Untuk hati yang di dalamnya pernah
tumbuh bunga: Aku.
Maaf, aku mencabut paksa bunga itu dari hatimu. Aku tidak
sanggup tumbuh di hatimu kini.
Untuk kamu yang setia menyiram
bunga itu dengan perhatian dan kasih sayang.
Maaf, aku tetap tak bisa tumbuh
dengan baik di hatimu. Malah bunga itu tumbuh liar di hatinya, yang lama telah
mengabaikan aku.
Untuk hati yang percaya bunga itu
akan mewarnai hidupmu dengan keindahan.
Maaf, aku hanya bisa memberi warna
kelam (kembali) pada harapanmu. aku memang bodoh.
Untuk hati yang mengharap madu
dari bunga itu.
Maaf, saya hanya bisa membuat getah yang terus membalut
tanahmu. Memberi duri pada kepercayaanmu.
Dan selamat datang pada neraka yang
telah kuciptakan di surgamu.
Untuk hati yang bernama kamu.
Aku
tak pantas untuk setiap air asin yang keluar dari lautan yang yang penuh cahaya
masa depan.
Aku, hanya bisa membalutnya dengan awan getir yang terus bergejolak,
membawa badai dahsyat untuk hidupmu yang telah damai, sesaat sebelum bunga itu
tumbuh.
Maaf, jika akhir ini, berakhir
dalam aksara yang tak ingin kamu baca. Saya hanya pecundang yang terus berlari
menuju masa lalu. Tanpa pernah menoleh kepadamu. Kepada harapan yang terus
terbuka unuk keterpurukanku. Semoga Neraka itu berakhir dan ada bunga baru yang
membuka pintu–pintu surga yang indah utukmu. Salam untuk jiwa yang pernah memelukku
erat. Semoga kelak kita dapat berbincang tanpa rasa yang dulu berbinar. Dan maaf,
tak pernah memanggilmu, sayang. Semoga dalam surat ini hubungan kita tidak
berakhir dalam permusuhan. Dan semoga
kita bisa jalan–jalan lagi. Bersama teman-teman yang selalu ribut itu.
Salam hangat rindu untukmu yang
tak pantas lagi kurasakan.
*dari Ahsin Arif
0 komentar:
Post a Comment