Saturday, 2 February 2013

Saat Semua Tak Seharusnya



Hi…



Apa kabar kamu, gadis yang tak pernah ingin kuputuskan? Anakmu sudah dua, ya? Semoga ayahnya mencintai mereka seperti aku mencintaimu (sedari) dulu. Abaikan kata dalam kurung karena itu bukan hakku sekarang.
Tapi bukankah cinta seharusnya milik semua orang? Juga dia, lelaki terbelakang yang menyergapmu dari belakang. Semua gelap sejak itu. Kau dan aku tiga bulan dalam kegelapan yang menyinggahkanku pada pikiran-pikiran tergelapku. 

'Ia tak mencintaiku lagi.', 
'Ia sudah punya yang lain,', 
'Ia sudah tidak kuat lagi menjalani hubungan jarak jauh ini'.



Tiga tahun, Tin. Tiga tahun. Aku kuat hanya dengan dosis 30 menit yang diberikan Tuhan pada kita. Itu sudah lebih dari cukup untuk melegakan sejenak perasaan yang sudah lama tertahan. Apa kau masih ingat 30 menit di pintu kedatangan bandara saat itu? Haha, maaf rupaku jelek. Ospek baru selesai kala itu, kepalaku masih botak. Begitu juga Ardi. Dede sudah botak waktu SMA, andai saja kau sempat melihatnya, hihi.



Tiga tahun. Terlalu banyak cerita untuk satu kisah jarak jauh. Dari yang lucu, saat kakakku yang paling nakal disalahkan atas tagihan telepon yang membengkak. Yang menyenangkan dari kita, seperti bertukar kabar melalui surat dan kado, sampai yang sedih saat ibumu yang mengangkat teleponku.



Ya, tiga bulan sejak kau menghilang, seorang teman yang 'pintar' mengingatkanku sesuatu. 'Hubungi dia segera!' pesannya lewat channel private message mIRC. Jika kau tahu, security bank itu sempat mengira ada keluargaku yang meninggal, melihatku tak bergeming duduk dipinggir trotoar dengan telepon masih menempel di telinga dan pipi basah. Tidak, bajuku yang basah. Aku tertunduk dari kalimat pertama dilontarkan ibumu.



Aku mengerti sekarang kenapa kau menghilang. Yang aku tidak mengerti, kenapa terjadi padamu? Aku pernah mendengar berita buruk tentang dirimu, tapi aku yakin itu bukan kamu. Kujabarkan dari tiga lembar HVS suratmu dengan spasi satu. Aku sama gelapnya dengan dirimu saat itu. Jika kau tahu, ibuku setuju aku menjemputmu dan membawamu dari sana, menghilang dari hujatan tetangga yang selalu meminta gula di rumahmu tiap harinya.



Tapi kita terlalu realistis saat itu. Aku yakin kau tak ingin memberatkanku dengan beban baru, aku pun terlalu naif jika memaksamu ada di sini. Mungkin, orang di sini lebih kasar menghujatmu, seperti dua suku kata terakhir nama kota ini.



Kau tahu, pertemuan terakhir kita lebih singkat terasa dibanding 30 menit di bandara dulu. Setidaknya aku bisa melihat keluargamu utuh. Sudah lama aku tak bertemu ibumu, ia makin tua dalam keriput wajahnya. Juga pertama kali bertemu adikmu. Kudengar dulu ia hampir dinamai serupa namaku? Lalu yang pasti si jagoan, dan pastinya suamimu. Aku sudah yakin dari awal berjumpa dengannya, ia akan menjagamu sebaik mungkin. Walau tak sebaik aku menjaga smartphone peninggalanmu sekarang, karena keteledoranku sendiri menghilangkan punyaku. Tapi aku yakin, sebaik aku menjaga kenangan tentangmu.



Tapi inilah hidup. Kadang, ada yang seharusnya terjadi tapi tak akan terjadi.

Saat semua tak seharusnya, aku lebih memilih tak memutuskanmu.


from the deepest heart of @restuwashere
 

1 komentar:

Unknown

eh namaku ada donk... knp tak d tulis.. kita kan dapat coklat :)

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger