Friday 23 December 2011

Sementara malam perlahan ditinggal gelap

Sementara malam perlahan ditinggal gelap

horizon menipis di pelupuk matamu

aku menjauh pelan-pelan macam revolusi hindari sekap

sementara awan tidak lagi kelabu

kau mengintip dalam celah kelambu

aku yang kandas memeluk guling bekas ibu

sendiri menyelami sisa air matanya, dan berujar

“ibu….kembalikan aku ke rahimmu”



http://www.claudiam.com/images/MotherAndSonAbstracted.jpg

Setelah Hari Itu

Para Pemeran:
Geng Barbiez:
1. Katy : cewek yang sangat ambisius. Otak Barbiez. Cewek provokatif dan paling bernafsu mencelakakan Yakuza.
2. Mindi : si lemot. Polos. Sekaligus cengeng.
3. Wanda : cewek stylish. Dandanannya cantik. Jago matematika.
4. Miyah : prinsip hidupnya, mengalir saja seperti air. Dia selalu mengiyakan rencana Katy tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan timbul.
5. Sisil : si penakut. Pematuh aturan sekolah. Tapi kadang kalau tidak tahan dengan perlakuan Yakuza, dia jadi pemberani.


Geng Yakuza
1. Evan : sama kayak Katy. Versi laki-laki Katy. Tidak pernah bisa menerima keberadaan Barbiez di kelasnya.
2. Parto : pelawak Yakuza. Baginya segala hal pantas ditertawai.
3. Panda : Yang paling besar dan paling bego. Kekuatan yang tidak sebanding dengan otaknya.
4. Nathan: playboy Yakuza. Anak tajir yang gemar mempermainkan perempuan. selalu mendukung ide-ide konyol Evan.
5. Rendy : Walau terlihat culun dengan kacamata tebalnya, sebenarnya dia anak Yakuza yang paling hebat. Dia pintar menyusun strategi dan menganalisa kasus.
Ibu Patricia : Wali kelas yang baik hati, cantik, modis, dan penyayang
Pak Nyoman : Penjaga sekolah yang sangat menyayangi murid-murid di sekolah itu.



Narator:
Di kelas XII IPS 1, ada dua geng kelas yang tidak pernah akur.Mereka sering berebut angkot, berebut meja kantin, sampai berebut peringkat tertinggi di kelas.Dalam beberapa hal, persaingan mereka terlihat sehat, namun tidak untuk banyak hal.Masing-masing geng ingin menjadi yang paling hebat di kelas.Namun keduanya sangat mencintai wali kelas mereka, Ibu Patricia.

Drama ini dibuka dengan bel yang berbunyi kencang.Di dalam kelas Yakuza sedang duduk di meja mereka, ada yang duduk di atas meja.Parto tertawa kencang-kencang.
Rendy : Than, jangan suka ikut ngetrek(balapan) lagi. Kalau kamu kecelakaan dan mati gimana?
Nathan : Kan bisa masuk rumah sakit. Ada uang kok. Gimana, Par?
Parto : Orang kaya kok… wakakkakakka… (Parto menatap perban luka di lengan Nathan) (Panda juga memerhatikannya)
Panda : Wah…. Itu luka ya
(parto membuka perban itu dan menempelnya di jidat Panda) mereka tertawa
Panda : Apa-apaan ini?
Parto : Jidatmu bocor. Hahahha
Barbiez masuk kelas.Mereka berlenggak-lenggok seperti model.Kelimanya menatap benci pada geng Yakuza.
Evan : Pstt… laskar lampir datang tuh!
Yang lain tertawa.

Katy : Apaan, sih norak banget.
Wanda : (kepada Yakuza) dasar celeng!
Evan menatap tajam kearah mereka.Mindi ketakutan.Katy balas menatap Evan dengan tatapan yang tidak kalah tajam.

Ibu Patricia muncul di pintu kelas sambil membawa gitar.Sisil menarik-narik lengan baju Katy.Kode.Evan cs menunjuki Katy seolah mengancam.Katy dan yang lainnya berbalik, memasang wajah tidak takut, lantas duduk di bangku masing-masing.
Ibu Patricia : Selamat pagi semua! Hari ini kita belajar musikalisasi puisi.

***
Ibu Patricia : Pada dasarnya melakukan seni musikalisasi puisi tidaklah sulit. Kalian hanya membutuhkan keberanian, selembar sajak, dan ini! (mengangkat gitarnya ke atas meja guru) (semua berseru senang, Barbiez saling berkomentar, Evan melempar kertas kea rah mereka. Kena kepala Miyah.Katy melempar balik.Terjadi perang kertas. Ibu patricia pusing melihat tingkah mereka. Ia segera membalikkan suasana dengan memetik gitar kencang-kencang. Semua tiba-tiba diam.

Ibu Patricia : Evan, Katy! Kalian berdua ke sini! (kasak-kusuk terdengar di belakang)
Katy : Jangan dihukum, dong bu…
Evan : Cewek-cewek centil itu yang duluan!
Ibu Patricia : Kalian naik, atau ibu keluar?
Keduanya pun terpaksa mengalah.Kedua geng saling menatap dendam. Evan dan Katy pun naik ke dapan kelas. Ibu Patricia memberi gitar pada Evan. Katy diberi selembar kertas.

Ibu Patricia : Katy membaca, Evan mengiringi.
Katy memperhatikan lembaran kertas itu cukup lama.Evan tersenyum mengejek.
Evan : Lama banget. Tidak tahu baca puisi ya?
Katy tersinggung mendengar ucapan Evan. Dia keluar kelas tanpa berkata apapun.Ibu Patricia juga tersinggung.Evan kembali ke bangkunya. Gitar ia letakkan di samping meja.

Ibu Patricia : Kelas kita selesai. Selamat pagi!
Ibu Patricia juga meninggalkan kelas.Barbiez panic.Mereka mencoba mengejar Ibu Patricia.Sementara Yakuza menertawai kejadian barusan.
Nathan : Kalo tidak bisa baca puisi, bilang dong!
Parto : ahahhahahha….
Rendy : Ibu Patricia tersinggung tuh. Semestinya kejadian barusan tidak terjadi.Kita sedang dalam kelas.
Panda : Jadi kita musti minta maaf sama Ibu Patricia? Gitu? Katy tuh yang harusnya minta maaf,
Wanda yang mendengar kalimat Panda jadi panas.
Wanda : Eh, mulut Evan tuh yang tidak ikut sekolah. Gara-gara dia Katy pergi.Di sebelah Wanda, Mindi menangis.Miyah menyusul Katy keluar kelas.
Sisil : Evan, kamu harus minta maaf sama Katy dan Ibu Patricia!
Evan : Anak raja mana kamu suruh saya minta maaf, heh?
Barbiez meninggalkan kelas.Yakuza tertawa.

***
Sementara itu, di taman sekolah. Katy menangis di tengah kerumunan teman-temannya.
Sisil :Udah, sayang… kita sudah kasih mereka pelajaran
Wanda memperbaiki rambut Katy yang berantakan.
Miyah : Balik ke kelas, yuk. Ibu Patricia juga udah pergi
Katy : Ibu Patricia pergi?
Wanda : Iya, dia tadi keluar. Tersinggung sama kita.
Katy : Waduh…. Kok bisa begitu sih. Masalahnya jadi tambah parah
Sisil : Kita masuk kelas dulu, pulang sekolah kita cari Ibu Patricia di ruang guru.

***
Barbiez membicarakan cara mereka minta maaf kepada Ibu Patricia di kantin sekolah. Di saat yang bersamaan, Yakuza melakukan hal yang sama di taman.
Evan : Aku tidak salah sama sekali. Untuk apa aku minta maaf?
Panda : Ibu Patricia tersinggung karena Katy nyelonong keluar kelas dan mengacaukan jam pelajaran.
Rendy : Tidak, bro. bukan begitu. Katy keluar kelas karena Evan menyinggung perasaannya.Secara tidak sadar, Evan juga menyinggung Ibu Patricia.Tidak sepantasnya Evan berkata kasar ketika Ibu Patricia mengajar.
Nathan : Hey, sudahlah. Kenapa kita memusingi Ibu Patricia. Kalau dia tidak mau menjadi wali kelas kita, masih banyak guru lain yang bisa. Mereka pun tidak akan menolak permintaan kepala sekolah. Mereka butuh gaji, men!
Rendy : Than, sekolah ini bukan punya bapakmu. Tidak ada wali kelas, berarti kita dikeluarkan dari sekolah.
Nathan : Kita cari sekolah lain. Gampang, kan. Betul, kan, To?
Parto : Keluargaku tidak punya uang untuk memindahkan aku ke sekolah baru.
Panda : Aku juga. Van, kamu minta maaf sama Ibu!
Evan : Kalian kedengaran seperti bencong! Semua ini salah geng sok cantik itu.Bukan kita.Kalau kita tidak sekelas dengan mereka, kita pasti tidak bertindak seperti ini.

Tiba-tiba, Barbiez menghampiri mereka.
Katy : Van, kamu harus minta maaf sama Ibu Patricia sebelum pulang sekolah hari ini!
Evan : Eh, apa-apaan ini? Yang salah itu kamu.Kamu tidak punya sopan santun.
Wanda : Enak aja. Kamu tuh yang rese.Tidak bisa membedakan tempat dan situasi. Kalau masih anak-anak, jangan masuk SMA!
Sisil ketakutan, bersembunyi di belakang Miyah.
Miyah : Bagaimanapun, Evan harus minta maaf. Kami tunggu hasilnya sampai jam pulang sekolah!
Panda : Lo semua, cewek-cewek centil memerintah kami? Enak saja. Kalian yang minta maaf sama Ibu Patricia!

Mereka tidak menemukan penyelesaian. Barbiez meninggalkan taman dengan perasaan yang sangat panas. Mereka bertemu pak Nyoman, bujang sekolah di dekat ruang guru.
Sisil : Pak, Ibu Patricia ada di dalam?
Pak Nyoman : Barusan dia pergi.
Wanda : bapak tau Ibu kemana?
Pak Nyoman : Mungkin dia pulang. Bapak lihat Ibu Patricia bawa tas,
Katy : Terima kasih, pak
Barbiez meninggalkan Pak Nyoman.Mereka kembali ke kelas.

***
Esok harinya.Bel masuk berdentang.Yakuza, seperti biasa sudah berada di dalam kelas.Mereka berkelakar tentang acara televisi semalam, seolah peristiwa kemarin tidak pernah terjadi. Sementara Barbiez berdiri di pintu kelas, was-was menunggu kedatangan Ibu Patricia.

Lima belas menit setelah bel didentangkan, Ibu Patricia belum juga muncul.Katy mengambil alih kelas.Di memukul papan tulis dengan penghapus, memancing perhatian seluruh kelas.
Katy : Teman-teman, tampaknya Ibu Patricia benar-benar marah pada kita. Kita harus menemui beliau dan meminta maaf.
Evan menyelutuk
Evan : Kau saja yang pergi. Kami menunggu di sini.(Yakuza lain berseru mengejek).
Miyah : Kayaknya kita semua tahu bahwa bukan Katy yang bersalah di sini. Tapi kamu. Kamu yang tidak tahu sopan santun!
Mindi : Miyah betul! Kamu bersalah.
Evan : Temanmu tuh yang bodoh.
Sisil : Berhenti! Kita semua tahu, sejak kelas satu tidak ada guru yang bersedia jadi wali kelas kita.Cuma Ibu Patricia yang bersedia.Setelah beliau mungkin tidak ada lagi. Enam bulan lagi kita Ujian Nasional, kita tidak mungkin lulus tanpa bantuan Ibu Patricia. Kelas kita ini dimusuhi banyak guru.
Nathan : Untuk lulus ujian nasional, yang kita butuhkan adalah kepintaran. Kita bisa ikut bimbingan khusus di luar sana. Sekolah ini Cuma salah satu dari alat kelulusan.

Miyah : Aku tidak menyangka ternyata kalian orang-orang yang tidak tahu terima kasih. Ibu Patricia telah membimbing kita selama dua tahun.Dia mau mengurusi kita sampai sekarang. Kalian pikir ada guru lain yang bersedia?
Rendy : Well. Ini sudah terlalu jauh. Kita coba minta maaf pada ibu Patricia jam istirahat nanti.
Sementara Parto tampak tidak mempedulikan apa yang terjadi. Dia sibuk sendiri dengan PSPnya.
Parto : Gol! Gol! Gol!
Panda : Celeng, diam kau!
Parto : Gol! Gol! Aku bantai Madrid, lima kosong!
Evan : To, serius kau atau kugampar?
Parto : Gol!
Evan memuncak.Rendy melerai.Parto tidak peduli, dia lanjut main game.
Nathan : Aku tidak akan minta maaf. Who’s with me?
Panda pindah duduk di sampingnya.
Evan : Aku tidak salah.
Rendy beranjak ke samping Katy.
Rendy : Aku dan Katy akan menemui Ibu Patricia.
Barbiez tepuk tangan.Mereka merasa menang, berhasil mengacaukan solidaritas Yakuza.
Panda : Kau pengkhianat, Ren!
Wanda : Dia mencoba bertindak benar dan pantas. Kau dan lainnya adalah cowok pengecut.
Miyah : Kami akan menemui Ibu Patricia. Kalian suka atau tidak.
Sisil : Iya.
Katy, Rendy, dan Barbiez meninggalkan kelas.
Parto : Gol!
Panda kesal, ia merebut PSP Parto.
Panda ; Celeng!

***
Barbiez dan Rendy menuju ruang guru.Mereka disapa pak Nyoman.
Pak Nyoman : Pada mau ke mana?
Katy : Kebetulan, nih pak. Ibu Patricia ada?
Pak Nyoman : Belum datang, neng. Kalian tunggu saja di sini.
Barbiez dan Rendy pun menunggu kedatangan Ibu Patricia.Tidak lama kemudian, Ibu Patricia muncul dengan wajah jengkel melihat mereka.Ibu Patricia nyelonong masuk ruang guru, seolah tidak melihat mereka.Katy menyusulnya.

***
Di dalam ruang guru.Katy mencoba bersikap wajar. Yang lain menyusul masuk. Di luar sana, Yakuza menguping.
Katy : Bu, aku minta maaf..
Ibu Patricia tidak peduli.Ia berpura-pura sibuk dengan barang-barangnya di atas meja.
Rendy : Tidak sepantasnya kami berbuat begitu di depan Ibu. Seharusnya kejadian kemarin tidak terjadi.
Ibu Patricia masih cuek.
Sisil : Kami akan memperbaikinya.
Ibu Patricia : (mengangkat alis) oh, ya. Dengan cara apa?
Barbiez dan Rendy kasak-kusuk. Mereka pun masih bingung hendak berbuat apa.
Rendy : Musikalisasi puisi!
Ibu Patricia memasang wajah kurang yakin pada mereka.
Katy : Hmm… hari senin minggu depan. Kami akan menampilkan musikalisasi puisi untuk Ibu. Di depan kelas.
Ibu Patricia menatap mereka satu-persatu.
Rendy : Kami bisa saling membantu.
Ibu Patricia : Oke. (lalu beranjak meninggalkan mereka)
Barbiez dan Rendy merasa lega.Mereka keluar ruang guru.Namun dicegat oleh Evan dan yang lainnya.
Evan kepada Katy : Karena itu ide kau, kau yang kerjakan sendiri. Kami tidak ikut!
Evan, Nathan, Panda, dan Parto beranjak.

**
Di taman sekolah, Barbiez dan Rendy belajar musikalisasi puisi. Katy dan lainnya memerhatikan lembara puisi Khairil Anwar: Kesepian. Sementara Rendy mencoba memetik gitar.Bunyinya fals.
Wanda : Bukan begitu caranya! (merebut gitar dari Rendy, lalu mencoba memetiknya. Dan salah juga!)
Sisil : Percuma. Tidak ada yang punya bakat music di kelas kita selain Evan.
Katy terdiam.
Miyah : Buat apa kita minta bantuan orang sok kayak dia.
Rendy : Masih tersisa lima hari untuk latihan.
Mindi : Kalian semua pada bahas apaan, sih? Bukannya kita mau rapat untuk musikalisasi puisi?

***
Pulang sekolah. Evan melintas di depan Katy.
Katy : Van!
Evan berhenti, balik ke arahnya dengan sinis.
Evan : Apa?
Katy : Mulai besok, setelah pulang sekolah, kita latihan musikalisasi puisi di kelas.
Evan : Sudah?
Evan berlalu.Meninggalkan Katy yang dongkol sendiri.
***
Keesokan paginya.Yakuza berkumpul di kelas, Evan belum datang.Rendy bergeser ke meja Barbiez setelah ditatap sinis oleh teman-temannya.Katy membagikan kertas bertuliskan puisi tugas mereka.
Katy : Siang nanti, masing-masing akan membacakannya. Yang paling bagus, nanti naik ke depan kelas.
Sisil : Yang main gitar siapa?
Katy : Kita kerjakan yang paling mudah duluan.
Evan masuk kelas.Dia menenteng sebuah gitar.Barbiez dan Rendy memperhatikan.Rendy menghampiri Evan.
Rendy : Wah…. Akhirnya kamu mengalah juga. Kita latihan sepulang sekolah!
Evan : Eh, gitar ini buat Yakuza. Bukan kelas ini. Dan kau, jangan lagi mengaku Yakuza!

***
Sepulang sekolah. Yakuza berkumpul di taman. Mereka menyanyikan lagu favorit.Parto menyanyi paling heboh.Barbiez melintas.Katy mencoba mengajak mereka sekali lagi.
Katy : Kita mau latihan, kalian ikut?
Yakuza tidak menghiraukan.Mereka terus bernyanyi.Mau tidak mau Barbiez dan Rendy pun pergi.

***
Dua hari menjelang kelas bahasa Indonesia.Barbiez dan Rendy berpapasan dengan Ibu Patricia di koridor sekolah. Mereka memberi salam.
Ibu Patricia : Jangan kecewakan saya lagi.
Ibu Patricia pun pergi.


***
Siangnya,
Barbiez dan Rendy latihan lagi di taman sekolah. Terpilih Katy sebagai pembaca puisi. Sekarang mereka bingung siapa yang akan memainkan alat music.
Wanda : Sisir dan roll rambut mana bisa bunyi
Miyah : Otak kananku tidak pernah berkerja dengan baik. Yang aku tahu hanya rumus matematika
Sisil : Aku… ehm… aku
Keempatnya menoleh ke Mindi.
Mindi : Guys, jangan liat ke aku. Aku nggak tahu apa-apa.
Rendy : Beberapa hari ini aku belajar metik. Bisalah dikit-dikit.Besok aku saja yang main.
Yang lain pun merasa lega.

***
Hari yang dinanti-nanti pun tiba.Bel berdentang.Barbiez deg-degan menanti kedatangan Ibu Patricia.Seperti biasa, Yakuza santai menghadapi hari ini.Parto sibuk dengan PSP-nya.Evan dan Nathan ngobrol soal pertandingan sepak bola tadi malam.Dan Panda mengurut-urut lengannya yang bertato.Lalu Ibu Patrcia muncul, seperti biasa dengan dandanan yang selalu cantik.Katy memeluk kertas puisinya.Rendy dan yang lainnya berusaha menenangkan diri.
Ibu Patricia : Selamat pagi
Semua : Pagi, bu!
Ibu Patricia : Saya tidak perlu lagi menjelaskan pelajaran ini. Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan.
Katy dan Rendy pun naik. Barbiez lain mengangkat kursi untuk mereka berdua. Ibu Patricia duduk di kursinya, memerhatikan sambil mengikir kukunya.
Rendy memetik gitarnya.Bunyinya jelek sekali.Katy gugup dibuatnya.
Rendy : Maaf, aku ulangi lagi
Jemari Rendy kembali menghasilkan bunyi gitar yang mengganggu telinga.
Ibu Patricia : Makanya… kalau tidak bisa jangan berbuat salah.
Katy : Kami coba lagi, bu..
Katy pun memberi isyarat agar Rendy mengikuti syair yang dibacanya.Ia mulai membaca. Lama-kelamaan terdengar suara gitar yang bagus.Harmonis dengan suara Katy. Ternyata yang main adalah Evan. Ia memerhatikan permainan Rendy yang jelek dan berinisiatif menggantikan Rendy diam-diam.
Rendy sudah berada di tengah-tengah Barbiez.Katy menjadi semakin gugup.Namun musikalisasi puisi itu berlangsung lancar dan baik.
Pembacaan itu selesai.Ibu Patricia bertepuk tangan. Katy dan Evan tersenyum satu sama lain.

***
Sepulang sekolah. Miyah, Wanda, Sisil, dan Mindi menunggu angkot di halte, mereka merayakan kesuksesan musikalisasi puisi mereka.
Wanda : Wah, tadi keren banget!
Mindi : TOP banget. Keren.
Miyah : Ibu Patricia pasti senang jadi wali kelas kita.
Sisil : Eh, angkotnya datang. Kat, kita duluan ya!
Katy : Iya. Hati-hati.
Mereka melambaikan tangan kea rah Katy.Katy pun menunggu angkot sendirian.Evan melintas.
Evan : Kok sendirian?
Katy (agak ragu menjawab): Tadi teman-teman ada kok
Evan : Pulang bareng?
Katy : hm… boleh
Evan menggandeng tangan Katy.

***
Perselisihan kedua geng ini belum berhenti, namun sejak saat itu mereka bisa terlihat solid dan bekerja sama dengan baik dalam hal tertentu, apalagi menyangkut kepentingan sekolah dan kelas mereka.
selesai

Pan’s Labyrinth Bukan Film Fantasi

Sebuah film memiliki daya magis yang sangat memikat jika digarap sendiri oleh penulisnya. Cerita sebagai landasan utama, tolak ukur, jabang bayi sebuah film menjadi amat memikat dan memiliki roh ajaib. Roh-roh ini berhasil ditiupkan sutradara Inception dan menjadi film hidup yang sulit diejawantahkan keunikannya.

A fairy tale hanya dipercaya anak-anak. Di mana tokoh antagonis mati mengenaskan di akhir cerita. Si protagonis walaupun tersiksa di kehidupannya, bahkan mati tetaplah mendapatkan tempat yang terhormat, entah itu bagi orang-orang yang ia tinggalkan atau di sisi Tuhannya. Del Toro (director dan scriptwriter asal Meksiko) mencoba menggambarkan semangat yang dikandung dalam dongeng-dongeng masa kecil ternyata mampu mengubah dan berpengaruh besar terhadap Perang yang membabi buta dan penuh pembantaian.

Sepanjang karir saya sebagai penonton, baru Pan’s Labyrinth (2006) yang dengan santai menggabungkan dunia realitas yang dihadapi tentara dan kaum gerilyawan pasca Perang Sipil 1944 dan keajaiban sebuah dunia abadi dalam kehidupan seorang anak kecil. Dan briliant. Saya bisa melupakan dunia fantasi Ofelia, anak seorang janda penjahit pakaian Captain sebuah Post Military rezim Fasis baru di hutan Spanyol—ketika disuguhkan scenes perang dan kehidupan di balik dapur Post Military. Pun hal yang sama terjadi ketika Faun datang, seorang Dewa berbentuk Banteng, tubuh tampaknya adukan Batu dan Pohon, giginya mirip Orc di film kolosal The Lord of The Rings.

Hal menarik yang saya termukan di sini, opening film yang terlupakan seiring kita terbawa pada alur cerita, padahal itulah kunci cerita itu. Alur yang dibuat sedemikian rupa terasa alur maju, padahal flashback. Dan dongeng yang menjadi landasan cerita ini sesungguhnya tidak pernah ada.

Pan’s Labyrinth bercerita tentang Ofelia. Ibunya menikah dengan seorang Captain dan mengandung anaknya. Kapten tersebut ingin anaknya lahir di manapun dia bermarkas. Maka Ofelia dan Ibunya pindah ke post militer ayah tirinya. Ibu Ofelia memintanya menerima si kapten sebagai ayah, namun Ofelia tidak mau. Ia tetap memanggilnya Kapten. Usia kandungan ibu Ofelia sudah hampir sembilan bulan. Ofelia berteman dengan kepala pembantu di sana, Mercedes. Mercedes selama ini diam-diam membantu kakak dan ayahnya memimpin gerilyawan di dalam hutan. Pasukan ayah tiri Ofelia ditempatkan di sana untuk menangani para gerilyawan ini.

Di perjalanan menuju barak, Ofelia menemukan sebuah batu berbentuk menhir dengan pahatan kuno berbentuk wajah. Ofelia memasang kembali pahatan mata yang terlepas. Lalu muncul seekor belalang panjang. Efek belalang yang kurang sempurna memancing penonton untuk tidak percaya dengan penglihatan Ofelia. Del Toro memainkan teknik tersendiri di sini. Dengan efek yang kurang ‘greget’, penonton dibuat melupakan kejadian itu agar bisa terkejut ketika belalang itu menemui Ofelia di kamarnya, di barak tersebut.

Belalang tersebut adalah Fairy berkaki panjang yang menuntun Ofelia bertemu dengan Faun. Faun pun mengutusnya mengerjakan tiga tugas agar bisa kembali ke ayahnya. Kemunculan Faun yang tiba-tiba di kamar tidur Ofelia, adegan Ofelia mencari sebuah kunci, dan menemukan belati emas di sebuah ruang makan milik seorang monster tanpa mata wajah mengguncang akal kita, “Kok bisa ya... kok bisa ada yang beginian di tengan konflik perang?”

Ada film yang menggambarkan realitas, dan apapula yang memanipulasinya. Selama ini kita menonton film-film fantasi dengan cerita latar belakang tokoh utama atau setting kehidupan sehari-hari, seperti Alice in Wonderland dan Narnia. Jarang sekali kita menemukan film fantasi bersetting sebenar-benarnya perang, bukan perang dalam dunia fantasi.

Film ini bukan genre fantasi. Film ini berdiri sendiri sebagai kelas baru dalam film perang dan kolosal. Teknik bercerita mengalir sebab Del Toro menyisipkan dongeng yang dihapal mentah oleh Ofelia. Ofelia sebenarnya korban utama dari peperangan tersebut. Ayah dan Ibunya mati karena perang, adiknya yang lahir di medan perang pun terancam mati, dan Ofelia dengan semangat fantasi yang selalu ia yakini, ataukah otaknya menuliskan sendiri satu cara menyelamatkan diri, membantu para gerilyawan dan menghentikan perang di hutan itu. Sebagai anak kecil innocent, bagi tentara nazi Ofelia sama sekali tidak mengancam.

Ada keterikatan antara scene di dunia nyata dan scene di dunia fantasi yang dalam banyak film fiksi-fantasi seringkali diabaikan sesaat ketika tokoh utama berada dalam dunia imajinasinya. Opening dan ending film ini berfungsi baik. Jika kedua adegan itu disatukan, maka kehidupan imajinasi Ofelia dan Faun tidak ada. Roh tiupan Guillermo Del Toro dan rekonstruksi cerita yang berani dan licik membuat kita percaya bahwa Faun itu nyata.

Lantas bagaimana dengan sosok Faun dalam poster? Bahkan Ofelia sama sekali tidak ada? Faun adalah wujud fantasi Ofelia. Hampir semua anak korban perang di dunia memiliki cerita fantasi yang mereka ciptakan sendiri. Ada yang murni sebuah karangan, ada pula cerita yang mereka lanjutkan dari dongeng-dongeng yang sudah ada. Dongeng tersebut memberi mereka kekuatan untuk bertahan, bahkan melawan. Tak jarang pula, karakter rekaan tersebut berwatak mirip orang-orang yang paling mereka benci. Karakter Faun adalah rekaan Ofelia yang mengandung dua unsur: malaikat dan iblis. Faun diutus oleh kerajaan ayahnya untuk membantu Ofelia kembali ke kerajaan dan abadi. Namun ia memiliki cara devilish melaksanakannya. Itu digambarkan dalam scene pertemuan pertama Ofelia dan Faun. Pada ending, Faun terlihat dan kedengaran seperti ayah tirinya yang kejam dan tidak segan membunuh orang terdekatnya. Di ending tersebut, Ofelia dipaksa memilih, mengorbankan adik atau dirinya sendiri.

Ofelia mati di tangan ayah tirinya, untuk melindungi adiknya, melindungi garis keturunan ibunya. Dalam perang, ini seperti suicidal untuk keberlangsungan negara. Di saat yang bersamaan, kaum gerilywan dan Mercedes berhasil membumihanguskan post militer tersebut sebab Captain mengejar Ofelia yang membawa adiknya sampai ke dalam Labyrinth.

Benar, kan Pan’s Labyrinth bukan Fantasi?

Thursday 17 November 2011

Baca Artikel Ini Sebelum Berhubungan dengan Online Shop

Sudah jadi hak penjelajah dunia maya untuk bebas mengintip halaman page orang. Link yang dibagi bebas dan dapat dibuka kapan saja dengan tujuan sharing informasi atau sekadar hiburan. Saya juga salah satu penjelajah dunia maya yang gemar intip-kerasan-lempar ke dunia nyata.

Waktu itu laptop saya, maklumlah benda ini sangat berguna untuk pekerjaan saya, selain mendukung hobi main game saya yang tidak bisa dihentikan bahkan oleh satpol PP, laptop saya rusak. Kali ini beneran rusak. Tidak bisa diapa-apain lagi selain jadi alas panci panas. Kejadian ini berdampak fatal dalam keseharian saya.


Bermodalkan jaringan wifi gratis, saya cari online shop yang menjual laptop murah meriah(baca: black market). Waktu itu saya dapat satu di wall Facebook teman saya. Online shop itu, kita sebut DRE menautkan teman saya di beberapa foto produknya. Ada tiga foto. Saya pun tertarik. Page facebook DRE saya pelajari lebih lanjut. Deskripsi perusahaannya menarik, detil, dicantumkan contact person dan alamat lengkap perusahaan. DRE juga memaparkan spesifikasi gadgetnya dengan baik. Saya tertarik dengan Nokia Booklet 3G, notebook keluaran pertama Nokia yang batrenya tahan 12 jam non-stop. Sangat cocok dengan profesi saya.

Saya pun mengirim pesan pendek kepada admin DRE. Besoknya ada seorang perempuan yang menelpon saya. Dia menjelaskan tiga tawaran transaksi: bayar DP-terima barang-kirim sisa, cash di depan sebelum barang dikirim, dan kredit dengan DP Rp 500.000. Honor saya masuknya bulan depan, uang di rekening hanya cukup bayar DP. Jadi saya pilih opsi ketiga. Tapi saya belum memastikan akan membeli barang laptop tersebut hari itu. Saya minta dikasih waktu untuk berpikir, namun sebenarnya untuk menyelediki lebih lanjut keberadaan perusahaan itu. Selama tiga hari.

Di Google, hanya muncul page Facebook-nya. Otomatis saya hanya bisa menyelidiki itu. Sayapun memeriksa postingan lama (tidak sempat saya periksa sebelumnya), komentar yang ditulis di page orang lain semuanya, “…maaf kami hanya sekedar mengiklankan…bla…bla…bla…” DRE punya 600 lebih teman Facebook. Salah satunya teman saya, tempat saya mengenal DRE pertama kali. Teman saya bilang, “DRE sering taut fotonya di page saya. Saya tidak pernah gubris,”

“Coba periksa komentar client-nya, di situ bisa kita lihat akunnya palsu atau bukan,”

Saya memeriksa page DRE sekali lagi. Belum pernah ada yang berhasil melakukan transaksi dengan DRE. Komentarnya hanya menanyakan ketersediaan stok dan bisa dihitung jari. Sampai di sini saya menyimpulkan bahwa DRE adalah online shop baru yang masih promosi.

Di hari ketiga, DRE menghubungi saya, menanyakan keputusan saya. Saya pun meminta nomor rekening. DRE meminta saya transfer DP segera setelah menerima nomor rekening. Online shop ini semakin meragukan. Apalagi belakangan ini saya sering mendengar teman yang bermasalah dengan online shop. Biasanya barang itu tidak orisinal atau tidak sampai ke tangan pembeli.

Saya pun mengajukan syarat kepada DRE,

“Bisa minta tolong fotokan saya produknya? Fotonya sebisa mungkin dengan pegawai DRE atau di lokasi DRE. Bisa juga dengan fotokopi resi transaksi sebelumnya atau berkas tertentu yang menandakan keberadaan DRE. Saya tidak mau membeli kucing dalam karung,”

Sebenarnya yang saya butuhkan adalah mengetahui dengan siapa saya bertransaksi. Mengetahui satu sosok wajah sudah bisa meyakinkan saya. Pesan pendek saya dibalas cukup lama. DRE meminta saya memeriksa akun Facebook. Ternyata yang ditautkan hanya foto Nokia Booklet 3G versi google. Saya mengirim ulang pesan saya. Dengan bahasa yang lebih jelas.

Sejam kemudian, DRE menghubungi saya. DRE marah dan menggugat saya tidak berminat dan hendak menipu, Emosi saya sempat keluar, tapi saya press dengan menjelaskan ulang prosedur transaksi saya. Saya menekankan hanya membutuhkan bukti foto. DRE bersikeras menyatakan bahwa saya harus menghargai privasi perusahaan dengan menutup identitas mereka, saya sedikit paham dengan black market di bagian ini. Lalu saya meminta foto tersebut dikirim via message Facebook saja. DRE masih tidak bisa memenuhinya. Dan lanjut nyerocos tidak jelas. Lalu mematikan telepon tiba-tiba.
Saya mengirim ulang pesan pendek saya. Bahwa saya butuh diyakinkan dengan bukti dan fakta. Seperti yang kita ketahui, online shop asli memasang gambar produk yang mereka capture sendiri, ada pula yang menyertakan foto resi pengiriman. DRE menjanjikan akan mengirim nomor resi agar saya bisa melacak keberadaan gadget saya. Tapi saya rasa itu tidak cukup.

DRE menelpon lagi. Ya, proses tawar-menawar ini alot dan menyebalkan. DRE kembali nyerocos, saya tetap meladeni dengan kepala dingin dan menawarkan akan mengirim data saya via sms lengkap dengan nomor KTP. Setelah itu DRE mengirim foto yang saya minta. Baru saya transfer DP. Namun reaksi DRE bikin saya naik pitam. DRE mendesak saya segera mentransfer DP sesaat setelah mengirim data. Saya mendengar ada suara penipuan di sini. Sekali lagi saya menyatakan tawaran saya dengan kepala dingin. Lantas menutup telepon.

DRE kembali menelpon, dan bilang
“Mbak orang kurang mampu ya? Kalau miskin jangan mimpi punya gadget bagus. Bla…bla,” saya pun naik pitam, saya jawab
“Anda bisa datang ke mari dan memeriksa keadaan ekonomi keluarga saya. Saya hanya mencoba membeli barang dengan penghasilan sendiri!”

Telepon saya matikan. Dan mengirim pesan semua data pribadi baik di dunia maya maupun di dunia nyata kepada DRE. Sampai detik ini DRE tidak lagi menghubungi saya.
Online shop memang menawarkan barang-barang yang terjangkau dan tidak pasaran. Misalnya pakaian dan pernak-pernik wanita. Tawaran harga murah dan cara berbelanja yang hemat waktu (kita tidak perlu ke toko) memberi keuntungan tersendiri untuk calon pembeli. Akan tetapi, sebagai konsumen tentu kita perlu hati-hati. Periksalah dengan baik data online shop yang anda minati, pastikan sebelumnya ada beberapa orang yang telah bertransaksi dengan online shop tersebut, kalau perlu periksa datanya lewat agen pemerintah.

Wednesday 16 November 2011

Ibuaku


aku dan ibu menatap satu cermin yang sama. dengan mata ia menggambar seraut wajah

aku menggambar seraut wajah dgn beberapa bulu dari selangkangan. ibu tidak melarangku. katanya aku seniman.

ibu mengenali sosok yg aku lukis. “di mana ketemu dia, bu?”, “beberapa menit lalu, dia menanyakan kabarmu,”

aku menambah detail lukisanku. ibu membantu. dia menambahkan kuas lukisku. dia bahagia melihatku

kuas lukisku bertambah. anehnya, ibu tidak kesakitan. aku pinta ia berhenti membuat kuas. dia bilang, “..aku senang kau pandai mencintai,”

“ibu jg pandai mencintai, syangnya dia bukan ayah,” kuasku bertambah. “ayahmu lebih pandai mencintai orang lain,”

“apa aku mengenalnya?” tanyaku. “tidak, tp kau bersekolah karna dia,” aku terhenyak. rasanya dia mirip sosok gambaranku

memang mereka mirip. kedua laki-laki itu berwujud angin, kata ibu

suatu sore, mereka pernah berhenbus sama arah. ibu melihat keduanya bercanda. usia mereka tdk terpaut jauh

ibu bertanya alasan aku mencintai angin. lukisanku semakin detail. “..aku mencintainya, karena dia angin yg mudah kulukis,”

”„nak, kita berdua pecinta angin,” sebab kita tdk mungkin mencintai api yg panas, air yg pasrah, tanah yg hitam, dan logam yg keras

”..tapi angin pengembara, dia tak pernah betah lama-lama di sekujur tubuh kita… aku senang angin yg merambat spt akar”

angin punya kelebihan, nak. bisa mencadai tubuh kita kapan saja. mengejutkan kita. begitu pula rasa pelukannya

“…kita tak bisa balas memeluknya, aku tidak suka itu, bu.. ” ibuku tertawa, lalu menyalakan kipas angin

“…angin ada di mana saja, di luar angkasa pun kita bisa bercinta dengan angin,” ibu menyibak roknya, merasakan angin dari kipas

“….bu, apa kau akan terus mencintai angin?” lirihku. ibu menarikku ke depan kipas angin. “selama angin berhembus, nak”..

kurasa angin gencar menjamah tubuhku. lukisan di cermin tersenyum sendiri. “bu….ajari aku terus mencintai angin,”

ibu dan aku, pecinta angin. sbb air itu pasrah, tanah itu hitam, logam itu keras, dan api selalu panas. cinta adl menyejukkan

Monday 7 November 2011

Hujan Pukul Dua

.
tadi aku melukis matamu di cermin kamar
aku pasti cantik di depannya

..
sepiring nasi sayur ikan
dan segelas air putih yang dirimu

...
hujan pula ternyata kamu
singgah sebentar sekali

....
hujan memelan, setapak mengering
sesuatu yang luka membanjir

.....
teringat satu malam kau mencari
masih di pintu, kau tanyai kabar hati yang hujan

......
kau angin, aku hujan
berlomba telanjang di pukul dua

.......
hujan pukul dua
tak ada lagi, sua

Ibu dan Tuhan


1
Ibu, doamu menempeli gendang telinga tuhan
Katakan padanya, aku mencintainya

2
Ibu, setiap malam kau tidur di bawah dongeng tuhan
Mungkin bukanlah dosa jika ia kau minta jadi tokoh utama

3
Tuhan, ibuku dekat di ketiakmu
Timang ia bersama-samaku

4
Tuhan, ibu akan memukulku karena cintaku
Apa kau akan menghukum ibu yang melahirkanku?

Sunday 6 November 2011

Oksigen

*
Jikalau kau udara, aku ingin bertapa untuk jadi oksigen
Berada di antara kamu, dia antara pelukanmu

**
Kau angin yang berhembus di seputaran gariswaktu
Aku oksigen senantiasa turut serta, dalam pelan dan dahsyat hembusanmu

***
Kau angin pemilik kata terikat,
Aku oksigen mengikuti tanpa ikatan

****
Seumpama dia penghirup tunggalmu,
Aku pun akan turut menghidupkannya dalam tiap hembusan

*****
Udara menemukan kebahagiaan bercanda di balik roknya
Aku ikut, aku ikut, serta menumbuhkannya, menelanjanginya

******
Jikalau kau udara, aku oksigen
Walapun air terlebih dahulu engkau cinta

Saturday 29 October 2011

Tarian Buku


foto: Dancing Girl Cipher by Anna Van Skike
Bertapa di sela rak buku
“ajarkan aku membenci cinta yang selalu menggembirakan. Kali ini datang tak tepat waktu pun minta menetap sesaat di lubuk”

Aku bangkit, menari-nari di antara rak buku
Senyum-senyum sayat-sayat
Karatan batas buku sekarang rentan
Atas gugur di permukaan kayu yang kuatir melebur dalam api
Seringai tertahan di tenggorokan
Mau tak mau menelan ludah sendiri yang pahit yang asin yang manis dalam kenangan itu

Meja bergeser kau berpelesir
Dalam sorot mataku diam-diam ikuti ritme tarian ragu-ragu
Bila ingin berdansa buang malumu
Gerakan ini akan sempurna jika kau sentuh getirku sedikit saja
Bilapun enggan memang ada, setidaknya jangan gelisah kuhampiri

Bertapa di sela rak buku
Aku menari sendiri dalam kepala dirimu takkan tahu
Sebab kau sebenarnya tidak ingin berkunjung ke sini subuh-subuh

Thursday 27 October 2011

Chimerazo

this is the view of Castle Chimera
I call it 'Chimerazo'

The Art of Flame

an art of flame comes from the cold of humans

Ending Riotz


Ending is a beginning, a wise said
A birth is ending of mother's struggling
A death is ending of chaotic adventure in reality
A success is ending of thousands error

and the riot is the sign of beginning

The Smiling Latte



Life is like a cup of coffee

Definisi Kesepian

Malam itu saya tidak mau bertemu dengan anda jika bukan karena desakan pertanyaan yang membutuhkan jawaban taktis. Percakapan kita memang selalu saya mulai tanpa basa basi. Anda menjawabnya grammatical, pelan, dan jelas. Saya mencatatnya di kepala. Muncul lagi pertanyaan baru. Lagi dan lagi. Sampai tak terasa ada satu jam saya dan anda menghabiskan malam dengan sejumput kayu bakar dan nyala api yang terjaga.

Beberapa malam lalu saya mengeluarkan kalimat terakhir dalam amarah terbungkus seni kata. Saya ingin anda melupakan segala kenangan dalam dua kali dini hari itu. Padahal saya sadar, saya belum pula menemukan cara menjauh darinya. Saya menyukai kopi. Setiap gelas kopi berarti cambukan bagi hati saya. Bagaimana dengan anda, saya berharap hal yang sama. Namun saya paham harapan itu hanya punya kuasa di hati, tidak dia dunia nyata. Saya melihat anda santai saja menandaskannya setiap malam lalu masuk kamar dan tertidur bahagia.

Anda, tuan. Anda telah mengenalkan saya dengan jenis kesepian baru. Satu jenis yang bisa datang kapan saja, menyeruak dari celah udara mana saja. Kesepian itu mengandung siluet anda. Saya sebenarnya mulai jemu, kesepian merasa tidak demikian.

Kesepian saya selalu diekori harapan. Artinya semua sia-sia. Harapan saya takkan berjawab apa-apa. Tuhan mendengar tapi tidak bermurah hati untuknya. Kesepian saya menarik keluar roh dalam tubuh untuk mencari anda dalam brangkas di kepala, sel-sel otak saya kadang marah digodok-godok rajuk.

Anda, tuan. Berhentilah tersenyum pada saya dengan cara itu. Cari pula cara lain untuk menatap saya dengan alasan kesepian. Mungkin saja kesepian anda seperti punya saya. Akan tetapi kesepian anda tidak pantas berlama-lama. Kesepian kita berbeda. Punya saya selalu menghidupkan anda, punya anda pandai menenggelamkan saya.

Wednesday 26 October 2011

Senyum Saman


Bagaimanakah rupa permukaan di luar gedung besar ini? Benarkah gedung ini besar? Untuk sementara, jawabannya iya. Tapi untuk selamanya, mungkin aku tidak akan pernah membuktikannya. Luas jangkauku hanya sepanjang telinga bisa mendengar suara-suara sekitar tanpa tahu apa sumbernya. Aku familiar dengan berbagai macam rupa tangis, keluh-kesah, teriakan, dan senandung tidak harmonis. Ruang langkahku bergantung pada kecerdasan kulitku. Apakah ia bisa meraba permukaan dengan baik lalu benarkah tebakanku tentang reliefnya. Sejauh ini aku hapal kerasnya tembok dan lembutnya bulu kucing yang selalu menggelayut minta makan di kakiku. Kadang aku sangat bahagia melintas di depan dapur panti oleh bau-bau nikmat dari dalam. Berbeda setiap hari, siapapun koki di dalam sana aku ingin menciumnya. Dan setelah itu mungkin aku akan mencintainya.

“Aku membutuhkan aliran bergetar hebat itu, Man! Yang tidak akan pernah aku lupakan,” baru kali ini Saman terdiam mendengar ceritaku. Biasanya ia akan balik bercerita dengan mulut yang lebih besar.

“Percayalah, kawan. Cinta tidak sebaik kedengarannya. Ia benar-benar parah untuk mata,”

“Hahahaha...jangan menjatuhkan semangat begitulah. Kau kan sahabatku,”

Penyebab orang-orang masuk ke panti ini beragam, mungkin seperti rupa warna dalam program editing foto kegemaran Saman. Ada yang karena kecelakaan, bawaan lahir, penyakit, atau disengaja. Saman termasuk dalam golongan orang yang cacat karena kecelakaan. Ia lumpuh saat menyelamatkan seorang wanita dari lindasan truk sampah. Wanita itu memiliki sebagian hatinya, mungkin. Tapi ia tidak pernah tahu sampai detik ini. Saman bangga atas keberaniannya itu. Aku tahu dari nada bicaranya yang selalu sombong padaku, setiap kali kami bercerita tentang kekurangan kami. Dan dari sedetik setelah rasa sombongnya habis, kutemukan nada raksasa kecewa mengekori.
----

Pada akhirnya di sinilah aku berakhir, dari yang memiliki segalanya sampai hanya punya angka nol dan pita suara yang tidak berfungsi. Mungkin aku kebanyakan menggombal, keseringan menipu, dan memfitnah orang sampai tiba-tiba aku terbangun di suatu pagi tanpa biasa bersuara sedikitpun. Menjadi bisu setelah dua puluh tahun sebagai perempuan bersuara merdu. Ujung-ujungnya aku di panti ini untuk melihat, mendengar, meraba, dan mencium sesuatu tanpa bisa berkomentar. Dan bagaimanapun aku harus mencintai tempat ini. Karena kadang kala di rumah orang lain, kita bisa merasa lebih baik.

Menyedihkan. Penghuni panti ini layaknya siswa-siswi pecundang di sekolah menengah atas yang tidak sanggup menghadapi kejamnya proses inisiasi macam ospek. Mereka orang yang dikutuk masyarakat yang tidak sanggup percayai masa depan. Mereka adalah mahasiswa teknik yang penemuannya dianggap gagal maka harus meninggalkan kampus dengan rentetan air mata yang tumpah sampai ke mata kaki. Mereka merasa sampah. Kini aku bagian dari mereka. Aku sampah. Lebih busuk baunya.

Bukk!

seseorang menabrakku dari belakang, “Maaf,” katanya kemudian. Aku mau marah, tapi bagaimana caranya. Kupelototi dia, agaknya sia-sia. Ia tidak bisa melihatku.


.......baca lanjutannya di kumpulan cerpen 'Satira (Perempuan dan Pena Takdir)'

Monday 22 August 2011

#3 TERAS

Teras Dua Piatu

Dari matanya, seringkali terjatuh nanah di sela jam belajar. Tangisan asing berubah pekat. Tangis, jadi darah. Darah jadi nanah. Bertahun-tahun ia menahan tangis tak jatuh, maka jadilah nanah. Jatuhan satu itu tak pernah niat kutahan. Suatu kali, kutuliskan sepotong sajak untuknya. Nanah itu jatuh lagi. Namun ia ketagihan. Katanya, nanah itu bengkak. Tegakah kau lihat aku berbengkak mata setiap berangkat sekolah?

Karena sarapan puisiku, aku diajak ke rumahnya. Aku dijamu di teras, dengan teh hangat dan kue kering buatannya sendiri. Namun Arfina tak pernah bisa bercengkarama cukup lama denganku. Paling banter sepuluh menit, selebihnya ia akan sibuk di dapur atau kamar ruang cuci. Ia piatu. Dipiara sanak keluarga seolah anak sendiri. Bagiku ia pesuruh.

Aku pernah membayangkan, ditinggal mati ibu, kemudian ayah menikah lagi. Aku dan adikku dipindahrumahkan ke rumah kakak ibu, dipiara tuk jadi pesuruh, disekolahkan namun ia tak pernah marah jika aku membolos. Semua ini kemudian membuatku memutuskan mimpi tak harus dikejar.

Wanita ini punya dua hati. Kanan dan kiri. Yang kiri ia serahkan pada kerabat itu, rela. Yang kanan ia pelihara sendiri untuk hidupnya kelak. Aku belajar membuat kue kering dan masakan rumah di teras Arfina. Dibantu adiknya. Anak kecil yang belajar menguras air mata agar tak jadi nanah. Kata Arfina, kau hadapi hari esok bersenjatakan kesedihan, sebab aku tahu, hatimu ada tiga. Yang satu, kau simpan untuk ibu.

Teras ini senantiasa berderis miris. Demikianlah derik tirisanku. Seperti bisik kecil penggigit deru kehidupan.

#2 Teras

Teras Tepi Kanal

Siang hari, teras ini diramaikan tukang ojek saja. Lalu-lalang kendaraan yang berasal dari jalan sebelah, jalan gotong royong menuju jalan abubakar lambogo pasti sempat terpaku pada teras di sudut perempatan itu.
Saat malam tiba, seperti kucing liar di sekitar bak sampah, anak muda di sekitarnya berdatangan untuk kongkow. Ada seorang gondrong pemabuk, mirip vokalis Blackout menanti kami di kegelapan teras. Dia akan bermain gitar dengan harmonica di bibirnya. Matanya selalu berbicara pada kami. Sebab cahaya kurang, kami tak pernah menimpalinya.

Teras ini punya Izna, seorang sahabat baik yang diperkenalkan oleh sahabat sejak kecil tahun 2007 silam. Anak-anak di sana, tergolong cheerleader-ku di masa transisi dari punya keluarga lengkap jadi berkeluarga tak jelas. Proses perceraian itu, kawan. Kuhabiskan banyak malamku di sana hingga pukul satu dini hari agar tidak menerus disiksa luka rumah.

Aku makan, tidur, dan boker di sana. Lucunya, saat pertama kali menginjakkan kaki, mereka mengira aku berasal dari keluarga yang taraf ekonominya tak jauh berbeda dengan mereka. Setelah sekali bertandang ke rumah, mereka kaget dengan kediamanku yang besar.

Aku bilang, di sini luas. Tapi hatiku menyempit. Di Dekker sempitmu, entah mengapa hatiku pandai bertumbuh.

#1 TERAS

Kalo Puthut Ea dalam “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” punya rumah di setiap kota, saya punya banyak Teras di seantero Kota Daeng ini, kawan.

Inilah sebatu menhir persegi. Tertera huruf-huruf tercipta dari malam bertangis dan renyah sore pemilik teras. Huruf-huruf tanda terima kasih.

Teras Berpasir
Butuh waktu kurang lebih 45 menit untuk mencapainya. Teras itu jauh di sebelah barat Makassar. Tepatnya di Tanjung Bayang. Adalah seorang gadis pesisir manis pemiliknya. Tulang badannya besar dan lebar. Dari belakang mirip seorang kuli bangunan. Rambut panjangnya menepis dugaan itu. Hasra Ramadhana. Dulu, saat masih di MAN Model, kami sekelas. Juga satu angkatan di ambalan Mujahid. Aku, dia, dan Heny berteman amat karib. Kami berbagi segala sesuatunya bersama. Kalau tak ada kerjaan, aku dan Heni berpelesir ke sana. Tak perlu mengeluarkan dana selain uang bensin dan jajanan di kios pinggir jalan.

“Mau ke rumah Dg. Rukka” ini password jika hendak melewati pos masuk tanjung jalur gratis. Di pertigaan setelah pos, belok kanan, ikuti jalan setapak, teras itu berdiri bersahaja di sisi kiri. Sederhana menapak pasir hitam pantai
Aku dan Heni senantiasa dijamu segelas teh gelas atau racikan sirup DHT dan beberapa cemilan dari warung keluarganya. Tak lupa pelukan hangat dari ibunya dan perhatian ayahnya. Lalu kami bercengkrama seolah aku ini anak yang dua jaman tak pulang.

Hasra punya balai-balai yang diperuntukkan untuk wisatawan tanjung. Bagi kami, gratis plus cemilan lagi. Kami bertiga sering menikmati sunset di sana. Sambil berbagi cerita paling masuk akal, sampai yang tabu jika mungkin diperdengarkan.
Biasanya… sehabis tendang-menendang kaki semalaman, kami bangun pagi-pagi betul, mendirikan shalat lalu ngacir, nyeker menelusuri pantai sampai ke muara sungai Je’neberang di sebelah selatan.

Berbulan-bulan ini, kami bertiga digerus kesibukan masing-masing. Heni dengan kuliah, kerja dan percintaannya. Hasra dengan bisnis mlm dan jaga di Mall GTC, aku oleh kesibukan sebagai mahasiswa, penggaul, petualang, dan penggiat sastra, seni, dan budaya. Praktis tak ada waktu lagi untuk memanasi dipan bamboo buatan ayahnya.
Terasku ini, selalu sederhana dan penyubur kenangan taburan hati.

Tuesday 9 August 2011

Warkop Bambu


Sebingar riuh larut dalam kopi
Satu laut bernama kamu terburai di atasnya
Kopi kuaduk pelan,
Jaga tak tumpah,

Berpotong gambarmu diikutkan iris-iris roti bakar
Yang seperti setapak pedesaan itu garis hidupmu
Kubangun pondok sederhana darinya
Semoga niat kau singgahi

Seorang perempuan tersenyum kuning
Untuk biru-biru malam yang ia setia tunggui

Thursday 28 July 2011

Damai itu Kau Tindih, Bukan?

Begitu mudah memulai sebuah permainan besar yang mengharuskan kita bertaruh harta paling berharga lalu mengakhirinya dalam kemenanganmu. Jeleknya, tak sedikitpun petunjuk yang puaskan pemahamanku apa kau menikmati permainan itu hingga hendak membuka meja kembali. Dan aku, di sini, di depan meja yang kita kelilingi malam itu, aku duduk termenung menatap segelas minuman gas dan dibuat tersedak asap lembut, menunggumu datang membawa taruhan yang lebih gila. Aku masih menunggu, bertanya-tanya, sebentar tertawa, sebentar hendak menyulut mata biar tangisku beralibi lain. Bukan sebab kau tak datang.

Setiap pertemuan denganmu kini berasa permen asam-manis. Dulunya asin mendekati hambar. Biasanya kau datang menuang beberapa tetes kecap atau menabur gula pasir dua-tiga sendok. Cukup dengan senyum yang berbeda jika kau tampikkan padaku. Setelah itu aku akan lemas di dalam, tampakanku turut tertawa bersamamu. Entah kau rasakan gempa bumi tubuhku, atau tidak. Yang pasti jejeran kalimatmu, di meja itu, membuatku merasa kau hendak tahu setidaknya.

Sambil menulis ini, kakiku bergetar dan dingin menyayat, merangkak dari ujung jempol terbuka hingga ke pangkal paha. Apa yang terjadi. Apa yang kau tahu. Apa yang aku tidak ketahui. Semunya bermain kejar-kejaran dalam kepalaku. Tak jua berhenti gaungnya sampai ke tepi, tak seperti deburan ombak tepian kota Pare-pare dini hari pahitnya.

Setelah dua dini hari itu. sehabis kau nikmati aliran air mataku di pelipis kanan, yang menembus bantal putih, aku tidak melihat kau terharu, senang barangkali, katamu sangat sukar mendapati perempuan sepertimu menangis. Tampaknya kau tak ingin melewatkan kejadian itu begitu saja. Kenyataannya, mudah mengambil hati seorang perempuan yang tercungkil sedikit masa lalunya dan membuat ia mengharuinya semalu-malu. Kau hapal benar jurus itu. Aku yang mati rasa berbulan-bulan, selama itu kutempa perisai agar hatiku tak digali orang, mampu kau tembus hanya dengan katana berkarat. Kubilang berkarat, sebab tak mungkin jika ia mengilap kau ada di sampingku malam itu, mengajakku menandaskan segelas kopi hitam dan sambung-menyambung cerita tanpa prolog verbal.

Satu waktu, saat pertama kali melihat laki-laki sejenismu, aku tahu bahwa penyakitku membaik. Tidak lagi kudapati diriku terlena di sebaris jejak laki-laki matang yang telah memiliki-dimiliki orang lain ataupun pernah memiliki dan masih merasa memiliki. Senang rasanya kehilangan rasa bersalah hilang daya merecoki kehidupan bahagia orang lain, sebab memujinya meski tidak ada yang tahu selain Tuhan. Saat itu, aku melihatmu pertama kali. Seperti jawaban dari semua imajinasiku saat tak ada jarak lagi antara aku dan Tuhan, pun sejadah seolah melayang di antariksa. Tuhan memang seniman sejati. Mungkin Dia bosan mendengarku menceritakan imajinasi yang nyaris tak mungkin bagi kebanyakan makhluknya. Dia marah tertantang dalam tanyaku, “Tak sanggupkah Kau menciptakan manusia seperti itu?” Dia pertemukan aku denganmu di satu malam, satu malam biasa seperti malam berdingin dan berangin lebat yang kulewati berbulan belakangan. Kudengar Tuhan berfirman dalam kitab yang khusus Ia jatuhkan di tengah jalurku, “Masihkah kau meragukan kekuasaan dan kecintaanku padamu?” akan berlebihan jika tiba-tiba aku sujud syukur di tempat itu. Aku duduk saja, di sampingmu, kau tawari rokok dan kopi. Disusul percakapan yang bagiku sangat menyenangkan. Maka kitabku kini berisi surah-surah berdongeng. Serupa cerita Musa dipertemukan Khidir. Atau dongeng dramatik lain dirangkai Tuhan untuk hentikan tangis yang banjiri pelipis Rasulullah hampir setiap tengah malam.

Sudah bertahun-tahun, tak ada yang pantas kuberi kekaguman selain aktor berandal itu. Kau tahu dia, mungkin pula kau sukai. Saat itu, kau sederajat dengannya. Dan beberapa kalimat lagi, kau menempati urutan teratas. Kau bertahan lama di daftar nomor satu, sekarang hendak kutambahkan tanda + setelah nama lengkapmu. Daftar itu terletak di tengah kitabku.

Tak seperti kitab lain, yang melulu berisi ajaran kebaikan dan daftar tokoh protagonist-antagonis dalam satu surah. Semua antagonis terletak di surah tertentu dan kubuka sambil membakar sampah atau reranting dari pohon tangis. Nama lengkapmu juga tertera di sana. Harus kulakukan itu. sebab kau adalah makhluk setelah manusia dalam kitabku, kau iblis bersayap malaikat, atau kebalikannya. Memprediksikanmu sesulit memainkan gitar kidal. Aku harus memusuhimu. Mau tak mau. Ego kekaguman senantiasa membujuk untuk menghapus namamu, tapi aku harus membiarkannya tertera di sana biarpun kadang memandangnya membuatku hendak menebang seluruh pohon di bilangan timur Makassar. Kau adalah pujaan yang memiliki dan dimiliki biarpun serakah dalam hal kepemilikan. Dan aku si ingin memiliki yang dimiliki juga dalam keserakahan.
Ah, tak pernah kuduga akan seperti ini jadinya. Tak pernah ada tanda-tanda kau akan mengajakku bermain dua malam, bertaruh segala harta, bahkan melupakan permainan kumur-gumul itu dalam sekedip kelopak mata. Mungkin sempat kau transmisikan beberapa signal padaku, dalam tatapan pintas, perhatian mungil, pesan pendek, atau hanya dalam kebungkaman di satu sore berkopi tanpa teman-teman yang lain.

Aku memang pandai berimajinasi. Kejadian itu seringkali nyambung sendiri di ekor imajinasiku tentangmu. Kuharap saat itu otak kananku sedang berkhianat. Padahal tidak. Untung ada si otak kiri, muncul sebagai penengah dan mengusir hatiku kembali ke tempatnya. Dia bilang, “kau jangan bertindak bodoh”. Maka imajinasi tentangmu selalu berakhir dalam sebuah lukisan atau poster yang menempel di dinding hatiku, biar kau tetap berada dalam surah pujaan dan benci, bukan cinta. Surah tentang cinta sendiri, macet di wahyu tiga bulan lalu. Jadikan aku mati rasa sampai kau datang dengan aneka jenis bumbu dapur pribadimu.

Kini aku bersesal, lelaki. Mengapa begitu mudah menerima ajakanmu. Begitu mudah mengiyakan katamu, mengikuti instruksimu, bermain denganmu, bercerita denganmu, sampai bercinta dalam otak dan alam bawah sadar. Sebab kau menang, aku kalah, tangislah penutup permainan itu. Hadiahmu, seluruh diriku. Kau ambil dan teguk damai pagi itu lalu membersihkan diri dan semua memori sementara aku masih diendapi sampai detik kutuliskan ini. Bercerita kepada kawan dekat malah membuatku semakin digerogoti. Seandainya-seandainya pun bermunculan namun tapi-tapi selalu mengakhiri dan aku ditampar kurangajar-kurangajar.

Aku bilang padamu, aku jahat. Kau bilang padaku, aku terjahat. Ah, kita sama-sama penjahat yang dini hari itu kehabisan korban hingga saling menjahati. Kau lupakan rumahmu, kulupakan jalananku. Yang kita tahu hanya meja bermain dengan waktu seolah tak pernah berhenti. Dalam rangkulanmu aku tertahan, dalam manjaku kau nyaman. Jika kita membutuhkan tokoh si bodoh di sini, aku pun bingung harus menjadikan diri atau menjadikanmu. Yang aku tahu ada sebab lain yang membuat orang hilang akal selain cinta, yakni nafsu. Dan lagi, nafsu telah menggantikan definisi cinta semenjak pengkhianatan berhasil dijernihkan dengan kata manusiawi. Orang-orang mengibarkan bendera kemanusiaan sehabis berlaku binatang. Alasannya ada binatang dalam diri manusia, dan justru itu yang menguatkan kemanusiaannya. Tanpamu aku tak pernah mengerti pembenaran itu, dihembuskan dari desah nafas pengacara sekalipun.

Seharian ini, tiga meter di atas permukaan tanah, kunikmati segelas minuman sereal, music tipis dari ponsel biasa, dan wajah menatap langit langsung, aku terbawa dalam imajinasiku. Bersamamu. Aku berkali-kali ditampar kenyataan, namun selalu saja berhasil kembali dalam imajinasiku sampai aku tertawa di luar dan menangis di dalam. Kau adalah siapa-siapa bagi orang lain. Aku masih mencari siapa saja. Pagi itu membuatku tak konsentrasi sampai dini hari ketiga ini. Aku bertemu denganmu di tempat biasa. Sepertinya kau tidak membiarkanku menjauh dan kurang diperhatikan. Berkali-kali kucoba mencari tempat duduk jajahan sendiri, tidak bersamamu, aku sedang malas berkoalisi, namun kau memaksaku dengan tendensi halus memintaku terpaku saja di sampingmu biarpun kau sedang apa dan aku sibuk apa. Kelihatannya, yang jelas kau di sampingku.

Aku datang membawa gitar, langsung kau semprot dengan pertanyaan-pertanyaan dari mana, mengapa, apa kabar. Kujawab sekenanya. Lalu duduk di sampingmu. Serasa berada di tengah peperangan, granat silang-menyilang dilemparkan, seru-deru bising di sekitar tapi kita membuat damai sendiri tanpa perapian besar dan asupan gizi. Kau meraih gitar itu, menyetelnya untukku lalu memainkan beberapa lagu. Dalam tangkapanku, kau teringat akan permainan kita dan mencoba mencari-cari lagu kesenangan yang mampu membawaku mengingatnya pula. Petikanmu damai, ingatkanku pada seseorang yang mengajakku membangun sebuah rumah berkiblat dua. Tergelitik sedetik. Berada di sampingmu tak pernah membuatku lama humoris. Selalu melankolis berbungkus tawa kekeh mirip kuda nyengir memenangkan pacuan anyar.

Tadilah kusadari, memang kau pemain handal. Seperti dia yang meninggalkanku tanpa rasa bersalah itu. Apa nantinya kau gelari aku dengan kata “jijik” pula atau frasa semakna. Entahlah, bagaimanapun sikapmu nanti padaku aku telah menyusut lebih dulu. Kalau dahulu aku masih wajar memohon, bertangis sesal, dan menatap mata orang itu dalam-dalam sampaikan seribu ingin tak nampak. Sekarang ini, apapun tak layak kusampaikan padamu. Aku si terdakwa, sebenarnya kau si pelaku. Namun garis keberadaanmu menjadikanku kambing hitam yang pasti disetujui public berlatar belakang bagaimanapun.

Seharusnya aku tak begini. Tidak berniat menjadi lebih kurus, lebih dingin, lebih liar, lebih gelandang karenamu. Seharusnya keterbiasaan membuat semua bumbu bawaanmu serasa sama dengan penambah rasa yang lain. Namun ini beda, ini kau. Medannya berat, aku berhasil memasukinya dengan mudah bahkan dibekali kitab. Ini kau yang diberikan Tuhan untuk membuatku jera. Seharusnya andai-andaiku itu kugunakan untuk masa depan yang tidak ada kau. Seharusnya lagi tidak ada tulisan ini. Dan kalian tidak dibuat bertanya-tanya.

Tuesday 14 June 2011

Kotoran

Merenung di toilet ‘Haiyya’, 22 Februari 2008


Satu hal yang pasti kukerjakan, melupakan ajaranmu
Kelak, waktu gunung meletus tak berhasil buahkan tolehanku,
Kudapati waktu statis tak berbuih
Menempel erat sebagai kawan dalam nurani
Waktu yang terangkai berutas-utas senyum tak putus-putus

Mematung,
Memikirkan pelangi lurus satu warna
Adalah tingkahku kala terpaksa mendengar ajaranmu

Ini, itu, anu, maka
Semua cuma kosong yang dilucuti agar ada
Benci terhadap segala kata yang kau semburkan

Setahun pembicaraan tak berguna
Ajaranmu tak berdampak…pak…
Meski hanya pada kotoran kukuku
_

Tanggal 81, bulan 18, tahun 8001

22 Februari 2008


Semua bisa saja
Tidak ada yang berubah semenjak jatuhnya titik-titik embun pagi tadi memanggilku menatap buku

Biasa saja semua
Terpal hitam adalah langit hari ini
Perkelahian, tangis, jiwa retak, bisu
Hal-hal yang sama

Tapi mengapa mereka mengawalku?
Otak karatanku dijejalkan tanya-tanya berbau selidik
Jika saja keberanian kalian ada di sidang KPK
Maka uang-uang akan mem-bumerang

Jumat, sabtu, minggu,
Deretan yang tak pernah berubah
Dentuman, peredaman, memekakkan, mengemosi
Menggumpal bersama musik siang

Kita lihat nanti
Bagaimana waktu memamerkan mujizatNya
_

Die Splittern

du…
Jemand russt im liebe
schrei: wǜnsche ich dich begleiten
welt…
ich schiebe nie meinen Einfang auf
nur eins sekunde
zwei Thronen spalten die Erzahlung

Verlort die Grenze
alle brennenderschmerz ausgewischt
du untertauchst den weissen Flugel im seele
wir fliegen
mitgebracht werden
illustriert…

Still, rugig, keine Bedeutung mehr
traurige seutzen und ruhige schreck verhalten
ist mein Vorgefǜhl falsch?
manchmal betrǜge ich
etwas keine Bedeutung

schrei: zwingst nicht dir zu Verlassen

05 Desember 2007

INI PALING MEMBAHAGIAKAN

30 November 2007

Maafkan, jika kuminta mati saat ini

saat pisau runcing ramping menarik rupanya
Tanganku tergoda untuk kutusukkan ke jantungku sekarang

Maafkan, jika berfikir kehampaan antariksa
Lebih butuhkanku ‘tuk melayang-layang tanpa arah
dibanding bumi untuk kujajah

Dimana telingaku menganga lebar
Otakku terpanggang
Tanganku meradang
Dan setiap titik darahku terbakar mendidih
memaki
Membuatmu memaku

Aku ingin mati saja
Karena aku mendurhakaimu sekali lagi

Sekali lagi…

Air mata perlahan kutemukan

Tak bisa kupecahkan kepala ini
Membentuknya seperti mollusca

Lebih baik aku tak pernah ada
Daripada melahirkan kedukaan
Daripada berteman penguasa setan
membuat seisi dunia mengutukku binatang
aku b-i-n-a-t-a-n-g

tidak ingin begini

lengking memanggil tanganku menggenggam pedang juga menarik siraut
Dan kupilih lantai sebagai penikmat ciuman terakhirku

Mama, aku takut pergi ke neraka

……………………………………………………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………..………….
…………………
….
.

Yang Semu

Makassar, 01 September 2007


Negaraku Indonesia, surga semu
Bendera diturunkan tanpa upacara
Rutinitas berlalu tak tersadari
Bukan raja perintah kami
Dia setan!

Bendera berkibar bukan pada tiang
Hukum mati selayak dinding berjamur

Indonesia, negara ayam kate
Punya sayap tapi sukar terbang
Ditendang yang adidaya, baru melompat terkaget

Darah pernah ditampung dalam satu kota
Banyak yang tersedu, lautan memerah
Itu dulu,
Itu dulu,

Satu mimpi tak berpeduli
Yang selalu kugemakan waktu kebanyakan orang tuli,

“Inginkan merdeka Indonesia sedamai hutan
Saat berteman dengan awan dan hujan

Inginkan merdeka Indonesia sedamai hutan
Saat berteman dengan awan dan hujan”
_

Friday 10 June 2011

Tak Berjudul

Makassar, 28 November 2007


Tidak ingin ada ini, mulanya
Meski segala metamorfosis ditampakkan
Dan relung-relung bertabir terbuka
Ataukah yang tidak bisa menyeruak sejati

Aku menjadi tak peduli dengan bencana alam

Tanpa terduga ini ada
Mengekor di komet kebenaran
Dan menembus lapisan relung yang baru saja kututup


Menggebrak!

Menjadi pengikat simpul,
Elemen terakhir,
Empat sisi dunia terpenuhi,
Raga berteman lagi

Menyempurnakan segala apa yang tak mungkin,
Ini dia, dan kupastikan…

_

Sayap Puisi Legenda

09 Desember 2007

Lima masa dipasangi sayap
Lima masa diajari terbang
Lima masa melayang entah kemana bersamanya
Sepanjang masa dijatuhkan ke dalam lembah termistik

Ini bukan puisi
Kandungan puisi itu kata-kata indah
Bukan begini
Ini bukan puisi

Orang lain pergi berampas sesuatu yang pasti
Kau menyimpan seraksasa tanya

Ini bukan puisi

Melainkan kebencian yang kulegendakan
Ini perasaan dan tanda tanya
Kemarahan yang meluap

Ini bukan puisi
_

Koma

18 November 2007

Hilanglah pekat yang klasik
Setitik lalu titik setelahnya

Sebelum terlanjur usang
Kuizinkan waktu, tanah, dan hembusan menjamah
Pekat,
Ambil dia, wahai putih jagad!

Sudah waktunya

semasa sma, saya dirasuki banyak penulis dan pembicara lepas di sekitar, bertambah sibuk dengan suara-suara kecil di kepala. maka saya menulis. sayangnya baru bisa kusampaikan sekarang. selamat menikmati apa yang dulunya nikmat bagiku, sahabat

26 Januari 2008

Yang Kau Maksud Bahagia

Tubuhku terkapar, bayangan kutindih
Ini tidur abadi tanpa selimut putih

Beratap langit yang menganga bergemuruh
Karena cinta, aku telah dibunuh
_



Makassar, 20 November 2007

Datar

Setelah masa antara jangkrik mengerik dan embun bungkam yang menghantam-hantam tanah, bangkit ‘ku karena aurora,

Sang silam maya,
Ia melihat pekatku, merenggutnya senang hati dan sekejap pergi tak menyentuh bumi
Melayang…

Lim pung,
Eti mo logi,
Non rasio nal
E m o
Itu semua ampasnya

Pengharap, dijadikannya aku begitu. Namun kutunggu sang silam maya berputar untuk menyapit waktu di sampingku,

Agar kuangkat matahari yang terlanjur tenggelam, juga areasi menghantam retinanya, kagetkan ia,

Dengan pernyataan entah mengapa
_



23 Januari 2008

Lelah

Mengapa mesti membekap mulut sendiri jika itu benar?
Biar hancur terburai sampai meleleh
Tidak ada yang sanggup kau buramkan
Tanpa menggali dan aku hanya memperkaya gemingpun
Kudengar kau mencintaiku

Kau terus mengayunkan kaki
Beradu cepat dengan tiga jarum dalam lingkaran
Pemandangan diriku dalam benakmu berganti melingkar
Limit terbuang, apapun tersiar

Percuma…
Biar retak remuk segala yang kau punya dengan paksa
Rautku tetap lukisan terindah untuk malammu
Kau terlalu berharga untuk membunuh diri
Bukankah ada gunanya kau mencariku?
Semburkan semua echo dalam hatimu
Cukup tinggikan kejujuran
Karena aku takkan membuatmu kecewa…
_

Sunday 1 May 2011

Rumahmu (bagian ketiga)

Merah, kuning, hijau
jangan salah, kawan. itu bukan pelangi. melainkan seperangkat alat pembungkus tubuh. pelan-pelan, sambil tertawa licik kumasukkan ke dalam koper. hmm, tepatnya tas besar warisan kakek. Rumah ini sudah tak layak ditinggali. Semua pintu rusak, atap bertambah bocornya. Belum lagi kalau turun hujan, volume air sekecil apapun, akan masuk dari sela-sela rumah dan membanjiri lantai paving-nya. hanya orang bodoh yang akan bertahan di sini. kalau aku mati, tentu tidak akan ada yang tahu. apalagi dia.

seminggu ini, aku dikirimi telegram dan surat dengan merpati pos. isinya dari orang-orang lama yang jelas tidak ingin aku lupakan. kata mereka, rumah mereka semakin bagus dan pasti aku akan betah jika suatu hari mengunjunginya. pikirku, tidak salah jika kucoba, sekali lagi, menerima jamuan mereka, sambil sesekali tertawa dan mengenang masa lalu yang tidak pernah mereka lupakan. surat lain datang, dikirim bersama sepaket bingkai foto dan lukisan. dari sahabat-sahabatku. mereka ingin aku membantunya memperbaiki rumah mereka untuk dijual kembali. baiklah, kawan! meratap itu pekerjaan sia-sia. makanya, Dia, Tuhanmu, tidak suka kalau kau meratapi apa yang jelas-jelas sudah diambil orang. apa artinya fase ini selain kekonyolan dan jalan buntu. berbaliklah, pilih tikungan yang tadi kau abaikan. dia tentu tidak buntu. tanganku selalu siap menggandeng kalian, kalau perlu aku berjalan di belakang saja, wanti-wanti siapa tahu kalian melemah.

rumah ini. ruangannya sudah sempurna. karena sudah sempurna, buat apa lagi aku tinggal. masih banyak lahan lain yang siap dijamah. koper kuseret keluar pagar. pintu pagar sengaja tidak kugembok. siapa tahu, nanti kau datang, hendak singgah sejenak. dan, selamat ! anda tertipu. hahhaha... aku tidak lagi tinggal di sana ! hari itu, mungkin saja aku tengah menonton dari jauh, dengan binocular pinjaman itu dan tertawa terpingkal-pingkal menonton kebodohan dan penyesalan panjangmu. hidup ini lahan permainan, aku dan kau adalah pemain. maaf, aku sudah naik level. jauh di atasmu.

beberapa pesan pendek masuk. dari para pengirim surat. ternyata mereka tidak sabar lagi ingin kukunjungi. kata film, di sinilah petualangan baru itu dimulai. terima kasih atas kesediaannya. balasku. mungkin nanti, jika sempat kutengok kalian. tapi aku mohon, jangan suguhi aku botolan atau bong. pun tidak seperangkat alat shalat. mau itu tunai atau utang. aku lebih suka sebungkus rokok hitam yang dari jauh, katanya seperti ranting pohon. jangan lupa vanilla latte kesukaanku. dan lagu-lagu santai. kalian mesti pandai-pandai membuatku betah.

nanti aku hubungi jika hendak ke sana. hari ini, ingin kusandangi sebuah rumah baru. kelihatannya sangat asri. kolam ikan menyambutku di halaman. miniatur kepala suku indian terlihat seram di depan pintu, mungkin bagimu, bagiku sangat eksotis. pemiliknya baik dan ramah. dari dalam matanya, bisa kulihat luasnya dunia ini. dan kata-katanya menjadi epilog yang membuatku tidak sabar lagi untuk segera mengetuk pintunya.

Rumahmu (bagian kedua)

Lelaki berlangkah gontai, agak seret namun menyepat. Percepatan yang tidak seirama dengan degup jantungnya. Sore itu dia melintas di depan rumah baru yang sudah lama ia tinggalkan. Ada perasaan jengah pada rumah itu. Kadang terbersit rasa marah hendak membakar. Gumulan rasa yang muncul di hari-hari terakhir menjelang ia memutuskan untuk meninggalkannya. Hari-hari saat aku dan dia terakhir kali melancong udara bersama. Kami melintasi rumah lamanya. Rumah lamanya tampak ceria dan tidak banyak berubah. Bahkan lebih bekarakter dan terpelihara semenjak dia meninggalkannya tahun lalu. Aku melihatnya, seolah dia tidak melihatku memperhatikan rumah itu.

Hari itu, rumah barunya, rumah kami sedang dilanda masalah genteng bocor, engsel pintu rusak, dan lantai yang dibanjiri air dari mana-mana. Kami tidak menyadarinya sebab demikian sibuk dengan urusan masing-masing dan baru kembali ke rumah ketika bulan malam semakin tampak. Maka waktu berdua yang tersisa paling banyak lima menit. Itupun dihabiskan dengan menghisap sebatang rokok mild favorit bersama, di samping asbak yang tak pernah sepi. Selebihnya kami tertidur, melepas penat tanpa peluk cium. Kedataran yang sama-sama tidak diharapkan.

Kedataran itu pada akhirnya berbuah jambu muda yang pekat dan mengganggu di seputaran mulut. Membuat kami saling memaki. Membuat kami saling berhasrat untuk merobohkan dinding rumah kami. Rumahnya yang sebelumnya ia rawat dan cintai sebab masih baru, masih mulus, dan masih sangat mengerti para penghuninya. Sebuah rumah kecil. Satu teras. Satu ruang tamu. Dapur dan meja makan disatukan. Serta satu kamar tidur. Lahannya cukup luas hingga pekarangan kami masih bisa dibanguni beberapa paviliun dan nantinya akan menjadi halaman bagi anak kembar kami untuk bermain lojo-lojo atau ruttak gundu. Sengaja kami membangun rumah di atas lahan itu, agar nantinya bisa kami ganti dengan kastil kecil bergaya gothic dari luar, dan berarsitektur asri pedalaman di bagian dalam.

Rumahmu

Dini hari,
Kelopak mata atas membenci yang bagian bawah..
Maaf, tidur. Kau bukan lagi milik malamku. Menyusul cemilan dan minuman keras.

Dini hari,
Game tetap jadi pengingat akan gondola yang berputar-putar mengkhawatirkan para ibu

Yang menarik bagiku hanya ini... seputar isi rumahku yang berantakan.
Memperhatikan sekitar dalam mimik wajah pengap. Rumahku, apa yang hilang darimu. Ruang-ruangmu tidak pernah berkurang. Tak niat kutambah. Semua pas. Semua membahagiakan. Hanya saja mungkin di ruang tamu, tata letakmu kurang baik bagi mata hatinya. Tidak membuatnya betah untuk menikmati rokok tengah malam bersamaku. Dan barteran cerita baik-buruk. Di bawah bulan yang bersinar sepanjang tahun.

Beberapa bingkai foto tidak pas posisinya. Sebagian mungkin harus kupindahkan dan yang lainnya kubuang saja. Vas-vas bunga itu juga. Terlalu ramai. Kita berdua tidak begitu mencintai mekar bebungaan. Ruang ini semestinya bebas dari warna-warni menipu. Mawar putih dan hitam cukup.

Perabotanpun tampaknya berlebihan. Rak-rak kayu tak berhias tak berisi. Kita tidak sedang menanti hadiah dari siapapun untuk mengisinya. Baiklah, kupindahkan. Ruang tamu mulai lapang. Sesuai kesukaanmu.

Beralih ke dapur. Tempat favorit kita pada pukul 11 pagi menjelang siang. Semua cukup. Pas. Tapi, bagaimana dengan lemari pendingin? Kita butuh persediaan untuk bincang-bincang tengah malam yang membahagiakan itu. Mari ke minimarket terdekat.

Terakhir, kamar kita. Kamar segitiga. Sebuah ranjang besar. Seprainya lembut. Kutata sedikit agar tak cepat kusut kita mainkan. Jendela lebar berkusen kayu cokelat. Ada lampu antik di tepi kiri. Tepi tidur favoritmu. Semakin malam, kamar ini jelas semakin kita cintai. Adakah yang salah dalam ruangan ini? Ah, iya... ayunanmu. Baby box, meja kerjaku. Meja bermainmu. Bodohnya bisa kulupa. Saat kembali, semua sudah lengkap. Jika tidak untuk apa aku tetap di sini?

Bulan belum menemukan jalan pulang. Matahari tergesa-gesa berangkat. Mereka bertemu di persimpangan waktu yang mengantukkan mataku. Selamat tidur kau di sana, semoga mata kita terkatup di saat yang bersamaan. Sambil tersenyum.

Sunday 27 March 2011

Bicara tentang hujan pertama kali setelah hanya pandai merasainya selama ini

*hujan
Dingin gigil dan sakit
Racikan sederhana dini hari

*hujan
Sepi peluk bayangan
Teman terbaik setiap tengah malam

*hujan
Cinta dini hari benci malam-malam

Teman bermain kala hati deras

Minta Tolong

Kematian
Adalah ketenangan riak-riak gumulan air yang terjebak di balik bebatuan sungai dikelillingi lumut

Kematian
Adalah calon suami dambaan sehabis tidur telanjang badan dibalut selimut sobek ujungnya ditemani ragam buku-buku setengah basah pun bolong-bolong

Kematian
Adalah bosanku bernafas sebab tiap hari kulakukan rakus dan sempoyongan di sela-sela gontai, tegukan kopi, isapan rokok, bedebam tawa dan itu-itu yang tak kunjung mampet

Kematian, kawan
Bisakah kau kenalkan aku dengannya secepat kilat?

Tuesday 8 March 2011

An Excuse to be Free

Apa yang salah pagi ini?

Langit cerah, kantong memang selalu bolong. Kuganti tali sepatu dari warna ungu menjadi kuning. Seperti kotoran manusia, atau tahi gigiku, analogi paling murah. Ya, itu saja. Sepeda motor kunyalakan. Hari ini playlist dimulai dari deret 53, One Republic. Bensin motor tinggal sedikit, nyaris kering. Harus bisa sampai di rumah Abii.

Di sana aku tidak banyak cakap. Memang tidak pernah ada percakapan panjang di sana. Abii memulai waktunya bersamaku dengan menjelaskan perihal ini-itu sepeda motor rongsok yang kukendarai sejak di MAN, bulan lalu, dia ganti plat. Pertanda kedua bahwa motor itu memang harus diganti. Atau peringatan bagiku agar bersiap-siap membawanya ke muara besi tua. Ayah bersikeras agar aku bertahan dengannya. Aku tidak bisa. Kutawarkan agar aku naik angkot ke kampus. Motor itu terlalu menyakitkan. Terlalu menyusahkan. Apa katanya, motor itu baik-baik saja. Katanya aku harus bersyukur masih bisa mengendarai sepeda motor. Artinya, semua kesakitan di punggung, rasa pegal di setiap persendian dan perjalanan-perjalanan kecil mendorongnya jika mogok juga harus kunikmati.

Lalu… semua memanas, nada bicara ayah meninggi. Lalu … aku kembali pada kehidupan di borong. Kembali lagi menatapnya yang sakit-sakitan.. katanya bawa ke bengkel kakak. Aku ingat setiap kali kubawa motor itu ke sana, hanya caci maki dan hinaan yang kudengar. Terhadapku. Terhadap motorku. Aku dipermainkan seolah tidak ada hati di dalam dadaku. Kusampaikan ini pada ayah, katanya kalau begitu biar dia saja yang bicara pada montir-montir itu. Dapat kuramalkan dengan jelas. Vego tidak akan pernah kembali sehat seperti dulu. Kecuali ayah mengganti beberapa onderdil orisinil yang mahal seharga membeli vego baru.

Ayah mengeluh. Katanya dia sudah susah dan sakit-sakitan. Aku? Lebih pusing darinya. Jelas. Tak terbantahkan. Kukatakan padanya, bagaimana aku bisa belajar dengan tenang jika keadaan sekacau ini? Kau katakan aku jangan bekerja tapi keadaan seperti ini. Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan? Sementara mama juga tidak bisa berbuat banyak. Sudah tiga minggu, kami makan dari uang hasil pinjaman para tetangga. Dan ayah selalu beranggapan mama berkecukupan.

Lalu…
Semakin gerah. Aku hendak membunuh. Rasanya sakit. Sangat sakit. Terpaksa air mata saja yang mengalir. Entah ada apa dengan ayah, emosinya seketika memuncak. Aku tidak mengintervensi, aku curhat. Ya… keluhan kehidupan, melapor padamu tentang apa yang terjadi belakangan ini padaku. Semoga kau bisa member sedikit solusi, paling tidak pengertian kecil untukku. Yang ada hanya amarah, kau orang tua. Aku anak. Aku tidak berhak tahu urusanmu. Aku harus patuh padamu. Meskipun itu akan membunuhku. Itu hukum uang kau tegaskan. Bahwa orang tua selalu benar. Anak selalu salah.

Lalu…
Aku memberimu solusi. Berikan aku modal, dan kau tidak usah lagi memusingkan pengeluaran untukku. Sebab aku tidak akan bisa bertahan dengan cara seperti ini. Katanya sudah tidak ada lagi. Semua uang itu berganti tanah beberapa waktu lalu. Tepat setelah kuutarakan niat yang sama. Sebuah ide kecil untuk membantumu memusingkan masalah keuangan. Uang. Semua hanya tentang uang, kita bersusah payah zaman ini, belum tentu zaman nanti tidak susah.

Ya… ayah… aku bisa melihatnya. Betapa tidak ikhlasnya dirimu setiap kali memberiku uang. Untuk sekarang ini aku bukan prioritasmu. Jelas. Sepertinya aku adalah anak yang tidak pernah diharapkan kelahirannya. Mungkin jika tanpa semua prestasi yang kugunakan untuk menjilatmu selama ini, aku tidak ada apa-apanya.
Lalu… istrimu datang menerupsi, membenarkan penyakitmu. Aku juga tidak menampiknya. Lalu, anakmu yang sudah kau usir berkali-kali itu datang, melawanku, hendak menjadi superhero. Ah, jalang. Wanita jalang. Untung tak kusentuh kau, kalau tidak kita bisa perang saudara. Masih untung kau kuhormati, meskipun kau tidak pernah berlaku sebagai kakak yang benar untukku. Sejak kecil kalian semua memang hanya tahu memanfaatkanku.

Fuck this family. Fuck destiny, I’ll write mine myself.

Tuhan, maafkan aku. Selalu ada alasan bagiku untuk tidak pernah menjadi perempuan sepenuhnya. Untuk menggelandang seperti ini.

Simulasi

Rasanya, darah sastra membludak bercampur bersama hemoglobin dan sel darah putih di urat-urat tubuhku. Aku berjalan lambat, disaksikan gedung-gedung tua yang sisi-sisinya dicat merah. Beberapa sisi ada yang dicat berkali-kali untuk menutupi mahakarya seniman kampus. Mereka menuliskan segala kata dan caci yang tidak sempat mereka sampaikan dengan bengis kepada yang terhormat bapak wakil dekan, bapak dekan, atau bapak rector. Aku berjalan pusing. Berharap dia masih di sana, tersenyum menantiku kembali. Seperti aku tersenyum menantinya datang setelah mencoba berbagai cara, membujuk, meminta tolong, atau berniat jalan kaki sejauh dua puluh kilometer hanya untuk memandang wajah kekelahanku sehabis mempelajari ilmu kemanusiaan dan sosialnya yang rancu.

Kuketuk pintu tiga kali, mengucapkan salam yang hanya ia simak. Tak pernah dibalas. Dia menyalakan laptop, aku membuka kaos kaki. Menggulung. Memasukkannya ke dalam kantong sisi tasku yang hampir kujadikan tempat sampah gantung. The pursuit of happiness. Will smith, actor Afrika-Amerika yang telah memenangkan banyak Oscar dan penghargaan acting sejenis mendapatkan kesempatan paling langka; menemani sore kami, di dalam ruang persegi panjang dihias gantungan celana, pakaian, dan kertas-kertas ukm menulis. Sepaket dengan wangi fragrance yang menyembur dari celana-celana basah dan handuk lembab di jendela. The pursuit of happiness because happiness comes after trying hard.

Kebahagiaan, satu-satunya hal yang paling ditunggu setiap manusia. Siapapun mereka. Terbentuk dari daging atau nanah. Dari air atau api. Semua mencari kebahagiaan, semua mengejar kebahagiaan. The pursuit of happiness. Film yang mengajarkan kita untuk berjuang, sebab di dalam keputusasaan sekalipun, selalu ada kekuatan. Tiga bulanku. Tiga bulannya. Tiga bulan lalu. Kami berdua berada dalam tonggak paling mengerikan sepanjang sejarah manusia tercacat, fase putus asa. Kami melihat ada sisi yang memancarkan sebercak cahaya, mendekatinya, meraihnya. Ternyata cahaya itu berasal dari lubang yang menghubungkan duniaku dan dunianya. Mata kami bertumbuk. Hati kami memeluk.

Will smith menahan tangis. Matanya memerah saga. Aku meneteskan cairan obat mata di matanya. Sebagai alibi, kami sungkan menangis karena cerita film yang menohok kehidupan nyata kami. Will smith berhasil memperoleh pekerjaan setelah menggelandang, ditinggal istri, dan terpaksa bersikap kasar terhadap putra satu-satunya. Layar laptop menghitam. Matahari di luar sana tidak lagi terlihat. Rumput sastra membasah. Koridor meramai. Kami mendiam. Tusukan-tusukan di ulu hati dan rasa perih yang membeliung di dalam lambung membekukan lidah. Kami kelaparan. Harta terakhir malam tadi kami habiskan membeli sebotol minuman berkarbonasi dan sebungkus kecil rokok mild. Benda-benda itu adalah pelucut kebahagiaan yang semakin membara di tengah lingkaran kecil kami, sahabat kami, dan kekasihnya. Sore ini kelaparan tak tanggung-tanggung menjajah. Sempat terlintas di kepala untuk mencari sisa-sisa makanan di tong sampah. Niat diurungkan, kucing-kucing liar kampus pasti sudah mendahului kami.

Kami masih terdiam. Ia bersandar di tembok, membelakangi taman sastra. Aku turut di sampingnya. Kami taruhan sejauh mana rasa perih ini bisa tertahankan. Aku kalah. Aku mau pulang. Di rumah tentu ada makanan.

“Aku masih bisa bertahan sampai besok,”

“Aku akan menemanimu bertahan,” timpalku. Dia merangsak turun, tertidur pistol dengan mata yang tertutup sangat rapat.

“Tidak, kau harus pulang. Tiga puluh menit lagi aku juga kembali ke Sudiang. Mungkin di sana ada makanan,”

Mungkin berarti “bisa iya, bisa tidak”. Akan senang atau sedih. Cara menghadapi suatu kemungkinan adalah bersiap-siap untuk bersorak atau mati terbunuh. Dia terdiam. Jemarinya perlahan menyelip di sela-sela jemariku. Obat tetes mata sudah kumasukkan ke dalam tas. Namun matanya berair tiba-tiba. Beginilah rasanya jika tidak bisa memberi orang terkasihmu kebahagiaan. Tidak bisa memberinya kebutuhan pokok. Yang bisa kau lakukan untuknya hanya menemaninya. Di sampingnya. Mendengar ceritanya. Apapun itu, yang tanpa mengeluarkan uang. Dia menangisiku. Menangisi cerita kami. Di sela-sela kelaparan, kesakitan biologis paling fatal.

“Maafkan aku, aku membuatmu kelaparan,” katanya. Kuusap air matanya. Ya… suatu hari nanti dia akan menjadi ayah yang rela mati demi keluarganya. Suatu hari nanti dia akan menjadi panutan. Dan menjadi tokoh utama di setiap cerita rekaan anak-anak kami, yang mereka ceritakan di sela-sela jam belajar. Cerita yang memberikan mereka kekuatan untuk tetap bertahan demi menyambut datangnya kebahagiaan.

Maka, berbahagialah di tengah keperihan ini. Kita sedang berlatih untuk menyambut jutaan hari-hari sulit di waktu yang menjelang. Waktu yang sudah dekat. Waktu yang pasti akan kita habiskan dengan menjelajah seluruh daratan dan perairan planet ini berbekal tas ransel dan kantong yang tipis. Ini simulasi, comrade. Bertahanlah !

Monday 28 February 2011

Bulir Jeruk dan Celana Pendek

Kelas terjemahan. aku datang terlambat, duduk paling ujung di sudut kanan. Terpisah dari teman-teman sepermainan dan sekegilaan. Berbaur dengan teman lain yang lebih kalem dari kami. Biasanya kami tertawa bersama, menertawakan teman di barisan belakang, atau memaksa diri menertawakan lawakan dosen yang garing. Karena aku terlambat, moment itu hilang. Dan aku merasakan sendirian di sudut itu.
Kelas berlangsung kocak. Bukan karena dosen itu mengajar diselingi beberapa lelucon, tapi karena dia terlalu serius mengajar. Hingga kadang beliau salah memilih diksi. Kalimatnya ngacir, salah makna

“Di amerika, orang-orang mengukir badannya di hari halloween,” mengukir badan. Ya.. berdasarkan ceritanya, jika malam Halloween tiba, orang-orang ramai membeli pahat dan palu, duduk di teras rumah atau taman kota, berbaris membelakangi, dan memahat tubuh temannya. Mungkin demikian penjiwaan mereka terhadap malam Halloween yang seram. Seram tawwa memang… diukir badannya.

Come on… hahah.. kita sama-sama tau mereka tidak mengukir badan, tapi melukis badan agar terlihat seram. Di Indonesia, hantu ditakuti, dijamu dengan kemenyan, dikeramatkan tempat tinggalnya. Jika malam jumat atau malam satu suro, tidak ada yang berani keluar rumah. Orang-orang takut menjadi santapan setan. Di amerika, dalam kebudayaan barat, hantu justru dijadikan alasan untuk bersenang-senang. Orang-orang berdandan seperti hantu, menari dengan kostum itu, berpesta sebagai hantu. Hantu tidak lebih dari sekedar lelucon tahunan bagi mereka. Dan kita menganggapnya sebagai mimpi buruk setiap malam.

Kelas selesai setelah aku menertawai dosen itu habis-habisan hingga ke halaman gedung SIL. Di luar, aku bersama teman sepermainan sekegilaanku itu lagi. Kami bercanda sedikit. Aku kembali senang. Kembali ke dalam jiwa tawa yang paling dibutuhkan menjalani setiap semester perkuliahan. Belum lama, salah satu dari mereka beranjak. Disusul dua dari mereka, lalu semuanya.

“Mau kemana?” tanyaku

“Makan. Di jasbog, ayo mi..” jawab salah satu dari mereka. Aku gamang. Tiba-tiba merasakan sesuatu yang membuat hatiku perlahan mengerut.

“Kalian pergi saja. Aku tidak ada uang untuk makan di sana..” timpalku. Mereka berjalan makin menjauh. Aku tidak bergerak sedikitpun dari tempat kakiku memaku tegel. Serasa birbilah-bilah pisau terlontar dari punggung masing-masing mereka.

Aku menghindar, berlari ke arah teman-teman kalem. Berbaur. Menjadi gila sendiri di
antara mereka. Tapi aku tahu mereka menyayangiku. Kami berjalan bersama, menyusuri koridor. Satu dari mereka merangkulku hangat. Benar, kan mereka menyayangiku.
Di ujung koridor. Teman perangkul melepas rangkulannya dan menyeberang ke koridor lain. Aku terpaku lagi. Hati yang tadi mengerut, kini makin mengecil. Seseorang menatapku lekat dari jarak 5 meter. Kekasihku. Pernah lihat iklan minuman berbulir jeruk, jeruk itu kempes disedot bulirnya? Hatiku tadinya seperti itu. Tapi ada mengembalikan bulirnya, karena dia tahu aspek fisikal apalah artinya tanpa “something inside” yang membentuk manusia. Manusia yang dia cintai.

Kami melangkah bersama. Aku dibawa di atas kano setelah ditinggal yacht dan kapal pesiar. Kano kecil. Satu dayungnya. Bermilyar senyumnya. Kano kecil berlabuh di ruang kecil berisi bermacam kesibukan. Ada yang membaca Koran, mengerjakan tugas, tidur, nonton televisi yang menyiarkan gejolak di Mesir, ada yang membicarakan tema Perisai Cup tahun ini dan pengangguran yang mengganggu orang-orang sibuk itu.

“Aku mau pergi. Apa kau mau ikut? Atau kau ada hal lain yang mesti dilakukan?” tanyanya sebelum bergabung di dalam ruangan itu.

“Aku lapar,”

“Makan saja di kolong,”

“Sendirian?”kuucapkan kata ini lebih nyaring dari biasanya.

“Kenapa tidak?”

“Hmm… kau pergi saja. Aku lagi gatal. Pengen nulis,”
Dia pun beranjak. Sambil menyalakan sebatang rokok. Jejaknya dipenuhi asap bernikotin.

Sendirian. Berlarut-larut. Dalam cairan apapun. Kopi, teh, juz, berlarut hingga mabok. Semestinya aku terhuyung-huyung kini. Tanpa penglihatan yang mesti menabrak-nabrak tembok demi tembok koridor yang pasif. Tapi tidak. Kesendirian belum seganas itu. Aku masih sanggup membuatnya duduk bersila di sampingku. Menontonku bosan menulis.

Aku menulis apa yang tengah kalian baca ini. Sejenis sekelompok paragraph curhatan di atas lembar Microsoft word. Sebab bisa cerita sama siapa aku sekarang. Sudah seminggu. Malam itu, hujan berhenti sejenak. Seperti dompet yang berhenti terisi. Jadual mingguan menagih jatah dari ayah di rumahnya yang tidak jauh dari tempatku tinggal. Ya, kami tidak serumah lagi sejak tiga tahun lalu. Lebih sedikit mungkin. Legal-nya. Unlegal-nya sudah 6 tahun. Namun sebelumnya beliau masih menyempatkan diri bermalam di rumah dua sampai tiga kali seminggu. Dan ibu, menyempatkan diri keluar empat sampai lima kali seminggu. Aku, kalau bisa tidak usah pulang ke rumah. Kakakku, hanya pulang untuk urusan makan dan minta uang. Itulah kami dahulu dan sekarang.

Aku berangkat ke rumah ayah sengaja mengenakan celana pendek dengan alasan banjir, akan hujan, dan pakaian masih basah semua. Sampai di sana, kuletakkan tas punggung yang kubeli dua tahun lalu ini di atas kursi tamu seperti biasa. Lalu menghampirinya di ruang keluarga. Ayah sedang memeriksa berkas bisnisnya. Oh, bukan, dokumen mobil yang hendak dijualnya. Aku duduk di sampingnya, bersila sebagai posisi duduk kesukaan. Pahaku sedikit kelihatan, kiranya begitulah celana selutut jika kita sedang duduk. Ayah menatapku tajam. Ada apa?

“Celanamu… sekarang kau sudah berani rupanya,”

“Oo… ini. Banjir. Hemat pakaian,”

“Kamu bisa pakai celana panjang dan gunakan mantel hujan jika tidak ingin basah,”

“Mantelku kan hilang dua bulan lalu,”
Ayahku menahan kalimatnya. Dia menulis lagi. Kumainkan ponselnya, mencoba mentransfer pulsa ke nomorku.

“Kamu jangan pernah datang kemari dengan pakaian seperti itu dan jangan harap bisa dapat uang dari saya,”

Dia menahan kalimat untuk mengeluarkan jurusnya ini. Kujelaskan lagi, aku tidak bermaksud memamerkan diri. Aku tidak kemana-mana selain ke sini. Jika hujan, celana pendek ini saja yang basah. Bukan celana panjang yang kubutuhkan untuk kuliah besok. Ayah tetap dengan statementnya tadi, disemprot dengan intonasi lebih tinggi. Jelas aku tidak terima. Celana dan uang tidak ada hubungannya. Kecuali dalam perdagangan.

“Baiklah, aku tidak akan datang lagi,” ujarku. Aku berlalu. Menenteng tas dan tidak kembali lagi sampai hari ini.

Aku kembali ke rumah dalam amarah besar. Ayahku memang sangat keras dengan islamnya. Selama ini, bisa dikata jilbab tidak pernah lepas dari kepalaku. Namun belakangan ini, setelah melewati rentetan pengalaman pahit yang tidak diketahui ayah, aku merasa kurang pantas lagi memuja-muja kerudung. Kadang kulepas, kadang tidak. Jika siang kugunakan, jika malam kulepas. Ada rasa sakit berkepanjangan, menusuk hingga ke persendian jika mengenakan jilbab.

Ah, ayahku. Kau terlalu naïf. Anakmu ini tahu apa yang dilakukannya. Anakmu ini sudah dewasa, segala dosa kutanggung sendiri. Kewajibanmu sebatas memperingati, selebihnya tanganmu tak berhak lagi menyentuhku. Aku pun tidak mau mencintai agamaku disebab aku takut tidak memperoleh pasokan dana hidup lagi darimu. Jika begitu, artinya aku tidak mencintai agamaku, tapi mencintai uang. Maka semua nasehatmu kuturuti karena uang. Agama dan uang tidak pernah berteman. Tidak dikirim sepaket. Tidak pula kuterima sekantong.

Aku cukup tersiksa tanpa donasimu, ayah. Beberapa tahun belakangan ini, sejak aku kuliah, kuusahakan memenuhi kebutuhan materiku sendiri dengan cara yang paling kuhapal, menulis. Menulis apa saja yang bisa memberiku uang. Meskipun rasanya menginjak-injak ideology sendiri.

Mungkin di sinilah portalnya. Tempatku melangkah tanpa digandeng tanganmu lagi. Jika aku bisa bertahan bertahun-tahun dalam kesendirian rasa kopi tanpa gula, kenapa tidak bisa kulanjutkan dalam decimal puluhan tahun. Aku sudah dewasa. Ancaman tak lagi ampuh bagiku.

Ayah, kau laki-laki yang paling kucintai. Kau juara satu. Kau yang paling berharga. Tapi kau juga yang paling tidak memahamiku. Kau letakkan semua mimpimu yang tertunda semasa muda di atas pundakku. Seperti ibu. Kalian berbagi pundakku untuk ditekan, diinjak, dipukul. Bagianku hanya otot senyum di wajah. Yang hanya bisa direkahkan oleh teman-teman dan kekasih. Sementara Tuhan ada di dadaku. Kupahami dia dengan caraku sendiri. Kusayangi dengan pelukanku yang tak kasat mata. Dan kupuji-puji gegap dalam hati.

Ayah, agama dan uang tidak pernah berteman.
Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger