Friday 23 December 2011

Pan’s Labyrinth Bukan Film Fantasi

Sebuah film memiliki daya magis yang sangat memikat jika digarap sendiri oleh penulisnya. Cerita sebagai landasan utama, tolak ukur, jabang bayi sebuah film menjadi amat memikat dan memiliki roh ajaib. Roh-roh ini berhasil ditiupkan sutradara Inception dan menjadi film hidup yang sulit diejawantahkan keunikannya.

A fairy tale hanya dipercaya anak-anak. Di mana tokoh antagonis mati mengenaskan di akhir cerita. Si protagonis walaupun tersiksa di kehidupannya, bahkan mati tetaplah mendapatkan tempat yang terhormat, entah itu bagi orang-orang yang ia tinggalkan atau di sisi Tuhannya. Del Toro (director dan scriptwriter asal Meksiko) mencoba menggambarkan semangat yang dikandung dalam dongeng-dongeng masa kecil ternyata mampu mengubah dan berpengaruh besar terhadap Perang yang membabi buta dan penuh pembantaian.

Sepanjang karir saya sebagai penonton, baru Pan’s Labyrinth (2006) yang dengan santai menggabungkan dunia realitas yang dihadapi tentara dan kaum gerilyawan pasca Perang Sipil 1944 dan keajaiban sebuah dunia abadi dalam kehidupan seorang anak kecil. Dan briliant. Saya bisa melupakan dunia fantasi Ofelia, anak seorang janda penjahit pakaian Captain sebuah Post Military rezim Fasis baru di hutan Spanyol—ketika disuguhkan scenes perang dan kehidupan di balik dapur Post Military. Pun hal yang sama terjadi ketika Faun datang, seorang Dewa berbentuk Banteng, tubuh tampaknya adukan Batu dan Pohon, giginya mirip Orc di film kolosal The Lord of The Rings.

Hal menarik yang saya termukan di sini, opening film yang terlupakan seiring kita terbawa pada alur cerita, padahal itulah kunci cerita itu. Alur yang dibuat sedemikian rupa terasa alur maju, padahal flashback. Dan dongeng yang menjadi landasan cerita ini sesungguhnya tidak pernah ada.

Pan’s Labyrinth bercerita tentang Ofelia. Ibunya menikah dengan seorang Captain dan mengandung anaknya. Kapten tersebut ingin anaknya lahir di manapun dia bermarkas. Maka Ofelia dan Ibunya pindah ke post militer ayah tirinya. Ibu Ofelia memintanya menerima si kapten sebagai ayah, namun Ofelia tidak mau. Ia tetap memanggilnya Kapten. Usia kandungan ibu Ofelia sudah hampir sembilan bulan. Ofelia berteman dengan kepala pembantu di sana, Mercedes. Mercedes selama ini diam-diam membantu kakak dan ayahnya memimpin gerilyawan di dalam hutan. Pasukan ayah tiri Ofelia ditempatkan di sana untuk menangani para gerilyawan ini.

Di perjalanan menuju barak, Ofelia menemukan sebuah batu berbentuk menhir dengan pahatan kuno berbentuk wajah. Ofelia memasang kembali pahatan mata yang terlepas. Lalu muncul seekor belalang panjang. Efek belalang yang kurang sempurna memancing penonton untuk tidak percaya dengan penglihatan Ofelia. Del Toro memainkan teknik tersendiri di sini. Dengan efek yang kurang ‘greget’, penonton dibuat melupakan kejadian itu agar bisa terkejut ketika belalang itu menemui Ofelia di kamarnya, di barak tersebut.

Belalang tersebut adalah Fairy berkaki panjang yang menuntun Ofelia bertemu dengan Faun. Faun pun mengutusnya mengerjakan tiga tugas agar bisa kembali ke ayahnya. Kemunculan Faun yang tiba-tiba di kamar tidur Ofelia, adegan Ofelia mencari sebuah kunci, dan menemukan belati emas di sebuah ruang makan milik seorang monster tanpa mata wajah mengguncang akal kita, “Kok bisa ya... kok bisa ada yang beginian di tengan konflik perang?”

Ada film yang menggambarkan realitas, dan apapula yang memanipulasinya. Selama ini kita menonton film-film fantasi dengan cerita latar belakang tokoh utama atau setting kehidupan sehari-hari, seperti Alice in Wonderland dan Narnia. Jarang sekali kita menemukan film fantasi bersetting sebenar-benarnya perang, bukan perang dalam dunia fantasi.

Film ini bukan genre fantasi. Film ini berdiri sendiri sebagai kelas baru dalam film perang dan kolosal. Teknik bercerita mengalir sebab Del Toro menyisipkan dongeng yang dihapal mentah oleh Ofelia. Ofelia sebenarnya korban utama dari peperangan tersebut. Ayah dan Ibunya mati karena perang, adiknya yang lahir di medan perang pun terancam mati, dan Ofelia dengan semangat fantasi yang selalu ia yakini, ataukah otaknya menuliskan sendiri satu cara menyelamatkan diri, membantu para gerilyawan dan menghentikan perang di hutan itu. Sebagai anak kecil innocent, bagi tentara nazi Ofelia sama sekali tidak mengancam.

Ada keterikatan antara scene di dunia nyata dan scene di dunia fantasi yang dalam banyak film fiksi-fantasi seringkali diabaikan sesaat ketika tokoh utama berada dalam dunia imajinasinya. Opening dan ending film ini berfungsi baik. Jika kedua adegan itu disatukan, maka kehidupan imajinasi Ofelia dan Faun tidak ada. Roh tiupan Guillermo Del Toro dan rekonstruksi cerita yang berani dan licik membuat kita percaya bahwa Faun itu nyata.

Lantas bagaimana dengan sosok Faun dalam poster? Bahkan Ofelia sama sekali tidak ada? Faun adalah wujud fantasi Ofelia. Hampir semua anak korban perang di dunia memiliki cerita fantasi yang mereka ciptakan sendiri. Ada yang murni sebuah karangan, ada pula cerita yang mereka lanjutkan dari dongeng-dongeng yang sudah ada. Dongeng tersebut memberi mereka kekuatan untuk bertahan, bahkan melawan. Tak jarang pula, karakter rekaan tersebut berwatak mirip orang-orang yang paling mereka benci. Karakter Faun adalah rekaan Ofelia yang mengandung dua unsur: malaikat dan iblis. Faun diutus oleh kerajaan ayahnya untuk membantu Ofelia kembali ke kerajaan dan abadi. Namun ia memiliki cara devilish melaksanakannya. Itu digambarkan dalam scene pertemuan pertama Ofelia dan Faun. Pada ending, Faun terlihat dan kedengaran seperti ayah tirinya yang kejam dan tidak segan membunuh orang terdekatnya. Di ending tersebut, Ofelia dipaksa memilih, mengorbankan adik atau dirinya sendiri.

Ofelia mati di tangan ayah tirinya, untuk melindungi adiknya, melindungi garis keturunan ibunya. Dalam perang, ini seperti suicidal untuk keberlangsungan negara. Di saat yang bersamaan, kaum gerilywan dan Mercedes berhasil membumihanguskan post militer tersebut sebab Captain mengejar Ofelia yang membawa adiknya sampai ke dalam Labyrinth.

Benar, kan Pan’s Labyrinth bukan Fantasi?

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger