Friday 24 February 2012

Seni Kata Tuhan

Totality or die. Saya tak pernah main-main saat menyebutkan kalimat itu. Kebanyakan temanku tertawa mendengarnya. Katanya, sama saja kalau kau bilang, “Aku bisa hidup sendirian,” kalimat itu tak bisa dilakukan semudah dikatakannya. Saya bilang, “Kau tahu, saya tak suka bermain-main soal seni dan sastra,”

Mei 2011, saya sering menghabiskan waktu di UKM seni fakultas saya. UKM ini mengaji seni, sastra, dan teater. Setelah vakum cukup lama di perteateran, teman-teman UKM Kosaster memutuskan untuk ikut serta dalam FTMI 7, sebuah ajang kompetisi pertunjukan teater antar pekerja seni kampus. Saat itu digelar se-Sulsel dan Sulbar.


Dalam mencari anggota baru, Kosaster terbilang unik. Belajar dari pengalaman prosesi penerimaan anggota baru yang telah mereka laksanakan tiap tahunnya, hanya sedikit yang menciptakan PSK loyal bagi UKM tersebut. Banyak di antara alumninya yang hanya cari nama, kasarnya biar dibilang aktif di kampus, jadi mereka mendaftar di UKM itu. Alhasil, di tengah kepengurusan, mereka hilang satu persatu. Tinggallah beberapa teman seangkatan saya mengurusi UKM tersebut. Kebanyakan dari mereka tak begitu tertarik dalam penyutradaraan teater. Waktu itu teman-teman tahu saya pernah mendeklamasikan puisi, bermain dan menyutradarai drama sekolah, dan telah membuat beberapa film pendek. Riwayat ini memang tak sering saya ceritakan kepada orang. Malam itu mereka menjadikan saya sebagai anggota Kosaster. Tanpa melewati prosesi.

Waktu itu saya cuma sahabat Kosaster. Saya menghabiskan waktu di sekret Kosaster sekedar merokok dan curhat kalau galau. Jujur saja, saat masih menjadi mahasiswa baru saya sangat tertarik dengan Kosaster, namun saya terbelit masalah ekonomi keluarga hingga harus mengurungkan niat untuk berkesenian di kampus. Dari situ, teman saya, kepala suku Kosaster meminta saya menjadi sutradara untuk FTMI7.

Saya kaget, gemetaran, takut, dan aneka jenis perasaan negatif lainnya setelah ditawari. Saya tak pernah mendalami dunia teater sebelumnya. Saya menganggap pengalaman drama dan film jauh berbeda dengan teater. Namun, teman-teman dan senior saya memberi semangat. Sayapun menerima tawaran itu. Sekali lagi, totallity or die. Sudah jadi prinsip saya pula, menyelesaikan sebuah kata ‘iya’ yang keluar sengaja atau tidak dari kepala saya.




Kamipun membentuk tim produksi kecil, melakukan casting, dan memilah-milah naskah yang paling sesuai untuk kondisi Kosaster. Jadilah kami mengambil naskah Motinggo Busye, ‘Malam Jahannam”.
Kosaster berada di bawah binaan tokoh teater senior Sulsel, bapak Fahmi Syarif. Ketika teman-teman Kosaster menyampaikan niat keikutsertaan mereka di FTMI7, beliau sangat senang. Dan semakin senang ketika tahu ada mahasiswi sastra yang ingin menjadi sutradara. Beliaupun membimbing kami, utamanya saya. Saya terus belajar dari dia.

Setelah membaca beberapa buku teater, saya memilih teknik penyutradaraan yang saya sebut ‘kerjasama’. Teknik ini tidak menjadikan sutradara sebagai satu-satunya penentu bentuk karakter tokoh, melainkan ia memanfaatkan kemampuan aktor bersama dengan ide dari kepalanya sendiri. Sutradara ini tidak diktator. Waktu itu, teman-teman menganggap remeh saya, sebab gaya penyutradaan saya baru bagi mereka. Mereka terbiasa disutradarai dengan teknik satunya, teknik yang menyerahkan segalanya kepada sutradara. Dalam praktiknya, sutradara memberi contoh, aktor meniru. Teknik yang saya pakai, saya awali dengan pertanyaan, “Bisa kamu tunjukkan pada saya, bagaimana karakter si Fulan dalam cerita itu?”. Setelah aktor menunjukkan pemahamannya, lalu saya gabungkan dengan pemahaman saya. Dan jadilah tokoh tersebut.

Masukan dari pak Fahmi, (dan beberapa cerita dari Pak Alwy Rahman), bacaan, rekomendasi buku dari senior, dan video-video tidak cukup bagi saya. Saya merasa harus melakukan sebuah simulasi, paling tidak menonton langsung lebih banyak pertunjukkan teater, kebetulan saat itu I Lagaligo akan berlabuh di Makassar. Robert Wilson, setelah perjalanan keliling dunia mementaskan I Lagaligo, sebelum kembali ke Palopo, mementaskannya terlebih dahulu di benteng Rotterdam. “Saya bukan hanya harus menontonnya, tapi harus belajar dari para kru-nya pula!” Saya memang terbiasa menyiapkan bahan selengkap mungkin sebelum mengolahnya. Saya harus mempersiapkan diri untuk teater ini dan jauh setelahnya.


Saya pun mencari cara menjalankan niat ini. Adalah Sani, teman angkatan saya, dia anggota Kosaster dan alumni sebuah sanggar seni di Barru. Kebetulan sekali, senior ukm seni tersebut menjadi kru Robert Wilson. Kamipun bertemu di pantai Losari.

Ternyata senior Sani datang bersama seorang pemain dan dua lagi kru I Lagaligo. Kami ngobrol banyak. Penampilan saya memang agak nyeleneh malam itu. Saya datang mengenakan celana sobek-sobek dengan rambut acak-acakan. Tiga orang kru itu tertarik pada saya, mungkin mereka bilang, “Wah, ada seniman muda!” nyatanya saya bukan siapa-siapa.

Tiba-tiba Sani mengirimi saya sms, padahal dia duduk di samping saya.
Isinya:
“Gawat, salah satu dari mereka mau ayam!”

Saya membalasnya dengan santai, saya pikir Sani sms karena agak malu sama mereka berlima.

“Ajak aja mereka ke sekitaran Datu Museng, di sana kalo nda salah ada resto ayam bakar,”

Sani menjitak kepala saya, “Ayam kampus!”. Saya membelalak. Keempat seniman itu minta ayam kampus. Sialan sekali. Tapi mereka menjanjikan free access menonton pertunjukan itu. Saya memang tidak punya uang untuk membeli tiket yang waktu itu naik lagi jadi tiga ratus lima puluh ribu. Dengan ragu saya mengiyakannya.

Seminggu menjelang pertunjukkan. Saya bertanya ke mana-mana informasi tentang ayam kampus. Sial sekali. Waktu itu mereka sudah pada sarjana. Sampai don juan kampuspun kutanya, dan hasilnya nihil. Saya mulai putus asa. Tiba-tiba saya teringat seorang sahabat lama, dia pernah cerita kalau dia kini ‘menjajakan diri’. Saya bilang dalam hati, “Saya tak mau menjual teman sendiri. Tapi jika memang tak ada pilihan lain, semoga dia mau mengerti.”

Saya tak langsung menghubungi teman lama itu. Tapi saya menganggap pencarian ayam kampus berhenti di situ. Latihan dasar persiapan FTMI7 pun saya mulai. Kami perlahan-lahan berlatih setiap sore di seputaran sastra.

Malam hari H. Saya mengingat janji ayam kampus itu. Tapi saya tetap berusaha mencari cara agar tidak melakukannya. Risih saja berurusan dengan dunia pelacuran. Sayapun pergi ke Rotterdam, pukul 7 malam, sendirian. Halaman benteng ramai sekali. Harga tiket naik. Saya sempat iri melihat begitu banyak orang dengan santai memasuki antrian tiket dan mengeluarkan sejumlah uang yang tidak saya punyai. Lalu senior Sani menelpon saya,

“Di mana? 30 menit lagi pertunjukan dimulai. Kamu harus masuk sekarang,”
“Saya di taman. Jemput saya!”

Tak lama, datang dia datang mengenakan jaket khusus kru dan Id Card. Ia menyerahkan Id Card itu pada saya, lalu menarik tangan saya menerobos antrian,

“Skenarionya, kalau ada yang tanya kamu pas di pemeriksaan tiket, jangan ngomong apa-apa. Biar kakak yang bicara,”

Saya mengikutinya dan lolos ke dalam. Id Card itu ia ambil kembali. Di dalam, saya bebas memilih tempat nonton, tapi bukan yang ada kursinya. Saya tak peduli. Saya mencak-mencak pas melewati gerbang dan langsung lari tidak keruan saking senangnya. Saya naik ke bagian atas gerbang benteng dan menemukan view yang nikmat menyaksikan pertunjukan itu. Senior Sani kembali bekerja. Saya sendirian, tapi senang tak kepalang tanggung.

Di atas sana, saya bertemu dengan teman-teman filmmaker yang sedang mendokumentasikan pertunjukan itu diam-diam. Akhirnya tak sendiri. Pertunjukkan berlangsung magis. Saya berkedip tak normal. Tak mau menghilangkan secuilpun pelajaran dari pertunjukan itu sampai selesai, sekisar pukul 10 malam.

Senior Sani pun menjemput saya di atas sana, lalu kami membahas pertunjukkan tersebut di kafe depan benteng. Saya banyak belajar dari dia. Kami ngobrol sampai pukul tiga. Lalu dia mengajak saya ke hotel tempat para kru I Lagaligo menginap. Kami ngobrol lagi di dermaga hotel tersebut sampai subuh.

Berhari-hari tak tidur bikin kepala saya pening. Kakak itu menyuruh saya beristirahat di kamarnya. Kamipun ke sana. Saya tak curiga. Ya, saya sudah terbiasa tidur sekamar dengan teman lelaki. Teman saya hampir semua laki-laki. Hidup saya cukup Rock ‘n Roll, mengikuti istilah teman.

Di dalam kamar itu, ada dua kru yang tempo malam ketemu di Losari. Kami ngobrol lagi. Saya jadi tidak bisa beristirahat. Tapi saya senang, mereka memberi saya pelajaran yang banyak mengenai teater. Apalagi posisi mereka berbeda-beda di pertunjukan itu. Satunya di artistik, satunya lagi mengurusi aktor, yang lain sebagai pemusik. Ngobrol subuh sampai pagi itu sangat berharga. Saya lupa urusan ayam-ayam.

Pukul 7 pagi. Semuanya sampai di titik capai tak tertahankan. Satu-persatu keluar kamar dan mencari tempat istirahat. Hotel itu sengaja disewa khusus untuk para kru I Lagaligo. Semua pergi, termasuk kakak itu, tapi tidak dengan si pemusik. Dia orang Bali. Saya hapal namanya, tapi kita panggil dia Bli saja.

Saya melanjutkan cerita teater dengan dia. Soal musik teater. Ternyata dia salah seorang musisi tradisional bernama di Bali. Saya senang sekali. Semua pengorbanan saya untuk sampai di tempat itu tidak sia-sia. Tapi kesenangan saya terbang hilang, menyublim entah kemana ketika ia bertanya,

“Mana pesananku?”

Ternyata Bli yang cari ayam. Sialan! Saya kelabakan harus ngomong apa. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar terkunci dari luar.

“Ah, tidaaaaak!”

Terpaksa, saya jujur dan minta maaf. Saya tidak mendapatkannya.

“Tidak apa-apa. Asal kamu yang jadi penggantinya,”

Itu bulan di atas, rasanya jatuh menimpa saya. Jual diri demi kesenian memang sudah biasa saya dengar. Tapi bukan berarti saya harus melakukannya. Totalitas atau mati. Saya ingat ini. Dengan sangat berat hati, saya mengiyakan. Iya, jual diri! heh.

“Oke, saya siap-siap dulu!” lalu saya masuk ke kamar mandi. Si Bli langsung baring aja di ranjang. Sial betul saya pagi itu.

Di dalam kamar mandi, saya tidak buka baju. Saya terus memikirkan cara, bagaimana menghindari barang ini, tanpa menyinggung perasaan Bli. Saya paham bagaimana perasaan seorang lelaki yang pengen ‘konek’ tapi tak bisa ‘nyolok’. Dulu, tahun 2009, saya pernah menyaksikannya langsung. Waktu itu mantan saya kesurupan kayaknya, minta ML waktu berkunjung ke rumah temannya. Situasinya mirip ini. Udah dua-duaan di kamar tapi saya menolak. Dia menendang-nendang tembok dan memukuli dirinya sendiri. Saya kabur aja, kan waktu itu. Putus dan nggak pernah ketemu dia lagi.

“Sahabat!” oh, Tuhan, terima kasih. Tiba-tiba saya teringat dia. Sayapun menelponnya. Berharap dia masih menggeluti profesi itu dan bersedia membantu saya.

“Jadi gitu, Li. Aku terjebak di sini. Please... tolong. Kamu tahu, kan aku bukan cewek begituan,”

“Aduh sayaaang, aku minta maaf. Aku begituan cuma sama pacar saja sekarang. Aku insaf, insaf....”

“Hah? Please... siapa kek teman kamu yang masih. Please...” aku ingat dia pernah cerita terjun ke dunia itu gegara teman sekolahnya.

“Oh, iya. Tunggu aku hubungi dia dulu. Berdoa ya sayaang...”

Tiba-tiba Bli mengetuk pintu kamar mandi.

“Udah belum? Lama amat, sih... aku check out dua jam lagi. Wah... quicky, nih!” Aku membuka pintu. Dengan wajah ragu dan nada putus-putus, aku bilang,

“Ada teman yang barusan sms, katanya dia ada. Tapi tunggu dulu. Masih nunggu konfirmasi. Biar dia naik taksi aja ke sini,”

Si Bli senang. Cuman agaknya dia lebih senang kalau sama aku. Mungkin dia tertarik setelah bincang-bincang yang cukup lama itu.

“Oke, kita tunggu,”

Sambil menunggunya, kami ngobrol lagi. Saya tak henti-hentinya berdoa dalam hati. Semoga teman sahabatku itu bersedia kerja sepagi ini. Tapi, Tuhan tampaknya pengen saya beneran jual diri kali ini, sampai 30 menit kemudian teman saya menghubungi,

“Dia nggak balas BBMku,”

BBM sialan! Tuhan, hari ini kamu menggilaiku!

“Ya, udah, kamu aja,” kata Bli sambil buka baju.

Sayapun menurut. Udah, total aja. Total. Toooootaaaaal!. To tal. To tal. T o t a l. To....................t..................al. troooot...al. al. Taaaaaaaaaal.... hiks.
Saya menangis! Serius, saya tidak bisa melakukannya. Untuk dipeluk lawan jenis saja, saya harus mencintainya dulu. Dan Bli, siapa dia, pemirsa? Saya baru kenal dia sepantaran obrolan saja. Dia orang asing. Hiks. Hiks.

Bli liat saya menangis,

“Kamu kenapa?”

“Tidak... teringat masa lalu saja,” jawab saya. Memang ia, saya kembali ke insiden sama mantan itu. Dan beberapa mantan setelahnya. Imajinasi saya memang liar. Dia malah kembali ke masa-masa perceraian orang tua saya. Sampai ke cerita bodoh lain soal kehilangan keperawanan. Sialan beneerrr...

“Aduh, ki. Maaf Bli, nggak maksud bikin kamu nangis. Coba, deh kamu cerita semua hal buruk itu,” si Bli lalu meluk saya. Ada yang keras-keras di bagian bawah. Sialan. Ternyata orang ini lain juga, tambah terangsang liat cewek sedih. Ada pelajaran tambahan.

“Dulu ada mantan, Bli. Pengen ML sama aku. Aku nolak. Kami bertengkar sampai putus. Dia kayak orang kesurupan,”

Paling sialnya, saya jadi ingat satu kejadian yang selama ini telah saya lupakan. Waktu itu ayah saya punya teman. Saat saya tidur di ruang tamu, tiba-tiba ada yang meluk. Ternyata dia. Saya masih kecil, kira-kira SMP. Tangisan saya makin keras. Tiba-tiba terjadi mukjizat di bagian bawah. Yang keras itu melembek. Yes!

Kayaknya benar juga teori, sebelum jadi sutradara, jadilah aktor terlebih dahulu! Oke, aku emang udah sering main drama. Saatnya acting. Imajinasi saya biarkan seliar apapun. Saya mengingat semua luka yang pernah saya alami. Apapun itu. Dari perceraian orang tua, putus cinta, dosen bikin sakit hati, teman yang meninggalkan saya, cerita film, curhatan teman, sinetron pernikahan dini, novel, ayat-ayat Al-Qur’an, petuah ayah saya, apapun itu.

Air mata saya jadi air terjun. Pokoknya nangis. Tidak ada lagi benjolan di bagian bawah. Si Bli terharu. Benar-benar terharu. Terharunya total. Toooo...taaaal. tal. Tal. Yeah!

“Udah, Ki. Brenti nangisnya. Bli bisa gila. Nggak usah, nggak usah ML. Ini duit kita pakai beli souvenir aja,”

“Maafin aku, bli...”

“Nggak apa-apa. Ayuk, kamu cuci muka. Butek banget kamu, udah nggak tidur, nggak mandi, nangis pula,”

Dan.... sudah!

Uang ayam Bli berakhir di toko ole-ole. Saya menemaninya berkeliling toko di sekitaran jalan sulawesi mencari souvenir untuk dibawa pulang ke Bali. Saya pilihkan dia sarung dan passapu’.

“Ki, sampai di sini, yah. Makasih sudah mengajari Bli banyak hal,” katanya pas ngatar aku di parkiran hotel.

“Aku yang harus berterima kasih, Bli mengajari saya teater dengan baik. Tapi, Bli, aku minta maaf soal tadi,”

“Hahahha... kamu itu bikin Bli sadar, ternyata cewek jenis kamu masih ada. Dan adanya di kota megapolitan. Bli nggak nyangka,”

“Maksudnya?”

“Di Bali, hampir semua teman cewek bli udah bli temenin tidur. Gampang banget ajak mereka. Kamu beda, kamu seniman muda yang beda,”

“Terima kasih sekali lagi buat ilmunya. Sama kakak yang lain juga,”

“Sama-sama, kamu hati-hati yah. Pelan-pelan bawa motornya, kamu belum tidur loh,”

“Iya,”

“Kalau mau ke Bali, bilang, yah. Nanti nginap di rumah Bli aja. Bli temani ke mana Eki mau pergi,”

“Serius? Hahha... terima kasih bli,”

Bli memakaikan saya sebuah gelang yang sejak pertama bertemu tak pernah lepas dari pergelangan tangannya.

“Aku nggak ada apa-apa buat kamu, ini aja. Jaga baik-baik ya,”

“Terima kasih, bli,”

Saya pun menyalakan sepeda motor dan pergi. Dari kaca spion, saya lihat Bli sampai saya belok di ujung jalan.
***

Beberapa minggu kemudian, sehabis latihan ‘Malam Jahannam’, saya ngaso sejenak di tempat latihan. Jam 9 malam. Sebuah pesan pendek singgah di ponsel saya. Dari Bli,

“Ki, kira-kira berapa, ya uang panai’ kamu?”
Heh?


Sepenggal dari FTMI7...
Kepala suku Kosaster berperan sebagai Utai. Setelah berminggung-minggu latihan dengan karakter sinting, dia kemudian bertanya,

“Ini Utai sebenarnya bodoh atau gila?”

“Menurut kamu?”

“Aku bingung, Ki. Dia bodoh, tapi mengerti rahasia Mat Kontan dan Soleman,”

“Apa selama ini kamu nyaman memerankan Utai?”

“Iya,”

“Aku lihatnya juga natural. Dapat.”

“Tapi itu gila, gila. Masa’ dia ketawa terus, masa’ orang gila mengerti rahasia?”

“Teruskan saja yang sudah kamu perankan. Itu sudah pas menurutku. Kamupun nyaman dengannya. Tak ada yang mesti kita ubah,”

Menurut saya, bodoh dan gila itu tipis batasnya. Pemain tak harus membedakannya. Tak harus memilih. Dalam beraktingpun, sutradara tak mesti memaksakan idenya pada aktor, apalagi di saat si aktor telah nyaman memerankan karakter dengan satu penafsiran mimik, vokal, dan gerak tubuh.

Teman saya masuk nominasi pemeran pembantu terbaik, dari tiga orang yang memerankan Utai.
Acting adalah membebaskan diri.

gambar: aku, para pemain, dan segenap kru 'Malam Jahannam' di FTMI7


gambar: Sekretaris Kosaster, Aku, Kepala Suku Kosaster, dan aktor andalan kami

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Arsip

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger