Aku masih padanya. Masih yang paling tulus.
Aku menerima alasannya menjauhi dari tanah kekuasaanku, dari rok selututku, dari malam-malamku. Aku berhasil membiasakan diri menerima angin buatan kipas angin.
Aku kira ia tidak ada lagi.
Ternyata, ia pamit sejenak untuk kembali dengan tiupan ringan namun konstan.
Angin yang perfeksionis, misterius, dan romantis.
Selamat datang kembali, jangan seka air mataku…
Kembalinya Angin
0 komentar:
Post a Comment