Tuesday, 31 January 2012

Sepotong Cerita yang Pasti (tidak) Penting

Ini cerita saya. Sebuah pengakuan. Refleksi hidup. Bisikan kalbu. Atau, apalah kalian mau bilang. Dalam paragraf-paragraf selanjutnya, saya akan bercerita panjang, bahkan tidak penting bagi cakrawala berpikir kalian. Barangkali.

Saya baru berusia 21 tahun 2 bulan. Akan terdengar cukup muda memikul gelar sarjana. Saya keseringan menyebut diri seorang gelandangan. Saya memilih jalan hidup ini. Saya lahir 18 November 1990, hari minggu, pukul 6.30 pagi, pas matahari menyapa hari manusia zaman itu. Saya bungsu dari tiga bersaudara, bahkan dari sepuluh bersaudara. Ibu saya tiga, ayah saya dua. Sepuluh bersaudara itu lahir atas suntikan satu benih, dari seorang ayah mahapikir yang kini menghabiskan waktunya memerangi diabetes dan katarak.

Ibu pertama saya, meninggal setelah melahirkan anak tunggalnya, yang baru meninggal dua minggu lalu. Kakak saya meninggalkan seorang istri dan enam anak yang masih kecil-kecil. Ibu kedua saya punya 6 orang anak. Masing-masing mereka telah menikah dan hidup mapan. Masing-masing mereka sedang melakukan pekerjaan terbaik untuk apa saja yang mereka yakini. Masing-masing mereka tak begitu memedulikan nasib keenam keponakan saya yang yatim itu.

Ibu ketiga, ibu kandung saya. Ibu yang paling cantik sedunia. Bukan karena dia yang melahirkan saya, saya bilang dia tercantik sebagai sanjungan. Ini kenyataan. Ibu saya mirip artis-artis Indonesia tahun 70-an. Rambutnya panjang bergelombang, hidungnya mancung, bibir tipis yang mewah dioles lipstik, matanya tajam menyayat perasaan, dan yang terbaik darinya, dia pernah mencoba mencintai ayah saya.

Saya menyarankan anda membaca Siti Nurbaya sebelum bertanya, mengapa ayah dan ibu saya bertemu. Sudahlah jelas jawabannya. Ibu saya dulu mengharapkan laki-laki lain. Ayah saya mendambakan istri belia cantik yang cerdas.

Masa kecil saya tidak bahagia. Akhirnya saya mengakui ini, setelah 21 tahun. Di masa kecil, saya sering bertanya, kenapa ayah dan ibu tidak pernah sarapan pagi di satu meja yang sama. Kenapa ayah tidak di rumah setiap malam. Kenapa saya dicibir ketika bertemu dengan enam orang, yang kata ayah adalah kakak-kakak saya. Kakak kandung saya, satu-satunya yang masih hidup, sebentar saja di sekitar saya. Di usia sekolah dasar, ia disekolahkan di pesantren sampai lulus Aliyah.
Waktu kecil dulu, ibu dan ayah tidak tahu saya pernah terjun bebas ke dalam selokan berair pekat sampai muntah-muntah. Mereka tidak tahu saya pernah diintip makhluk gaib setinggi 30 kaki dari jendela kamar. Dan mereka baru mempertanyakan kurangnya kemampuan pendengaran saya di usia Tsanawiyah. Waktu itu saya menjawab takut-takut, salah seorang dari enam kakak pernah menendang telinga saya, saat di sekolah dasar.

Dari kecil saya dididik untuk menjadi juara dalam hal apa saja. Saya menikmatinya, sampai suatu hari saya dikumpulkan dalam kelas berisi orang-orang rangking dan haus prestasi. Saya akhirnya menyadari, manusia diciptakan untuk berbagi, bukan untuk menjadi penguasa atas manusia lain. Manusia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Adapun jabatan dalam konstruksi kehidupan modern hanyalah simbol.

Saya mengatur strategi agar keluar dari kelas menyesakkan itu. Saya berhasil, walau di Aliyah saya dijaring dalam kelas serupa. Saya kembali ditekan keharusan mendapatkan posisi tinggi di kelas. Saya merasa berbeda. Saya bukan diktator.

Pemikiran-pemikiran saya, yang kata sebagian guru saya tidak pantas berada di kepala seorang siswi menjadikan saya oknum yang dimusuhi hampir setiap orang di sekolah, dengan alasan harga mati perbedaan saya.

Walau begitu, saya tetap mempertahankan apa yang saya yakini. Di tengah kemelut keluarga saya, yang seperti benang woll kusut itu, saya bertahan. Saya melakukan hal-hal yangs saya sukai. Saya menulis, membaca, bemain musik, melukisa, dan menghabiskan malam di bawah cahaya bintang, di atap rumah. Saat saya mencoba sebuah eksperimen, yang nyaris membakar dua rumah di sebuah gang sempit, tetangga sayapun memusuhi saya. Saya bengal. Saya gila.

Masa Aliyah banyak saya habiskan berbicara dengan pantulan diri dalam cermin di kamar. Sakit dan sehat saya lewati dalam kepungan tembok kamar. Satu alasan saya, perbedaan yang tak berterima.
Saya senang merancang busana untuk boneka barbie. Saya senang membuat maket bangunan rumah tinggal, mengumpulkan poster musisi kesenangan di kamar, mengoleksi pernak-pernik skater, sampai memperbaiki radio tua penginggalan kakek. Saya dulu senang sekali jika nenek datang, ia akan menceritakan pau-pau toriolo belum ia tertidur dalam posisi duduk. Dan saya masing melek, penasaran dengan lanjutan ceritanya.

Saya kecil dilarang ayah membaca majalah bobo. Katanya, majalah itu walau sarat ilmu pengetahuan namun rentan menjadikan saya islam sekuler, bahkan tak mungkin menjadi kafir. Saya tidak menerima alasan itu. Diam-diam saya mengumpulkan uang membeli majalah anak itu di agan majalah pinggir jalan, pukul dua setiap kamis. Saya menyembunyikannya dalam kamar. Suatu hari, saya diberi kejutan. Nenek datang ke rumah, menumpangi mobil pick-up penuh majalah bobo dan donal bebek. Begitu senangnya, saya nyaris kehilangan satu lubang hidung karena membuka bungkusan majalah dengan alat pembuka tutup botol dengan paksa. Darah di mana-mana. Di baju, di celana, di lantai. Darah pengetahuan, itu saja pikir saya. Sepulang dokter, saya membaca majalah-majalah itu semalaman. Mungkin itu begadang pertama saya.

Pasca perceraian orang tua saya, saya memberanikan diri keluar kamar. Saya harus mencari kawan sejenis, pikir saya waktu itu. Sayapun mencari teman sebaya, minta diajak ke mana saja ia pergi. Saya dibawa nongkrong di tepi kanal, di ujung lorong, di rental PS, dekat preman pesta minuman, sampai saya menyaksikan teman saya pergi dengan laki-laki berbeda setiap malam. Persis ibu.
Di perkuliahan, saya dihadapkan pada realita yang tak jauh berbeda. Saya harus meninggalkan teman-teman jalanan saya, sebab kata ayah, saya harus jadi sarjana. Teman jalanan saya tidak mengenal sekolah formal. Merekapun mendukung saya kuliah. Di perkuliahan, lagi, saya kehilangan teman sepemikiran. Saya kembali terasing. Masalah tak sebatas ini, perceraian orang tua saya berbuntut panjang. Kami yang dari kelas menengah ke atas, terjungkal dua kelas ke bawah. Ibu luntang-lantung. Ia yang tak sempat berijazah SMA, mau tidak mau hanya menghabiskan harta gono-gini. Kakak kembali dari pesantrennya dan berubah jadi laki-laki hedon luar biasa. Saya mencoba berpikiran jernih, sambil kuliah saya harus bekerja.

Bermodalkan ijazah SMA dan pengamatan urban culture, saya melamar di sebuah distro. Saya diterima, beserta seorang sahabat yang masih setia meminjamkan bahunya hingga kini. Belum dua minggu bekerja, saya dipercaya menangani management perusahaan itu sendirian. Jam begadang saya bertambah, saya belum bisa meninggalkan kantor jika pembukuan hari itu belum selesai. Yah, ternyata saya merangkap akuntan. Pekerjaan itu tak bertahan lama. Sebab di saat yang bersamaan, saya harus memperoleh IP baik di semester awal. Sayapun mengorbankan organisasi jurusan di kampus, yang sampai kini jika bisa, saya ingin mengulangnya.

Dua tahun perkuliahan saya habiskan meraup benci dari teman-teman seangkatan. Alasannya saya lebih peduli dengan kampus orang ketimbang kampus sendiri. Faktanya, saya banyak bergaul, mencari ilmu baru di kampus orang dari jurusan-jurusan yang berbeda. Lainnya, saya sibuk mencari uang untuk membantu ibu.

Setelah ibu menikah, saya sedikit lega. Perkuliahan saya membaik. Sayapun melebarkan sayap, berteman dengan yang katanya ‘orang-orang kiri’ di kampus. Ternyata mereka teman sejenis saya, sepemikiran, sekegilaan. Teman-teman yang dianggap sampah oleh teman-teman lainnya. Kini, saya banyak bergaul dengan mereka. Di sisi lain, saya dicemooh karena semakin berbeda. Jalan hidup saya, dikutuk teman-teman sekelas. Saya tidak peduli. Saya punya cara berbagi dengan sesama, tanpa mengenal kelas dan isi kantong.

Saya besar dalam didikan islam yang keras. Ayah saya seorang imam. Dia yang mengajarkan saya memakai jilbab dan bertutur sopan. Akan tetapi, saya ingin menemukan diri sebagi islam yang ikhlas, tanpa embel-embel keturunan. Tampilan saya kini, dari yang dulunya berjilbab, terlihat urakan, cuek, dan apa adanya. Bagi saya, tak masalah orang menilah fisikal saya bangsat. Toh, suatu hari nanti mereka akan mengingat hal-hal baik tak terduga yang pernah saya lakukan sebagai seorang bangsat. Ketimbang saya muncul sebagai malaikat, ketika berbuat satu kesalahan dikutuk sampai mati.

Kawan, saya takkan marah mendengar semua cemooh orang-orang atas ‘kebatuan’ saya. Ini diri saya. Saya punya persepsi sendiri dalam memunculkan karakter dan pelajaran hidup yang saya lewati selama ini. Hidup adalah pilihan. Pilihan saya tidak menjadi orang lain.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger