Tuesday 8 March 2011

Simulasi

Rasanya, darah sastra membludak bercampur bersama hemoglobin dan sel darah putih di urat-urat tubuhku. Aku berjalan lambat, disaksikan gedung-gedung tua yang sisi-sisinya dicat merah. Beberapa sisi ada yang dicat berkali-kali untuk menutupi mahakarya seniman kampus. Mereka menuliskan segala kata dan caci yang tidak sempat mereka sampaikan dengan bengis kepada yang terhormat bapak wakil dekan, bapak dekan, atau bapak rector. Aku berjalan pusing. Berharap dia masih di sana, tersenyum menantiku kembali. Seperti aku tersenyum menantinya datang setelah mencoba berbagai cara, membujuk, meminta tolong, atau berniat jalan kaki sejauh dua puluh kilometer hanya untuk memandang wajah kekelahanku sehabis mempelajari ilmu kemanusiaan dan sosialnya yang rancu.

Kuketuk pintu tiga kali, mengucapkan salam yang hanya ia simak. Tak pernah dibalas. Dia menyalakan laptop, aku membuka kaos kaki. Menggulung. Memasukkannya ke dalam kantong sisi tasku yang hampir kujadikan tempat sampah gantung. The pursuit of happiness. Will smith, actor Afrika-Amerika yang telah memenangkan banyak Oscar dan penghargaan acting sejenis mendapatkan kesempatan paling langka; menemani sore kami, di dalam ruang persegi panjang dihias gantungan celana, pakaian, dan kertas-kertas ukm menulis. Sepaket dengan wangi fragrance yang menyembur dari celana-celana basah dan handuk lembab di jendela. The pursuit of happiness because happiness comes after trying hard.

Kebahagiaan, satu-satunya hal yang paling ditunggu setiap manusia. Siapapun mereka. Terbentuk dari daging atau nanah. Dari air atau api. Semua mencari kebahagiaan, semua mengejar kebahagiaan. The pursuit of happiness. Film yang mengajarkan kita untuk berjuang, sebab di dalam keputusasaan sekalipun, selalu ada kekuatan. Tiga bulanku. Tiga bulannya. Tiga bulan lalu. Kami berdua berada dalam tonggak paling mengerikan sepanjang sejarah manusia tercacat, fase putus asa. Kami melihat ada sisi yang memancarkan sebercak cahaya, mendekatinya, meraihnya. Ternyata cahaya itu berasal dari lubang yang menghubungkan duniaku dan dunianya. Mata kami bertumbuk. Hati kami memeluk.

Will smith menahan tangis. Matanya memerah saga. Aku meneteskan cairan obat mata di matanya. Sebagai alibi, kami sungkan menangis karena cerita film yang menohok kehidupan nyata kami. Will smith berhasil memperoleh pekerjaan setelah menggelandang, ditinggal istri, dan terpaksa bersikap kasar terhadap putra satu-satunya. Layar laptop menghitam. Matahari di luar sana tidak lagi terlihat. Rumput sastra membasah. Koridor meramai. Kami mendiam. Tusukan-tusukan di ulu hati dan rasa perih yang membeliung di dalam lambung membekukan lidah. Kami kelaparan. Harta terakhir malam tadi kami habiskan membeli sebotol minuman berkarbonasi dan sebungkus kecil rokok mild. Benda-benda itu adalah pelucut kebahagiaan yang semakin membara di tengah lingkaran kecil kami, sahabat kami, dan kekasihnya. Sore ini kelaparan tak tanggung-tanggung menjajah. Sempat terlintas di kepala untuk mencari sisa-sisa makanan di tong sampah. Niat diurungkan, kucing-kucing liar kampus pasti sudah mendahului kami.

Kami masih terdiam. Ia bersandar di tembok, membelakangi taman sastra. Aku turut di sampingnya. Kami taruhan sejauh mana rasa perih ini bisa tertahankan. Aku kalah. Aku mau pulang. Di rumah tentu ada makanan.

“Aku masih bisa bertahan sampai besok,”

“Aku akan menemanimu bertahan,” timpalku. Dia merangsak turun, tertidur pistol dengan mata yang tertutup sangat rapat.

“Tidak, kau harus pulang. Tiga puluh menit lagi aku juga kembali ke Sudiang. Mungkin di sana ada makanan,”

Mungkin berarti “bisa iya, bisa tidak”. Akan senang atau sedih. Cara menghadapi suatu kemungkinan adalah bersiap-siap untuk bersorak atau mati terbunuh. Dia terdiam. Jemarinya perlahan menyelip di sela-sela jemariku. Obat tetes mata sudah kumasukkan ke dalam tas. Namun matanya berair tiba-tiba. Beginilah rasanya jika tidak bisa memberi orang terkasihmu kebahagiaan. Tidak bisa memberinya kebutuhan pokok. Yang bisa kau lakukan untuknya hanya menemaninya. Di sampingnya. Mendengar ceritanya. Apapun itu, yang tanpa mengeluarkan uang. Dia menangisiku. Menangisi cerita kami. Di sela-sela kelaparan, kesakitan biologis paling fatal.

“Maafkan aku, aku membuatmu kelaparan,” katanya. Kuusap air matanya. Ya… suatu hari nanti dia akan menjadi ayah yang rela mati demi keluarganya. Suatu hari nanti dia akan menjadi panutan. Dan menjadi tokoh utama di setiap cerita rekaan anak-anak kami, yang mereka ceritakan di sela-sela jam belajar. Cerita yang memberikan mereka kekuatan untuk tetap bertahan demi menyambut datangnya kebahagiaan.

Maka, berbahagialah di tengah keperihan ini. Kita sedang berlatih untuk menyambut jutaan hari-hari sulit di waktu yang menjelang. Waktu yang sudah dekat. Waktu yang pasti akan kita habiskan dengan menjelajah seluruh daratan dan perairan planet ini berbekal tas ransel dan kantong yang tipis. Ini simulasi, comrade. Bertahanlah !

2 komentar:

UmmY

sup buah ^_^

Monyet Liar

~_^

mengais remah-remah roti di tong sampah lebih buruk dari mencuri mie instan dan bir dingin di supermarket di BTP..

ayo semangat!!

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger