Sunday 19 February 2012

Judulnya Kopi

Selanjutnya. Datar. Selanjutnya, sesuatu yang lembut dengan lirik menyentuh dirimu, dan bibirmu. Bukan ini. Selanjutnya. Habis. Tidak ada lagu yang menyerupai bibirmu. Sinai mematikan pemutar musiknya. Ponsel yang beberapa tombolnya rusak digerus jari itu, ia tinggalkan di atas bangku batu. Di tengah taman kampus. Tak satupun yang menoleh ke sana. Tidak pula su ami-istri yang menjual nasi dos dan gorengan murah di kolong gedung fakultas.

Sinai mencium bibir bekas perempuan lain. Di bangku tengah taman. Dalam kepalanya.
Lebih bahagia menyanyi sendiri. Mendengarkan suara sendiri. Yang salah, yang benar. Tidak peduli. Kita bernyanyi, menyanyikan lirik-lirik yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Kita bernyanyi tanpa ada yang menggugat kesalahan eja dan harmonisasi nadanya. Sinai bernyanyi dengan lelaki milik perempuan lain di bangku taman tengah malam. Pada reff-nya mereka berpelukan. Bertukar lirik dari bibir ke bibir. Dari bisik ke bisik. Di dalam kepalanya. Dan segalanya menjadi bahagia.

Di bangku taman yang sama, tiga hari lalu.

Jaket dirapatkan, kancing tengah ketiga dari bawah hilang. Tanggal setelah tersangkut di sesemak parkiran, suatu pagi mengejar keterlambatan kelas pagi. Sinai mencoba menenangkan diri. Tidak, dia sudah tenang sebelum mencapai bangku itu. Seseorang sedang dalam perjalanan menjemputnya. Katanya, dia tidak bisa menghabiskan segelas kopi sendirian. Ia butuh Sinai, butuh bibir yang menyentuh bekas minumnya di satu gelas yang sama.

“Terkadang, kita harus membiarkan sesuatu tetap salah. Untuk satu tujuan, bukan hanya diri sendiri yang bahagia pada akhirnya,”

laki-laki itu menunggu asap berkurang dari gelas berkopi, meminumnya tiga teguk. Lalu menggesernya ke depan genggaman tangan Sinai. Ponsel berbaring di sampingnya. Pesan pendek memberi tanda kedatangan.

“Ada yang mencariku. Semestinya aku tidak di sini,” timpal Sinai, menyampaikan makna pesan yang baru saja datang.

“Apa kamu yakin dirimu semestinya berada di tempat itu?”

“Tidak,”

Satu pelukan menyergap tubuhnya dari belakang. Pelukan yang bisa meredakan gejolak jiwa dua perempuan sepertinya. Sinai membalas pelukan itu. Cukup sukar memiliki seluruh tubuh lelaki yang lebih besar darinya. Tapi hatinya yakin bisa memiliki apa yang dimiliki lelaki itu padanya dua kali lipat.

“Ke mana kita akan pergi?” Sinai menggelayut. Setengah ragu ia bertanya. Sebab lebih baik meyakinkan diri jika sedang bersama lelaki itu.

Lelaki itu tersenyum, menatapnya ke bawah, “Suatu tempat yang tidak satupun hendak ambil peduli,”

Mereka beracakap, di bawah tenda bertuliskan merek rokok di atasnya. Sekitar kurang riuh. Lebih riuh percakapan mereka. Riuh yang diam. Riuh yang badai sendiri. Tak satupun suara terdengar. Hanya kedipan mata dan beberapa senyum saling membalas, dari kedua bibir pasang yang mulai tak asing satu sama lain sejak beberapa hari ini. Percakapan jenis ini terus berlanjut mereka lakukan, sampai lelaki itu membuka kunci sebuah pintu kamar. Satu-satunya topic yang mereka ulas habis hanya itu, tentang mengapa hati mereka saling mengenal sebelum mereka bertemu tatap.

Kopi hitam dijerang. Dua sendok susu kental manis dituang ke dalam gelas kopi. Adukan itu, pas. Seperti takaran gula. Satu pelengkap lagi, tersedia tanpa batas, namun sulit menghadirkannya: senyum seseorang. Sinai menatap kenangan dalam gelas kopi. Dua bekas bibir samar terlihat. Seperti bekas desah yang menenggeri kaca jendela di pagi hari. Hilang beberapa detik kemudian. Dedaunan bambu yang sempit melambai tak terasa. Angin malam semakin dalam. Pukul dua belas. Lelaki itu belum datang.

Dia akan datang. Beberapa menit lagi. Keyakinan adalah kehadiran dirinya.

Sinai tidak mengerti, sejarah mencatat banyak peradaban musnah karena kerakusan rajanya. Dinasti hawa nafsu. Sejarah mencatat raja-raja itu memiliki segalanya. Tanah, air, sumber alam, wanita, anak, dan kekuasaan. Namun sejarah juga memberitahu bahwa semua raja itu musnah oleh keinginan memiliki kuasa raja tetangga. Raja tetangga bertabiat sama. Mereka pun saling membunuh. Sebaiknya kita lebih sering menggunakan mata untuk melihat benda-benda terdekat, menyadari keberadaannya, merawatnya. Yang terdekat itu punya kita. Yang jauh merupakan hak orang lain.

Ia tidak mengerti apa yang membuat laki-laki itu mencintainya. Ada stok pelukan tak terbatas dari istrinya. Pun tidak ada yang lebih membahagiakan selain makan malam di rumah sendiri, rekening di bank tak pernah kosong, terdengar lagu lama dari gramofon warisan kakek di ruang tamu, dan seorang anak sendiri sedang lahap menghabiskan makanannya. Apa yang lelaki itu cari. Apa yang belum ia miliki. Tidakkah ia sadar diriku mungkin adalah hak orang lain.

Rasa yang sempurna. Lelaki itu datang membawa senyum yang dinanti. Ia duduk di samping Sinai, mencubitnya canda, lalu memesan kopi yang sama.

“Maaf, lama. Anakku rewel,”

“Mestinya kakak tidak usah datang, mungkin anak itu membutuhkan kakak sampai besok pagi,”

“Ah…kamu. Apa kamu tahu moment yang paling kusuka sejak kecil?” Sinai mengerutkan kening. Bagaimana ia bisa tahu.

“Minum kopi,”

“Hahah.. suatu hal yang bisa kamu lakukan di rumah,”

“…. belum selesai, Nai..” kopi pesanannya datang. Lelaki itu meneguk kopi dari gelas Sinai. “…aku suka saat minum kopi, sejak kecil. Akan tetapi, selalu ada yang kurang. Mungkin butuh teman minum kopi yang tepat,”

“Menurutku kakak sudah memiliki teman minum kopi, yang baik. Sekaligus barrista handal,”

Terjadi percakapan yang riuh sendiri lagi. Mereka mencakapkan banyak hal. Tentang segala kemungkinan. Di tengah-tengahnya Sinai mengeluh kelelahan. Banyak kali ia mencoba menggali hal yang mungkin dari ketidakmungkinan yang ia jalani. Seperti musim yang datang silih berganti, seperti lalu-lintas jalan di mana kita tidak tahu akan berpapasan dengan siapa di traffic light, ketidakmungkinan itu datang berkali-kali. Dia menggali lagi. Dari orang-orang yang berbeda. Sebelum menemukannya, orang itu telah beranjak. Sekarang ia kelelahan, di trotoar jalan, lelaki itu menghampirinya dalam wujud ketidakmungkinan yang lebih absurd. Apatis tidak diperlukan di sini. Sebab, ya, sebab trotoar bukanlah tempat tinggal.

“Saya juga ketidakmungkinan?”

“Ya,”

“Galilah lebih tekun, kubantu kamu menemukannya…”

“Aku tidak ingin ada peradaban lain yang hancur,”

“Bukankah kamu ingin aku bahagia? Nai, biarkan semua ini salah. Tidak semua yang salah mesti ditinggal pemiliknya. Jika semua memilih jalan yang benar, apa kau pikir jalan salah tidak akan kesepian?”

“Pasti kesepian,”

“Biarkan aku menikmati apa yang kau nikmati. Berikan aku rasa yang berbeda,”

Lelaki itu menenggak kopi milik Sinai lagi. Dua kali itu kesengajaan. Sinai menatap matanya dalam-dalam. Ketidakmungkinan melayang-layang di dalam sana. Juga perasaannya. Sinai tiba-tiba saja egois. Ia ingin bahagia sendiri.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Arsip

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger