger