Thursday 13 January 2011

“…..tunggulah benci yang aku tahu, jalang…”

Saya tidak mau dianiaya cinta. Tolong, jangan bubuhkan koma, tapi titik. Itu jawaban saya kalau anda bertanya, “Kenapa tidak punya pacar, kawan?”. Kalau tidak anda sertakan “Kawan” di belakang, siap-siap bercumbu dengan kepalanku. Karena pasti anda adalah salah satu dari mereka, yang berdiri di posisi netral dan berkata, “Saya hanya ingin tetap jadi orang baik” atau yang jelas-jelas menyediakan senjata untuk melawanku di bawah jaminan si jalang itu. Dan bagi mereka, “Semoga kita tidak bertemu lagi di kehidupan selanjutnya,”

“Ini rencananya,” bisik Ravis pada Iga disambung bisikan , “Belum pernah kuceritakan ini pada siapapun,”

“Aku juga belum pernah terlibat dalam percakapan seperti ini,” balas Iga. Ia tidak pandai berbisik, Jalo, mahasiswa Blackberry dan earphones itu berbalik. Tapi perhatiannya ditarik kembali oleh isyarat, “Ada yang mengomentari status anda!”

“Anda lihat si jalang itu? Aku akan membuatnya benci padaku,” ujar Ravis mantap, tegas, dalam tatapan yang tajam.

“Hanya itu?” balas Igo. Dia memperbaiki posisi duduknya dan mengamati manusia kribo di hadapannya.

“Bukan benci yang dia tahu, tapi benci yang aku tahu…. anda paham?”
Igo terbahak. Entah darimana Ravis menemukan definisi benci yang tampaknya lebih sepadan dengan kata “terror”. Mau tak mau, Igo angkat jempol dua di depan hidung Ravis.

“Lantas kapan kuikuti langkah pertamamu, kawan?”

“Cukup awasi aku, kamu akan tahu kapan itu dimulai… prepare your sly detector!”
Perasaan itu berawal pada malam itu. Saat sebaiknya kubawakan ember untuk menampung semua air matamu, yang lagi-lagi tidak pernah berguna. Aku ada vest anti senjata psikologis. Kamu bilang, dengan tatapan yang menembus sela lantai kayu itu,
“Aku juga butuh dia,”

Bagus kamu jujur dan itu hal terakhir yang bisa kuhargai darimu, selebihnya itu yang membawamu pada julukan “jalang”. Keserakahan hanya akan membawamu pada fase tidak punya apa-apa. Sudah anda lihat atau tidak, aku sedang dalam proses membuatkanmu potongan film untuk membuktikannya. Jangan kuatir tentangku, aku tidak lagi hapal untuk bersedih. Dan terima kasih sudah menemaniku dalam kebahagiaan yang tidak sepenuhnya benar.

Anda tahu, sejak pertamakali anda memutuskan untuk menerima uluran kasih sayangnya, sejak itu anda kuberi satu demi satu huruf dari kata “jalang”. Sekarang anda memilikinya dengan sempurna karena telah bersama laki-laki itu, tanpa peduli ada apa dengan saya yang telah anda campakkan.

Mungkin aku yang tidak pandai menjaga apa yang kupunya, atau anda memang sudah bosan kumiliki. Sesuatu memang tidak pernah dimiliki selamanya. Kadang ia akan terlepas sendiri, seperti jemuran yang terbang di bawah angin sesaat sebelum titik hujan terjatuh di atas genteng pondokanku. Aku harus bisa menerima kenyataan kau diterbangkan angin lebih cepat. Sementara aku tengah menikmati film, berlinang pop corn buatanmu yang meletup-letup merdu semalam. Ternyata sembari menyiapkan cemilan untuk tontonan hari ini, kau berencana ikut bersama angin sebelum hujan itu. Kelicikan yang cantik.

Sebelum aku memakai kepolosan Igo untuk mengejakanmu benci yang kumaksud, tidak salah jika aku mengingat kejadian malam itu untuk yang terakhir kalinya. Seperti kuhapus lagu melayu yang sama-sama kita benci dari MP4 murahan ini.

Bercak demi bercak yang membiarkan warna kuning lampu lima watt di koridor pondokan temanmu memperjelas bahwa kau membohongiku. Untuk apa kau di sana saat lebih nyaman pulang ke pondokanmu dan beristirahat dengan celana pendek dan kaos selutut? Kenapa kau berada di tempat itu, mencuci muka, lalu pura-pura tertidur saat aku datang? Aku tahu kau menyembunyikan sesosok manusia yang menjadikanmu demikian jalang di mataku.

Sekarang untuk apa kau mencari informasi tentang setiap jejak langkahku di koridor saat gelap semakin menguatkan eksistensiku? Nyamankan dirimu di sana, di tempat berpendar cahaya terang bersama dia dan pelukannya yang siap sedia. Aku bahagia di sini, ditemani kegelapan yang tidak kau lihat jika di alamnya. Jangan lagi mengirimkan semacam peliharaan untuk mencatat amalan-amalanku dari malam hingga malam selanjutnya. Kita bukan kita lagi. Dan aku merasa lebih nyaman sehabis membakar semua tentangmu yang gemar bersendawa dengan segelas kopi dan selembar kertas berkata-kata marah.

“Hey, Igo…. malam yang gelap is meaningless tanpa secercah api!” teriakku pada Igo yang sedang mengawinkan sepasang ilalang di samping parkiran. Jalo tetap tenggelam dalam status-statusnya yang meramaikan situs jejaring social itu.

“Hahahha… juga dingin tidak sempurna tanpa sebenang kehangatan!” balas Igo. Ia polos dalam mata kuliah manapun, namun cerdas membaca jalan pikiranku. Ia berlari ke lantai tiga gedung perkuliahan, membuka-paksa ruang kelas yang katanya paling bagus sekampus ini. Kuangkat satu bangku tinggi-tinggi,

“Good night!” teriakku dan bedebum bangku kayu pecah melawan gravitasi bumi di lantai dasar. Igo meraih bangku sejenis dan melakukan tindakan serupa,

“Sleep tight, dear!”

Setengah ruangan kini kosong, saatnya menyempurnakan malam dan dingin pada tanggal itu. Aku dan Igo menuruni tangga tiga demi tiga anak tangga lalu melempar korek gas ke atas tumpukan kayu bangku. Sedikit percikan api dari tempat kami berpijak, memberikan variasi bagi halaman parkir kampus yang lapang. Api muncul, kami terbahak.

“…..tunggulah benci yang aku tahu, jalang…”

“….aku bantu jika kau kesulitan,” tambah Igo. Kulirik makhluk setinggi bulu ketiakku itu,

“… cari kopi, yuk !”

3 komentar:

Azhis

Bahasa sastra yang (aku menyebutnya) liar dan berani.

Aku suka, walaupun lebih menyukai sastra yang puitis...

tetap berkarya dek..

*berlagak pakar*


^_^

aqmal

matappa ka bah........!!! nice..!!

Insomnia_Kuroi

the only one,.

:)

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger