Monday 22 August 2011

#1 TERAS

Kalo Puthut Ea dalam “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” punya rumah di setiap kota, saya punya banyak Teras di seantero Kota Daeng ini, kawan.

Inilah sebatu menhir persegi. Tertera huruf-huruf tercipta dari malam bertangis dan renyah sore pemilik teras. Huruf-huruf tanda terima kasih.

Teras Berpasir
Butuh waktu kurang lebih 45 menit untuk mencapainya. Teras itu jauh di sebelah barat Makassar. Tepatnya di Tanjung Bayang. Adalah seorang gadis pesisir manis pemiliknya. Tulang badannya besar dan lebar. Dari belakang mirip seorang kuli bangunan. Rambut panjangnya menepis dugaan itu. Hasra Ramadhana. Dulu, saat masih di MAN Model, kami sekelas. Juga satu angkatan di ambalan Mujahid. Aku, dia, dan Heny berteman amat karib. Kami berbagi segala sesuatunya bersama. Kalau tak ada kerjaan, aku dan Heni berpelesir ke sana. Tak perlu mengeluarkan dana selain uang bensin dan jajanan di kios pinggir jalan.

“Mau ke rumah Dg. Rukka” ini password jika hendak melewati pos masuk tanjung jalur gratis. Di pertigaan setelah pos, belok kanan, ikuti jalan setapak, teras itu berdiri bersahaja di sisi kiri. Sederhana menapak pasir hitam pantai
Aku dan Heni senantiasa dijamu segelas teh gelas atau racikan sirup DHT dan beberapa cemilan dari warung keluarganya. Tak lupa pelukan hangat dari ibunya dan perhatian ayahnya. Lalu kami bercengkrama seolah aku ini anak yang dua jaman tak pulang.

Hasra punya balai-balai yang diperuntukkan untuk wisatawan tanjung. Bagi kami, gratis plus cemilan lagi. Kami bertiga sering menikmati sunset di sana. Sambil berbagi cerita paling masuk akal, sampai yang tabu jika mungkin diperdengarkan.
Biasanya… sehabis tendang-menendang kaki semalaman, kami bangun pagi-pagi betul, mendirikan shalat lalu ngacir, nyeker menelusuri pantai sampai ke muara sungai Je’neberang di sebelah selatan.

Berbulan-bulan ini, kami bertiga digerus kesibukan masing-masing. Heni dengan kuliah, kerja dan percintaannya. Hasra dengan bisnis mlm dan jaga di Mall GTC, aku oleh kesibukan sebagai mahasiswa, penggaul, petualang, dan penggiat sastra, seni, dan budaya. Praktis tak ada waktu lagi untuk memanasi dipan bamboo buatan ayahnya.
Terasku ini, selalu sederhana dan penyubur kenangan taburan hati.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger