Kuawali
saja dengan kata Maaf,
Karena
surat ini kutujukan untukmu.
Dahulu
kau adalah sepengal cerita dalam sebuah buku yang selalu menarik untuk kubaca. Membaca
pikiranmu, membaca bahasa tubuhmu, membaca ucapanmu, membaca keinginanmu,
membaca kesehatanmu, membaca garis tanganmu, membaca arah sudut matamu, hingga
membaca ke mana langkah-langkah kaki kecil itu membawamu. Sungguh sangat
menyenangkan untuk memahami semua semiotika tentangmu kala itu, meski tanpa kuminta
kau selalu memberi penjelasan atas semua itu tanpa perlu aku baca
berulang-ulang kali. Tahukah, kini di antara sebuah pembatas buku itu, ada
sebuah catatan kaki di bawah garis panjang yang tercetak miring. Benar saja, penjelasan itu buatku ternyata.
Tapi
mengapa bisa terjadi?
Ada
beberapa halaman yang kulewatkan dan tak
sempat aku baca darimu.
Jujur
saja kau adalah sebuah buku yang bahasanya terlalu slengean menurutku, alur
ceritanya cukup lucu meski di beberapa bagian terasa sangat statis, kaku, garing
malah karena terdapat alur yang sudah
dapat kutebak sebelumnya. Sampulnya cukup sederhana, namun mampu menghasilkan ribuan penafsiran, banyak
ambigu di dalamnya hingga memainkan
dinamika yang sangat luar biasa dalam memandang beberapa framming yang
mengkonstruksi beberapa realitas yang harus hanyut ketika aku melakukan
penyederhanaan makna. Selain itu terdapat banyak emosi di dalamnya yang
memaksaku menjelajahi dataran emosiku sendiri setiap harinya, wajar saja karena
beberapa ceritamu yang sangat menyebalkan, dan sulit kupahami.
Semua
itu menjadi cerita yang selalu menggiring kita untuk saling merindu dahulu,
membaca sebuah buku secara bersama lalu mencatat bagian-bagian yang tak
terlupakan dalam pikiran kita masing-masing. Dahulu kita pecandu diskusi
tentang hari-hari yang telah kita lewati, sedih, senang, semua cerita itu kita baca
bersama hingga akhir.
Namun
kini hal itu berbeda, kini pun bacaan yang kita pilih sudah sangat-sangat
berbeda. Kini aku sadar, bukan hanya aku saja pembaca setiamu, ada orang lain
ternyata. Beda denganku yang hanya bisa
belajar memahami isimu saja hingga hari ini, ia justru telah menemukan makna
dari semua cerita-cerita indahmu yang lucu unik dan menyebalkan itu.
Saat
kau baca surat ini aku telah memutuskan untuk tidak lagi membaca buku kita lagi,
kini akan lebih baik jika kita memegang buku masing-masing, kau dan aku,
lupakan saja cerita buku kita yang pernah kita baca dan diskusikan bersama.
Oh
ia, mungkin kau bingung.
Resumenya aku bacakan saja,
"Kita
Putus.
Tak
perlu ada diskusi lagi".
-
Tamat -
*surat dari @udhi_gothic
1 komentar:
duh, yang ini sadis pisan-_-"
Post a Comment