Dear you,
Saya
tidak pernah benar-benar tahu di mana saya harus memulai surat ini. Pertama, karena saya masih terluka. Kedua, karena saya mungkin
sudah benar-benar tidak tahu siapa kamu.
Tidak
banyak yang berubah setelah kepergiaanmu, masih ada aku dan kening ini
yang berharap akan bibirmu yang mendarat dan berbisik
"Selamat malam sayang,"
Sekarang aku diam, bibirku kelu, lidahku beku, aku membisu...
Apa yang harus kuucap? Sedang kau tak lagi di sini untuk mendengarku.
Jariku tak lagi bergerak hanya karna kamu tak lagi di sini untuk menggenggamnya.
Apa lagi yang harus kusambut selain pelukmu? Apa lagi yang harus kunanti selain hadirmu?
Kamu pergi tanpa alasan meninggalkan kenangan yang aku pun tak punya alasan untuk melupakannya.
Setiap hari kamu datang tapi tak juga menyapa hanya berputar-putar, tak juga menetap hanya melintas. Apa yang salah dari kita? Kita menjadi aku dan kamu, terpisah...
Tidakkah kamu mau untuk membagi alasannya? Aku bosan bertanya-tanya dan cemas dengan ketidakpastian. 150 hari kamu hadir memberiku banyak hal dan ketika kamu pergi kamu lupa untuk mengambil dan membawanya bersamamu. 150 hari yang indah dan kamu membiarkanku menikmatinya sendiri (sekarang). 150 hari yang ternyata palsu...
Mungkin
nanti, jika kita bertemu lagi, jangan palingkan wajahmu. Tatap aku, aku
akan siap meski di tatap matamu akan kudapati perempuan lain
Beri aku salam, meski di sela-sela jarimu kudapati dia.
Tapi
kumohon jangan sentuh hatiku lagi, di sana masih berdarah. Aku masih
berusaha mengobatinya. Jangan kau korek lagi, tolong....
0 komentar:
Post a Comment