Sunday 27 March 2011

Bicara tentang hujan pertama kali setelah hanya pandai merasainya selama ini

*hujan
Dingin gigil dan sakit
Racikan sederhana dini hari

*hujan
Sepi peluk bayangan
Teman terbaik setiap tengah malam

*hujan
Cinta dini hari benci malam-malam

Teman bermain kala hati deras

Minta Tolong

Kematian
Adalah ketenangan riak-riak gumulan air yang terjebak di balik bebatuan sungai dikelillingi lumut

Kematian
Adalah calon suami dambaan sehabis tidur telanjang badan dibalut selimut sobek ujungnya ditemani ragam buku-buku setengah basah pun bolong-bolong

Kematian
Adalah bosanku bernafas sebab tiap hari kulakukan rakus dan sempoyongan di sela-sela gontai, tegukan kopi, isapan rokok, bedebam tawa dan itu-itu yang tak kunjung mampet

Kematian, kawan
Bisakah kau kenalkan aku dengannya secepat kilat?

Tuesday 8 March 2011

An Excuse to be Free

Apa yang salah pagi ini?

Langit cerah, kantong memang selalu bolong. Kuganti tali sepatu dari warna ungu menjadi kuning. Seperti kotoran manusia, atau tahi gigiku, analogi paling murah. Ya, itu saja. Sepeda motor kunyalakan. Hari ini playlist dimulai dari deret 53, One Republic. Bensin motor tinggal sedikit, nyaris kering. Harus bisa sampai di rumah Abii.

Di sana aku tidak banyak cakap. Memang tidak pernah ada percakapan panjang di sana. Abii memulai waktunya bersamaku dengan menjelaskan perihal ini-itu sepeda motor rongsok yang kukendarai sejak di MAN, bulan lalu, dia ganti plat. Pertanda kedua bahwa motor itu memang harus diganti. Atau peringatan bagiku agar bersiap-siap membawanya ke muara besi tua. Ayah bersikeras agar aku bertahan dengannya. Aku tidak bisa. Kutawarkan agar aku naik angkot ke kampus. Motor itu terlalu menyakitkan. Terlalu menyusahkan. Apa katanya, motor itu baik-baik saja. Katanya aku harus bersyukur masih bisa mengendarai sepeda motor. Artinya, semua kesakitan di punggung, rasa pegal di setiap persendian dan perjalanan-perjalanan kecil mendorongnya jika mogok juga harus kunikmati.

Lalu… semua memanas, nada bicara ayah meninggi. Lalu … aku kembali pada kehidupan di borong. Kembali lagi menatapnya yang sakit-sakitan.. katanya bawa ke bengkel kakak. Aku ingat setiap kali kubawa motor itu ke sana, hanya caci maki dan hinaan yang kudengar. Terhadapku. Terhadap motorku. Aku dipermainkan seolah tidak ada hati di dalam dadaku. Kusampaikan ini pada ayah, katanya kalau begitu biar dia saja yang bicara pada montir-montir itu. Dapat kuramalkan dengan jelas. Vego tidak akan pernah kembali sehat seperti dulu. Kecuali ayah mengganti beberapa onderdil orisinil yang mahal seharga membeli vego baru.

Ayah mengeluh. Katanya dia sudah susah dan sakit-sakitan. Aku? Lebih pusing darinya. Jelas. Tak terbantahkan. Kukatakan padanya, bagaimana aku bisa belajar dengan tenang jika keadaan sekacau ini? Kau katakan aku jangan bekerja tapi keadaan seperti ini. Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan? Sementara mama juga tidak bisa berbuat banyak. Sudah tiga minggu, kami makan dari uang hasil pinjaman para tetangga. Dan ayah selalu beranggapan mama berkecukupan.

Lalu…
Semakin gerah. Aku hendak membunuh. Rasanya sakit. Sangat sakit. Terpaksa air mata saja yang mengalir. Entah ada apa dengan ayah, emosinya seketika memuncak. Aku tidak mengintervensi, aku curhat. Ya… keluhan kehidupan, melapor padamu tentang apa yang terjadi belakangan ini padaku. Semoga kau bisa member sedikit solusi, paling tidak pengertian kecil untukku. Yang ada hanya amarah, kau orang tua. Aku anak. Aku tidak berhak tahu urusanmu. Aku harus patuh padamu. Meskipun itu akan membunuhku. Itu hukum uang kau tegaskan. Bahwa orang tua selalu benar. Anak selalu salah.

Lalu…
Aku memberimu solusi. Berikan aku modal, dan kau tidak usah lagi memusingkan pengeluaran untukku. Sebab aku tidak akan bisa bertahan dengan cara seperti ini. Katanya sudah tidak ada lagi. Semua uang itu berganti tanah beberapa waktu lalu. Tepat setelah kuutarakan niat yang sama. Sebuah ide kecil untuk membantumu memusingkan masalah keuangan. Uang. Semua hanya tentang uang, kita bersusah payah zaman ini, belum tentu zaman nanti tidak susah.

Ya… ayah… aku bisa melihatnya. Betapa tidak ikhlasnya dirimu setiap kali memberiku uang. Untuk sekarang ini aku bukan prioritasmu. Jelas. Sepertinya aku adalah anak yang tidak pernah diharapkan kelahirannya. Mungkin jika tanpa semua prestasi yang kugunakan untuk menjilatmu selama ini, aku tidak ada apa-apanya.
Lalu… istrimu datang menerupsi, membenarkan penyakitmu. Aku juga tidak menampiknya. Lalu, anakmu yang sudah kau usir berkali-kali itu datang, melawanku, hendak menjadi superhero. Ah, jalang. Wanita jalang. Untung tak kusentuh kau, kalau tidak kita bisa perang saudara. Masih untung kau kuhormati, meskipun kau tidak pernah berlaku sebagai kakak yang benar untukku. Sejak kecil kalian semua memang hanya tahu memanfaatkanku.

Fuck this family. Fuck destiny, I’ll write mine myself.

Tuhan, maafkan aku. Selalu ada alasan bagiku untuk tidak pernah menjadi perempuan sepenuhnya. Untuk menggelandang seperti ini.

Simulasi

Rasanya, darah sastra membludak bercampur bersama hemoglobin dan sel darah putih di urat-urat tubuhku. Aku berjalan lambat, disaksikan gedung-gedung tua yang sisi-sisinya dicat merah. Beberapa sisi ada yang dicat berkali-kali untuk menutupi mahakarya seniman kampus. Mereka menuliskan segala kata dan caci yang tidak sempat mereka sampaikan dengan bengis kepada yang terhormat bapak wakil dekan, bapak dekan, atau bapak rector. Aku berjalan pusing. Berharap dia masih di sana, tersenyum menantiku kembali. Seperti aku tersenyum menantinya datang setelah mencoba berbagai cara, membujuk, meminta tolong, atau berniat jalan kaki sejauh dua puluh kilometer hanya untuk memandang wajah kekelahanku sehabis mempelajari ilmu kemanusiaan dan sosialnya yang rancu.

Kuketuk pintu tiga kali, mengucapkan salam yang hanya ia simak. Tak pernah dibalas. Dia menyalakan laptop, aku membuka kaos kaki. Menggulung. Memasukkannya ke dalam kantong sisi tasku yang hampir kujadikan tempat sampah gantung. The pursuit of happiness. Will smith, actor Afrika-Amerika yang telah memenangkan banyak Oscar dan penghargaan acting sejenis mendapatkan kesempatan paling langka; menemani sore kami, di dalam ruang persegi panjang dihias gantungan celana, pakaian, dan kertas-kertas ukm menulis. Sepaket dengan wangi fragrance yang menyembur dari celana-celana basah dan handuk lembab di jendela. The pursuit of happiness because happiness comes after trying hard.

Kebahagiaan, satu-satunya hal yang paling ditunggu setiap manusia. Siapapun mereka. Terbentuk dari daging atau nanah. Dari air atau api. Semua mencari kebahagiaan, semua mengejar kebahagiaan. The pursuit of happiness. Film yang mengajarkan kita untuk berjuang, sebab di dalam keputusasaan sekalipun, selalu ada kekuatan. Tiga bulanku. Tiga bulannya. Tiga bulan lalu. Kami berdua berada dalam tonggak paling mengerikan sepanjang sejarah manusia tercacat, fase putus asa. Kami melihat ada sisi yang memancarkan sebercak cahaya, mendekatinya, meraihnya. Ternyata cahaya itu berasal dari lubang yang menghubungkan duniaku dan dunianya. Mata kami bertumbuk. Hati kami memeluk.

Will smith menahan tangis. Matanya memerah saga. Aku meneteskan cairan obat mata di matanya. Sebagai alibi, kami sungkan menangis karena cerita film yang menohok kehidupan nyata kami. Will smith berhasil memperoleh pekerjaan setelah menggelandang, ditinggal istri, dan terpaksa bersikap kasar terhadap putra satu-satunya. Layar laptop menghitam. Matahari di luar sana tidak lagi terlihat. Rumput sastra membasah. Koridor meramai. Kami mendiam. Tusukan-tusukan di ulu hati dan rasa perih yang membeliung di dalam lambung membekukan lidah. Kami kelaparan. Harta terakhir malam tadi kami habiskan membeli sebotol minuman berkarbonasi dan sebungkus kecil rokok mild. Benda-benda itu adalah pelucut kebahagiaan yang semakin membara di tengah lingkaran kecil kami, sahabat kami, dan kekasihnya. Sore ini kelaparan tak tanggung-tanggung menjajah. Sempat terlintas di kepala untuk mencari sisa-sisa makanan di tong sampah. Niat diurungkan, kucing-kucing liar kampus pasti sudah mendahului kami.

Kami masih terdiam. Ia bersandar di tembok, membelakangi taman sastra. Aku turut di sampingnya. Kami taruhan sejauh mana rasa perih ini bisa tertahankan. Aku kalah. Aku mau pulang. Di rumah tentu ada makanan.

“Aku masih bisa bertahan sampai besok,”

“Aku akan menemanimu bertahan,” timpalku. Dia merangsak turun, tertidur pistol dengan mata yang tertutup sangat rapat.

“Tidak, kau harus pulang. Tiga puluh menit lagi aku juga kembali ke Sudiang. Mungkin di sana ada makanan,”

Mungkin berarti “bisa iya, bisa tidak”. Akan senang atau sedih. Cara menghadapi suatu kemungkinan adalah bersiap-siap untuk bersorak atau mati terbunuh. Dia terdiam. Jemarinya perlahan menyelip di sela-sela jemariku. Obat tetes mata sudah kumasukkan ke dalam tas. Namun matanya berair tiba-tiba. Beginilah rasanya jika tidak bisa memberi orang terkasihmu kebahagiaan. Tidak bisa memberinya kebutuhan pokok. Yang bisa kau lakukan untuknya hanya menemaninya. Di sampingnya. Mendengar ceritanya. Apapun itu, yang tanpa mengeluarkan uang. Dia menangisiku. Menangisi cerita kami. Di sela-sela kelaparan, kesakitan biologis paling fatal.

“Maafkan aku, aku membuatmu kelaparan,” katanya. Kuusap air matanya. Ya… suatu hari nanti dia akan menjadi ayah yang rela mati demi keluarganya. Suatu hari nanti dia akan menjadi panutan. Dan menjadi tokoh utama di setiap cerita rekaan anak-anak kami, yang mereka ceritakan di sela-sela jam belajar. Cerita yang memberikan mereka kekuatan untuk tetap bertahan demi menyambut datangnya kebahagiaan.

Maka, berbahagialah di tengah keperihan ini. Kita sedang berlatih untuk menyambut jutaan hari-hari sulit di waktu yang menjelang. Waktu yang sudah dekat. Waktu yang pasti akan kita habiskan dengan menjelajah seluruh daratan dan perairan planet ini berbekal tas ransel dan kantong yang tipis. Ini simulasi, comrade. Bertahanlah !
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger