Monday 22 August 2011

#3 TERAS

Teras Dua Piatu

Dari matanya, seringkali terjatuh nanah di sela jam belajar. Tangisan asing berubah pekat. Tangis, jadi darah. Darah jadi nanah. Bertahun-tahun ia menahan tangis tak jatuh, maka jadilah nanah. Jatuhan satu itu tak pernah niat kutahan. Suatu kali, kutuliskan sepotong sajak untuknya. Nanah itu jatuh lagi. Namun ia ketagihan. Katanya, nanah itu bengkak. Tegakah kau lihat aku berbengkak mata setiap berangkat sekolah?

Karena sarapan puisiku, aku diajak ke rumahnya. Aku dijamu di teras, dengan teh hangat dan kue kering buatannya sendiri. Namun Arfina tak pernah bisa bercengkarama cukup lama denganku. Paling banter sepuluh menit, selebihnya ia akan sibuk di dapur atau kamar ruang cuci. Ia piatu. Dipiara sanak keluarga seolah anak sendiri. Bagiku ia pesuruh.

Aku pernah membayangkan, ditinggal mati ibu, kemudian ayah menikah lagi. Aku dan adikku dipindahrumahkan ke rumah kakak ibu, dipiara tuk jadi pesuruh, disekolahkan namun ia tak pernah marah jika aku membolos. Semua ini kemudian membuatku memutuskan mimpi tak harus dikejar.

Wanita ini punya dua hati. Kanan dan kiri. Yang kiri ia serahkan pada kerabat itu, rela. Yang kanan ia pelihara sendiri untuk hidupnya kelak. Aku belajar membuat kue kering dan masakan rumah di teras Arfina. Dibantu adiknya. Anak kecil yang belajar menguras air mata agar tak jadi nanah. Kata Arfina, kau hadapi hari esok bersenjatakan kesedihan, sebab aku tahu, hatimu ada tiga. Yang satu, kau simpan untuk ibu.

Teras ini senantiasa berderis miris. Demikianlah derik tirisanku. Seperti bisik kecil penggigit deru kehidupan.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger