Friday 3 February 2012

Gadis Kecil yang Mengenakan Rok Selutut dan Setiup Angin Bangsat

Satu-satu. Satu per-satu awan comulonimbus ambil tempat di langit. Mereka bersatu, saling berpegangan tangan. Tak ada jarak barang satu senti di antara mereka. Awan-awan itu berbagi muatan. Setelah aba-aba dari awan paling hitam dan tebal, mereka serempak manjatuhkan muatan masing-masing. Jemuran Ibu Fatiyah basah di atas bumi. Gadis kecil yang mengenakan rok selutut itu lari masuk ke teras rumah, meninggalkan gambar dende’ bulang dari batu merah di atas jalanan aspal.

Ibu Fatiyah tergopoh-gopoh dari dalam rumah, merenggut puluhan jemuran dari tempatnya menggantung. Wina berdiri, kakinya bermain-main genangan air. Roknya diterbang-terbangkan angin kencang. Jarak Wina terpisah sepuluh meter dari ibunya. Wina berdiri di bawah atap teras yang menjorok keluar. Hujan mengenai tubuhnya dalam percikan-percikan kecil.

Seorang tetangga melakukan hal yang sama dengan Ibu Fati di halaman rumahnya sendiri. Ia memandang kesal pada Wina.

“Kau biarkan saja anak gadismu bermain seperti itu, padahal kau membutuhkan bantuan!” serunya pada Ibu Fati.
“Tidak apa-apa bu’. Saya senang lihat dia bermain angin,”
“Eeeh...dikasih tau. Kalau anakmu masuk angin bagaimana?”
“Sekali-kali angin penting bagi manusia, sakit karena angin juga penting, bu’!” Ibu Fati mengambil jemuran terakhir, selimut cokelat kesayangan Wina. Ia segera masuk rumah, meninggalkan tetangga yang geleng-geleng kepala.

“Selesai main angin, segera masuk ya!” seru Ibu Fati kepada Wina. Wina kecil berseru mengiyakan. “Maaa....anginnya hebat!”
Wajah ibu Fati nongol di jendela ruang tamu,
“Hebat bagaimana, win?”
“Tadi Wina dibuat kegelian!”

Sepasukan comulonimbus datang dari barat. Mereka datang karena mengikuti ajakan setiup angin.
“Aku memanggil kalian ke sini karena anak itu!” seru angin kepada pimpinan pasukan comulonimbus dari barat.
“Dia lucu, senyumnya manis,”
“Bukan parasnya, perhatikan gerak-geriknya. Aku telah bertiup dengan kecepatan terbaikku, tapi ia sama sekali tidak takut,”
“Seorang anak takkan pernah merasa takut jika bersama ibunya,”
“Ah, bantu aku membuatnya takut. Kau bisa membuat ibunya takut, lalu ibunya akan membawa anak kecil itu masuk kamar!”

Pasukan comulonimbus barat menyatu bersama comulonimbus lainnya. Langit semakin kelam. Angin bertiup semakin kencang mengombang-ambing pohon ketapang di halaman rumah ibu Fati. Sekali kilat menyambar di horizon barat. Wina bertepuk tangan. Ibu Fati segera merenggut Wina masuk kamar.

“Langit marah padamu, sayang!”
“Tidak ibu, mereka mau main-main sama Wina,”
“Jangan lagi bermain jika angin sudah sekencang itu, nak. Tidurlah, sudah pukul 2 siang,”
“Memangnya kenapa kalau angin kencang?”
“Ibu tidak tahu. Tuhan paling tahu,”

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Arsip

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger