Wednesday 26 October 2011

Senyum Saman


Bagaimanakah rupa permukaan di luar gedung besar ini? Benarkah gedung ini besar? Untuk sementara, jawabannya iya. Tapi untuk selamanya, mungkin aku tidak akan pernah membuktikannya. Luas jangkauku hanya sepanjang telinga bisa mendengar suara-suara sekitar tanpa tahu apa sumbernya. Aku familiar dengan berbagai macam rupa tangis, keluh-kesah, teriakan, dan senandung tidak harmonis. Ruang langkahku bergantung pada kecerdasan kulitku. Apakah ia bisa meraba permukaan dengan baik lalu benarkah tebakanku tentang reliefnya. Sejauh ini aku hapal kerasnya tembok dan lembutnya bulu kucing yang selalu menggelayut minta makan di kakiku. Kadang aku sangat bahagia melintas di depan dapur panti oleh bau-bau nikmat dari dalam. Berbeda setiap hari, siapapun koki di dalam sana aku ingin menciumnya. Dan setelah itu mungkin aku akan mencintainya.

“Aku membutuhkan aliran bergetar hebat itu, Man! Yang tidak akan pernah aku lupakan,” baru kali ini Saman terdiam mendengar ceritaku. Biasanya ia akan balik bercerita dengan mulut yang lebih besar.

“Percayalah, kawan. Cinta tidak sebaik kedengarannya. Ia benar-benar parah untuk mata,”

“Hahahaha...jangan menjatuhkan semangat begitulah. Kau kan sahabatku,”

Penyebab orang-orang masuk ke panti ini beragam, mungkin seperti rupa warna dalam program editing foto kegemaran Saman. Ada yang karena kecelakaan, bawaan lahir, penyakit, atau disengaja. Saman termasuk dalam golongan orang yang cacat karena kecelakaan. Ia lumpuh saat menyelamatkan seorang wanita dari lindasan truk sampah. Wanita itu memiliki sebagian hatinya, mungkin. Tapi ia tidak pernah tahu sampai detik ini. Saman bangga atas keberaniannya itu. Aku tahu dari nada bicaranya yang selalu sombong padaku, setiap kali kami bercerita tentang kekurangan kami. Dan dari sedetik setelah rasa sombongnya habis, kutemukan nada raksasa kecewa mengekori.
----

Pada akhirnya di sinilah aku berakhir, dari yang memiliki segalanya sampai hanya punya angka nol dan pita suara yang tidak berfungsi. Mungkin aku kebanyakan menggombal, keseringan menipu, dan memfitnah orang sampai tiba-tiba aku terbangun di suatu pagi tanpa biasa bersuara sedikitpun. Menjadi bisu setelah dua puluh tahun sebagai perempuan bersuara merdu. Ujung-ujungnya aku di panti ini untuk melihat, mendengar, meraba, dan mencium sesuatu tanpa bisa berkomentar. Dan bagaimanapun aku harus mencintai tempat ini. Karena kadang kala di rumah orang lain, kita bisa merasa lebih baik.

Menyedihkan. Penghuni panti ini layaknya siswa-siswi pecundang di sekolah menengah atas yang tidak sanggup menghadapi kejamnya proses inisiasi macam ospek. Mereka orang yang dikutuk masyarakat yang tidak sanggup percayai masa depan. Mereka adalah mahasiswa teknik yang penemuannya dianggap gagal maka harus meninggalkan kampus dengan rentetan air mata yang tumpah sampai ke mata kaki. Mereka merasa sampah. Kini aku bagian dari mereka. Aku sampah. Lebih busuk baunya.

Bukk!

seseorang menabrakku dari belakang, “Maaf,” katanya kemudian. Aku mau marah, tapi bagaimana caranya. Kupelototi dia, agaknya sia-sia. Ia tidak bisa melihatku.


.......baca lanjutannya di kumpulan cerpen 'Satira (Perempuan dan Pena Takdir)'

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger