Aku menulis ini sembari bertanya, mungkinkah ini murni putusan Tuhan,
atau hanya harga yang harus kubayar untuk banyak pengandaian? Tapi
kemudian cahaya yang pagi ini membanjiri rumahku, yang melahap habis
semua gigil sebab sakit, ia berbaik hati menarik paksa pikiran yang
terlalu lama bermimpi. Bagaimana kita memulai dan menjalani ini, serupa
anak kecil di taman bermain yang dipaksa untuk mencoba segala permainan.
Rasa ingin tahumu terlalu besar, apakah kau sadar? Aku bahkan telah
menelanjangi hidup jauh sebelum kau memintaku menunggu, tepat di depan
dua mata yang selalu berhasil membuat aku memuja. Dan pupil matamu yang
membesar, terus saja membuatku ingin meludahimu dengan semua cerita. Kau
tahu betul cara membuatku rela melakukan persalinan kata, dan iya, aku
tak perlu mengedan hebat untuk tetap berbicara. Di depanmu, bercerita
adalah naluriku. Di depanku, pandangan adalah caramu.
Aku menulis ini sembari merangkai segala percakapan, merangkumnya
dalam silsilah. Tentang jarak yang tak juga masuk dalam lipatan, aku
selalu ingin marah. Kemudian waktu semakin lancang meninggalkan, hingga
dadaku serasa mau pecah. Aku seperti orang bodoh yang berdiri di depan
jarum jam, menghidupkan detik, pun mematikan harap. Setiap pertemuan
yang tak hanya sisakan sejarah, membuatku ingin menyerah. Rindu tak
pernah selesai, dan kita ada di pintu berai.
Aku menulis ini dalam ketegaran yang dibuat-buat. Sesuatu di
pikiranku selalu memaksaku menjadi kuat. Tapi di sini, pada sesuatu yang
bersarang jauh terlindung oleh rusukku, aku memberontak hebat.
Tulang-tulangku seakan rontok, meniadakan penopang hingga harus aku
tersungkur; di atas tanah yang seharusnya kau lewati nanti, di bawah
langit yang seharusnya teduhkan perhelatan hati.
Aku menulis ini dalam sakit, merunut banyak hal yang akan masuk
bagian kenangan; garis wajahmu, mata yang teduh… aku bahkan tak bisa
menolak untuk membayangkan bagaimana bibirmu bercerita tentang mimpi,
yang di dalamnya kau membawaku. Aku menghitung setiap jalan yang sempat
bertemu dengan kaki kita, dari utara ke selatan, hingga tempat-tempat
yang menjadi persinggahan. Aku memutar kembali rekaman ingatan tentang
empat kali subuh bersamamu. Aku mencoba mengingat film-film yang selalu
menjadi sebab kita berdebat, hingga bagaimana ia juga menjadi sebab
untuk sebuah dekap. Dan tentang segala hal kecil dalam kehidupanku
selama dua minggu yang berkali-kali, demi apapun, selalu ingin
kuabadikan; bagaimana kita mencuri genggaman di antara kendaraan, atau
tentang pertengkaran kecil di tempat parkir, atau tentang jari-jari
tangan kananku yang selalu sakit, atau ratusan lagu yang kemudian
terabaikan… dan tentang bagaimana kau menenangkan, bagaimana kau
bersabar, bagaimana kau mengalah, bagaimana kau berusaha menjadi pantas…
hingga bagaimana surat ini akan berakhir.
Aku menulis ini sekaligus bertanya; sesulit itukah mengamini inginku?
Kemudian otakku menjawab, mungkin kau yang tak pernah benar benar
menginginkanku.
Aku menulis ini, sayangnya, masih penuh cinta, untukmu. Denganmu, aku
berhasil menundukkan rindu, untuk beberapa periode yang tak terhitung.
Bersamamu, aku sukses membuat film paling rumit dalam hidupku sejauh
ini. Tak ada harapan lagi yang pantas kubicarakan. Kau sudah
(seharusnya) mengerti lewat percakapan-percakapan kita yang telah lalu.
Hanya saja, dari sekian harapan yang sempat kita tukar, aku menukar yang
ini dengan permohonan maaf… sebab (masih) menyayangimu.
“Berbahagialah, untuk (si)apapun di luar sana. Kita adalah dua orang
yang masih dengan sungguh meyakini rencana Tuhan yang paling sempurna,
dan tetaplah seperti itu hingga nanti kita bersua (lagi); entah untuk
berjabat tangan ringan sambil bertanya kabar, atau untuk bersalaman
dalam debar.”
(masih) dengan cinta,
@Amy_AWP
www.a-mystify.tumblr.com
0 komentar:
Post a Comment