Monday 20 May 2013

PSIKOLOGI SOSIAL DALAM PENELITIAN KARYA SASTRA


Psikologi dan sastra erat kaitannya. Psikologi mempelajari gejala-gejala psikis hingga perilaku individu dalam masyarakat atau sebaliknya. Sementara sastra sebagai salah satu ilmu yang memiliki hubungan makro terluar, dapat dihibungkan dengan semua ilmu pengetahuan lainnya mewujudkan psikologi sebagai karakteristik tokoh-tokoh rekaan. Meskipun tokoh-tokoh tersebut fiktis, karya sastra disusun logis dan tidak semata imajinasi, sehingga mampu dijangkau disiplin-disiplin ilmu psikologi

Sigmun Freud merupakan tokoh psikologi pertama yang menghubungkan psikologi, seni, dan sastra.  Ia mempelajari riwayat dan cara hidup para seniman dan sastrawan besar dan berusaha mencari hubungan signifikan antara riwayat hiduo dan karya-karya mereka. Dari sini berkembanglah strukturalisme genetik yang melihat karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang penulisnya dan psikoanalisis yang dapat digunakan menganalisa karakter-karakter dalam sebuah karya sastra prosais.



Psikologi Personalitas

Psikologi personalitas menitikberatkan penelitian pada individu dan jati dirinya. Freud, Jung, dan Lacan  sebagai tokoh untuk psikoanalisa. Psikologi behaviorisme mengikuti paham B.F. Skinner dan John B. Watson. Dan psikologi humanistik bertolak pada teori-teori Abraham Maslow dan Carl Rogers.

Dalam meneliti karakterologi, psikoanalisa dipergunakan untuk orang-orang yang 'tidak normal', orang-orang yang memiliki penyakit atau kelainan mental. 

Psikologi behaviorisme menunjukkan bahwa manusia selamanya bergantung dan mengondisikan diri dengan lingkungan tempatnya hidup, seperti hewan yang berevolusi mengikuti kondisi tempatnya tinggal. 

Sedangkan psikologi humanistik diarahakan kepada 'orang-orang normal' dalam tatanan dan aturan yang ideal, tidak ada penyimpangan atau kelainan. Melainkan individu ini terus berusaha melakukan hal-hal demi mencapai hasil maksimal atau aktualisasi diri. 


tiga alasan utama posisi psikologi dalam sastra:

1. psikologi digunakan untuk meneliti dan memahami perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra. Langsung atau tidak, perilaku dan  motivasi para tokoh dalam karya sastra juga ada dalam kehidupan sehari-hari

2. untuk mengetahui perilaku dan motivasi pengarang menyusun karyanya.

3. untuk mengetahui reaksi psikologis masyarakat setelah membaca karya-karya sastra.

Sunday 19 May 2013

Dunia Ilusi Sempurna Bernama Kampus

Saat masih mahasiswa baru, saya telah mendengar banyak mahasiswa yang telat sarjana atas alasan-alasan yang saya ketahui sebatas cerita orang. kebanyakan bersifat prinsipil. Ada yang bilang, orang cepat sarjana berarti menyerap ilmu terburu-buru.

Sekarang yang malah melihat fenomena lain. Cepat atau lambat fenomena ini tampaknya patut disadari mahasiswa 'tua' sebab ini tergolong purba. saya melihat ada 'kekalahan' dalam diri mahasiswa-mahasiswa yang telat sarjana dan setiap hari bergerilya di kampus mengurusi mahasiswa junior dengan bebagai nasehat dan kuliah informal.

'mendapatkan pengakuan' adalah salah satu kebutuhan paling dasar setiap manusia. individu yang mendapatkan pengakuan di satu tempat oleh orang-orang yang tinggal di tempat itu cenderung bertahan lama di sana. para mahasiswa itu bertahan lama di kampus sebab mendapatkan pengakuan dari orang-orang di kampus. entah itu di unit kegiatannya ataupun dalam lingkup organisasi kampus. ada rasa 'tidak rela' meninggalkan tempat yang telah memberinya satu 'penghargaan' atas apa yang ia miliki.

menurut sebagian orang, kampus adalah tempat di mana kita dapat memperoleh segalanya. kampus bukan semata tempat belajar. di sana tumbuh dan berdiam berbagai aspek yang dibutuhkan manusia. ranah sosial, ranah belajar, ranah berbelanja, ranah memperoleh jaringan. mereka yang bertahan lama di kampus (padahal bisa saja meninggalkan kampus dengan kemampuan otaknya) tak ingin lepas dari semua kenikmatan ini. hedonisme.

tak ada mahasiswa yang bodoh. ini teori yang benar-benar terbukti. semua manusia yang berhasil mencapai jenjang pendidikan ini tidak bodoh. 'kebodohan' bukan alasan mereka bertahan di kampus. melainkan yang bersangkutan sebenarnya belum siap 'bertarung' di dunia luar kampus. kebanyakan orang menyebutnya dunia kerja.

ia yang bertahan di kampus cenderung 'takut' tidak mendapatkan pengakuan dan tempat 'berterima' seperti kampus. di kampus, banyak orang berpemikiran cerdas yang memiliki 'pengikut'. salah satu kebahagiaan manusia timbul dari 'rasa pengakuan' manusia lain terhadapnya. ini normal.

namun manusia sebenarnya adalah yang berani bertaruh di ruang yang lebih luas dengan beragam problema. orang-orang seperti ini yang akan bertahan hidup di mana saja. kampus adalah ilusi sempurna, membuai penghuninya dengan tawaran ada segalanya.

saya angkat tangan kepada mereka yang memiliki ranah pengakuan lain di luar kampus. mereka manusia-manusia pemberani dan realistis. ya, sebab tak selamanya kita akan hidup di kampus (kecuali kamu mau bekerja sebagai dosen). masa pendidikan sekarang paling lama sembilan tahun di kampus. sebagai manusia berakal, tentu kita memanfaatkan kampus sebagai tempat beroleh ilmu dan jaringan yang luas demi mengahadapi kehidupan sebenarnya di luar sana. 

siapa di antara kamu yang berani keluar dari zona nyamanmu?

Thursday 16 May 2013

Friends, I just Can't Handle You

Hilang masalah kehidupan pribadi dengan lawan jenis, masalah pertemanan melanda.
Entahlah apa yang mereka pikirkan akan saya. Saya sudah jauh-jauh hari menjelaskan alasan-alasan saya memilih cara hidup saya.

Apa yang kalian jalani dan pikirkan tak cocok diterapkan dalam kehidupan saya. Saya pikir kalian dapat mengerti saya. Mengapa saya ingin dimengerti oleh kalian? Ya, karena kalian teman saya. Saya tentu takkan ingin dimengerti oleh musuh saya.

Saya pikir kalian telah mengerti, tak tahunya masih sama dengan yang dulu. Bahwa apa yang saya lakukan dan semua pencapaian saya selama ini hanyalah kegagalan dan cara yang salah, menurut persepsi kalian. Saya menangkap cerminan sikap ini dari cara kalian memperlakukan saya dan bahwa kedekatan kita semakin hari semakin hilang. Bahwa ada kenyataan setiap kali saya memikirkan kalian, kalian sebenarnya tidak sedang memikirkan saya. Ini rasanya seperti cinta bertepuk sebelah tangan.

Saya tidur di lantai, kalian tidur di hotel
Saya makan dengan nasi + telur, kalian makan pizza
Saya mengenakan pakaian murahan, kalian mengenakan pakaian dari Mall
Saya menghabiskan uang secukupnya dalam sebulan, kalian menghabiskan yang lebih dari cukup
Saat saya tertawa, kalian biasa-biasa saja.
Saat saya patah hati, kalian tak ingin mendengarkan

Saya memilih hidup sederhana dengan semua pilihan paling mudah didapatkan. Saya tidak memiliki dan menyukai apa yang kalian punyai dan sukai. Kita terang berbeda.

Saya bosan dihakimi atas hal-hal yang menurut kalian tidak baik sementara saya memikirkannya itu baik dan semua sesunggungnya berjalan baik-baik saja. Kalian seperti hakim yang melebihi Tuhan. Bahkan Tuhan sendiri tidak menghakimi saya.

Saya mulai hari ini tidak lagi ingin memikirkan kalian, tidak ingin berharap apa-apa dari kalian. Saya tidak lagi ingin mempedulikan sesiapa yang tidak mempedulikan saya. Saya ingin mengurusi sesiapa yang menganggap bahwa 'life is better if it shared'.


Monday 13 May 2013

Semakin Dewasa, Semakin Sederhana

Belakangan, jiwa makin sensitif. Mungkin karena saya perempuan dan terlanjur sudah rasa yang jelek-jeleknya dari kehidupan ini. Rasanya hampir tak ada tempat yang menyediakan rasa tenang dan damai. di rumah, di jalanan, di kampus, bahkan di mesjid sudah ada pencuri. Kalau sudah begini, praktekkan kesabaran ada gunanya.

Iya, jadi ga ada gunanya kita bersikap. Ada saja lawannya. Saya merasa semua hal didunia hanya punya satu   makna: negatif. Bla...bla...bla... bahkan kekerasan jadi semacam candu. Kita semua membunuh saudara sendiri tanpa sadar.

Ketika kepentingan diri dibela, ada saja yang merasa disakiti. Ketika kepentingan orang lain dibela, kepentingan sendiri yang tak tepenuhi. oh, tidak. Tepatnya ini kebutuhan.

Kita bersuara karena kita tahu sesuatu. kita melawan karena kita merasa terjajah. Samsara.

Bersikap apatis bagi orang-orang yang paham itu haram.

Dan ya... sekarang saya jadi mencintai hal-hal sederhana karena semua sebab ini. Saya tak lagi suka berteman dengan emosi dan cara-cara kasar. Sebab sabar membawa rasa tenang di jiwa. Ketenangan takkan membawa luka buat orang lain.

Baiknya kamu begini juga. Supaya tentram. Baiknya semua manusia ditulari energi positif dan kesabaran agar damai. 

Tapi dunia kemudian menjadi kurang indah tanpa warna hitam. Keadilan tuhan, ketenangan dunia. Seimbang.


Sunday 12 May 2013

Empat Musim Sebab Akibat

film ke-14 Kim Ki Duk

Menyenangkan mempelajari film dari akar-akarnya. Sama halnya mempelajari matematika dari rumus paling dasar ke rumus turunan yang skala kerumitannya mencapai tingkat dewa. Belajar film dengan cara ini tak hanya ampuh untuk filmmaker, tapi juga sebagai jurus terbaik bagi penikmat dan kritikus film. Sahihlah kata peribahasa yang wara-wiri di dunia pembelajaran film, ‘tak afdhal dirimu di film tanpa memahami dan menonton serial Star Wars’. Untuk film yang akan saya ceritakan selanjutnya, peribahasa di atas juga tepat disandingkan dengannya. Spring, Summer, Fall, Winter,...and Spring produksi tahun 2003 arahan Kim Ki Duk, salah satu master perfilman asal negeri sejuta boyband, Korea.


Beberapa waktu sebelumnya, dari list Top 250 IMDb, saya melihat salah satu karya absurd Kim Ki Duk yang benar-benar menginfeksi otak saya sampai sekarang, 3-Iron (2004). Film berdurasi cukup panjang yang dibuat setahun setelah Spring, Summer, Fall, Winter....and Spring ini dikemas dengan dialog super minim. Kedua tokoh utamanya tak mengucapkan sepatah katapun, tak berdialag dalam keadaan apapun, kecuali pada scene pamungkasnya. Sang tokoh utama wanita hanya berkata ‘saranghae’. Kalimat indah ini seperti seketika menghangatkan jiwa, meluluhkan semua gelisah, dan membenarkan semua dugaan yang muncul di benak kita selama film berlangsung. Menakjubkan!


3-Iron
3-Iron hanyalah kisah cinta. Kalau kita menyaksikan dan merata-rata semua kisah percintaan di negeri ini, pasti ujung-ujungnya akan menemukan ending semacam milik ‘bawang merah, bawang putih’. Sementara Kim Ki Duk mempermainkan semua keyakinan dan pengetahuan kita selama ini. Dalam kisah 3-Iron, anda dibawa menjelajah dan menyambung-nyambung sendiri dua galaksi berbeda: khayalan dan kenyataan.


3-Iron tidak menggunakan teknis membahana. Kim Ki Duk benar-benar fokus pada konsep dan cara berceritanya yang berkarakter. Treatment yang sama digunakan Ki Duk dalam Spring, Summer, Fall, Winter.... and Spring. Gambar-gambar mengalir apa adanya, perpindahan bergerak natural dan para cast yang berakting nyaman. Seperti 3-Iron, Ki Duk juga menggunakan sound secukupnya, namun bukan berarti gambar-gambar sunyi itu menjadi sepi. Jutsru ‘kesunyian’ merupakan bagian sakral dari keseluruhan konsep film yang luar biasa ini.


Monday 6 May 2013

9 Summers 10 Autumns: Perjalanan Bermusim-musim Menuju Rumah




official poster '9 Summers 10 Autumns'
Saya pernah mendengar seseorang yang telah berada di puncak kesuksesan memutuskan turun gunung suksesnya. Kemudian ia mencari gunung lain yang lebih tinggi, mendakinya hingga ke puncak. Ia turun lagi demi gunung lain yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Hingga tak disadarinya, ia lupa rumah, lupa pulang ke asalnya.

Di lain kesempatan, saya menyaksikan perjalanan seseorang bermusim-musim, melewati 9 musim panas dan 10 musim gugur untuk kembali ke asalnya. Adalah Bayek (panggilan keluarga Iwan Setyawan) si orang sukses itu. Tak mudah menduduki kursi direktur di sebuah perusahaan besar yang bermarkas di jantung kota New York. Mendudukinya saja sulit, apalagi untuk meninggalkannya. Kesuksesan kebanyakan berhasil membuat sebagian orang lupa kulit. Tidak demikian dengan Bayek, di puncak karirnya itu, Bayek kecil memanggilnya pulang ke Indonesia.

Di New York, entah bagaimana Bayek kecil (Shafil Hamdi Nawara) berseragam putih-merah menemui Bayek dewasa (Ihsan Taroreh). Seolah ia datang mengingatkannya tentang sesuatu. Kemudian film bergulir ke masa kecil Bayek. Ketika ia menjadi satu-satunya anak lelaki yang dididik ayahnya (Alex Komang) menjadi kuat secara mental dan fisik agar mampu menjadi penopang keluarganya jika dewasa nanti. Sementara itu Bayek kecil adalah anak lanang (anak lelaki) yang lebih suka membantu ibunya (Dewi Irawan) di dapur. 

Bayek kecil dan ketiga saudara perempuannya (Agni Pratista, Dira Sugandi, dan Ida Ayu W.P) terbilang anak-anak cerdas yang memiliki prestasi tinggi di sekolahnya. Sayang, ayah tidak menganggap peringkat satu yang berhasil diraih Bayek adalah sesuatu yang membanggakan. Ayah lebih senang jika Bayek membantunya jadi kenek, ayah adalah seorang supir angkot di Batu, Malang.



Ayah dan kelima anaknya

Sikap konvensional ayah, kesabaran ibu, dan keberanian Bayek membawanya menjadi seorang sarjana IPB cum laude dan berhasil menjadi tulang punggung keluarganya di New York. Kisah hidup Iwan Setyawan yang diangkat dari novel autobiografi ini sejak awal diniatkan sutrdaranya, Ifa Isfansyah untuk tidak menjual air mata ‘ratapan kemiskinan’ sepanjang running time.

Iwan di New York

Iwan berhasil ‘mengalahkan’ ayahnya dengan mencapai pendidikan setinggi-tingginya demi terlepas dari kemiskinan. Ia percaya (pesan ini disampaikan secara eksplisit) bahwa ketakutan tertinggi seorang manusia adalah menjadi bodoh, bukan menjadi miskin. Ayah yang memiliki latar belakang sekolah rendah beranggapan bahwa pendidikan bukanlah segalanya. Lantas, ketika Ibu dan Ayah bertengkar perihal niat Bayek melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi, Bayek bertekad untuk melangkahi semua penghalang. Pada akhirnya hati ayah luluh. Ia menjual angkot, satu-satunya sumber penghidupan keluarganya demi biaya kuliah Bayek di IPB.

Jika sebelumnya kita pernah menyaksikan cerita senada, seperti ‘Laskar Pelangi’ (Riri Riza, 2008) yang berjuang demi pendidikan melawan seluk-beluk sistem pendidikan yang buruk, Bayek justru mendapatkan tantangan luar biasa dari ayahnya. Bayek melawan sistem pemikiran orang-orang terdahulu yang skeptis akan kekuatan pendidikan.


Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger