***
Laki-laki itu duduk di sudut kafe. Matanya sendu. Dua gelas kopi dan segelas juz hampir tandas berbaris di depannya. Lagu pop uring-uringan terdengar samar, bergantian dengan deru kendaraan, bunyi blender menghancurkan batu es, dan gosipan dua pelayan kafe. Wina menghampiri lelaki itu, dalam senyum pura-pura yang biasa. Si lelaki menatapnya,
Dari mana saja kau? Aku menunggumu sejak sejam tadi. Katanya sebentar saja. Kau tahu ada berapa bulan kita menantikan pertemuan ini dan kau kehilangan jiwamu sebagian. Kau yang meminta kita bertemu, kau yang membuatnya jadi membosankan sekarang!
“Duduklah,” kata Jaura lemah. “Tak perlu minta maaf,”
Wina menjaga jarak duduknya. Ia menggeser tubuh barang sejengkal. Bisik-bisik samar ia dengar dari dapur kafe. Kafe itu dibagi dua, bagian dalam ada empat meja privat yang membatasi ruang gerak pengunjung satu dan lainnya. Mirip-mirip booth dalam warnet. Bagian satu seperti ruang kafe kebanyakan, terbuka. Jaura dan Wina tak mungkin duduk di ruang pertama. Walau dibuat menguntungkan privatisasi pengunjungnya, para pelayan kafe di meja dapur dapat mengamati setiap pengunjungnya dengan saksama.
Meja tepat di samping Wina dan Jaura, duduk sepasang kekasih mahasiswa. Usia mereka palingan terpaut satu tahun. Mereka mesra dengan laptop masing-masing. Meja depan diisi tiga lelaki paruh baya, mendebati poin-poin kontrak di atas secarik kertas putih. Meja satunya kosong. Kosong sampai Wina dan Jaura meninggalkan kafe itu.
Tak banyak percakapan yang terjadi dalam setiap pertemuan Wina dan Jaura. Mereka senang diam-diaman. Sesekali Jaura mencubiti Wina. Wina kegelian sewajarnya. Ia menyembunyikan banyak ingin terhadap laki-laki itu.
Asap rokok memenuhi booth Wina dan Jaura. Dua batang rokok terakhir. Wina menahan-nahan cakapnya. Sebulan lebih tak bertemu, memberinya banyak waktu melewatkan malam-malam sendirian. Jaura tentu tak kenal rasa sepi lagi. Satu hal yang membuatnya iri pada laki-laki itu.
“Belakangan ini aku pusing, Qin. Pekerjaanku menumpuk. Ide-ideku kusut. Ada masukan darimu?” Jaura menggenggam tangan Wina. Erat. Tangan mereka saja yang berpelukan.
Wina menyukai jenis pelukan ini. Genggaman mererat. “Kakak terbiasa dengan keruwetan itu. Istirahat. Barangkali itu yang tak kakak ingat,” timpal Wina. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam. Tangan itu semakin hangat.
Tiga lelaki paruh baya di meja depan memerhatikan mereka. bapak kumis sesekali dipergok Wina sedang mengamati mereka berdua. Jaura melepas genggaman tangannya.
“Akupun merasakan itu. Kesehatanku lagi butuh perhatian,”
Jaura memeluk Wina. Dalam kepalanya.
Wina bersandar di bahu Jaura. Di mimpinya tadi malam.
0 komentar:
Post a Comment