Thursday 20 January 2011

Tali-tali Sinai

Bagaimana cinta bisa memperdaya tubuhku sementara aku sibuk. Sibuk yang terlalu. Aku sibuk menggunakan otak dan tubuhku bekerja siang malam. Mulutku berbicara sepanjang hari, menjelaskan pada setiap orang yang memasuki ruko kotak itu mengenai detil yang kami jual. Mataku awas mengamati gerak-gerik siapa saja di dalam ruangan. Selain bernapas, hidungku tidak pernah berhenti mengendus-endus bau parfum mereka. Pikiranku pun tidak kenal frasa buang waktu. Ia sangat kompromis dan berdedikasi memajukan hidupku. Ia cerdas, menciptakan banyak terobosan baru dengan ide-ide bisnis superuniknya. Bersamanya, aku merancang seragam pegawai kantor ini, menggantikan seragam lama yang berwarna kulit telur bebek.

Hatiku, pasti kau mengira ia tidak sesibuk properti tubuhku yang lain. Seandainya kau bisa memantaunya, tentu kau akan akui pekerjaan keras yang ia lakoni. Lebih keras dari yang digeluti otakku selama lima tahun belakangan ini. Hatiku membuat dirinya jatuh cinta pada kantor ini. Pada sekat kacanya yang seksi, pada lembut beludru sofa. Pada kayu dan paku meja kerjaku dan meja rekanku. Juga pada langit-langit kantor yang mulus.

Aku sibuk dalam makna keseluruhan, tapi kenapa aku jatuh cinta. Aku penuh tidak percaya. Dan pada hawa tipe begitu.
Hawa yang kumaksudkan terlalu biasa untuk memencet tombol pause kegiatanku. Aneh malahan. Ia tidak bisa membangkitkan nafsuku. Karena tubuhnya dihijabi kain tebal panjang. Yang bisa kulihat dari dirinya, hanya wajahnya. Terkadang pula cuma matanya.

Aku pernah menemukan orang berpakaian seperti itu saat kuantar Sudan ke sebuah bangunan berkubah selebar rumahku. Bangunan itu tidak seperti desain perumahan, apalagi mirip dengan ruko. Bangunan itu memiliki pintu di setiap sisinya, kecuali sisi bagian depan yang ditempati sebuah mimbar. Orang berpakaian seperti itu memenuhi ruangan itu, mondar-mandir melakukan banyak kegiatan asing. Ada yang membersihkan, membaca sebuah kitab berhuruf seperti mie instan. Sementara yang laki-laki sibuk di sekitar mimbar. Tapi anehnya, antara mereka dan para laki-laki itu seperti ada sekat yang panjang. Hingga mereka seperti tidak saling mengenal. Sudan menghampiri laki-laki yang menghadap ke mimbar. Mereka ngobrol sejenak. Mereka bersalaman, membuat laki-laki itu tersenyum. Sisa tangisnya masih bisa kutangkap.
“Berbahagialah orang yang bisa menangis dalam tempat ini,” ujar Sudan begitu menghampiriku. Kami lalu duduk di sisi kanan bangunan itu. Ketika terdengar suara bertalu-talu yang sempat mengagetkanku, Sudan bangkit. Semua yang ada di dalam bangunan itu bangkit. Serentak mereka menuju barisan keran air di luar bangunan. Mereka membasuh tangan, seluruh wajah, tangan, kepala, dan kaki. Gerakan mereka teratur dan penuh penghayatan. Setelah suara bertalu-talu itu berhenti, mereka berdiri merapat menghadap ke mimbar. Segaris. Yang laki-laki di depan, dan yang perempuan di belakang. Mereka melakukan gerakan aneh. Aku teringat pada gerakan yang mirip dengan itu, aku paling senang melakukannya saat masih SD. Disertai lagu, “Kepala, pundak, lutut-kaki, lutut-kaki...”

Hawa seperti dia juga biasa kutemukan di kampus-kampus besar dan sekolah bernama pesantren. Tapi aku paling jarang menemukan hawa tipe begitu di tempat favoritku, kafe-kafe dan resort. Pun tidak pernah ada di majalah dewasa langgananku.
Satu hal yang paling tidak bisa kubayangkan saat aku sembunyi-sembunyi menatap matanya. Padahal hal itu merupakan hobi nomor satuku. Aku betul-betul tidak bisa menelanjanginya dengan mataku. Sensor kelaki-lakianku tidak mengedip. Hanya mataku, yang meski ratusan kali kukedipkan padanya pun, ia tetap urung niat menoleh padaku.
Dulu ada hawa seperti dia di perumahanku. Hawa itu baik, menurut para ibu. Mereka senang bertanya padanya tentang resep masakan. Baru sebulan di komplek, ia diusir. Katanya warga tidak mau komplek ini digerebek polisi. Terakhir kali kulihat ia pada hari dimana kompleks kami dimasuki armada kepolisian, waktu warga meneriakinya teroris.


Menurutku, ia tidak mungkin melakukan tindakan yang mencemaskan orang lain. Hanya saja, ia sedikit sinting. Daerah ini cuacanya panas. Aku saja yang selalu mengenakan kemeja tipis, masih gatal mau toples-toplesan di kantor. Lihat dia, dia membungkus dirinya dengan pakaian satu warna, yang setiap hari warnanya hanya hijau tua. Sebagai pencinta fashion, aku sebal melihatnya mondar-mandir seperti kepompong begitu.

Ia datang ke sini setiap hari jumat untuk mengajari bosku membaca kitab bertulisan seperti mie instan itu. Bosku, yang suka mengikat satu rambutnya, kini turut pula memakai jubah kepompong. Mereka berdua aneh, tapi cantik. Seperti bunga...ah bukan. Seperti kupu-kupu atau pelangi. Hm...mungkin seperti ketiganya jika digabungkan. Ah, aku sungguh tidak bisa mengumpamakannya.

“Hai, aku Rendi!” tidak tahan, aku memaksa diri berkenalan dengannya. Hawa itu tidak melihat uluran tanganku. Ia meletakkan kedua tangannya di depan dada,

“Assalamu ‘alaikum,” ujarnya.

“Apa itu?”

“Selamat kepadamu, akhii. Afwan, saya Sinai,” singkat bukan? Tidak seperti pakaiannya yang repot. Ucapan-ucapannya praktis pada siapa saja. Membuatku selalu bertanya-tanya, setinggi apa kecerdasannya sampai merasa buang-buang waktu untuk ngobrol lama denganku.

“Bu Ratna, sebenarnya dia itu siapa?”
tanyaku pada bosku. Yang kami bicarakan sudah meninggalkan kantor.

“Oooh, dia dulu temanku saat masih kuliah. Baik bukan?”
jawab bosku. Terpancar dari matanya bahwa ia amat mengagumi Sinai.

“Aku pun heran padanya, Rendi. Ia sudah memilih jalan hidupnya itu sejak kami remaja. Aku kira ia begitu karena silsilah keluarga. Karena ayah dan ibunya yang alim betul, terpaksa ia juga membungkus diri dan membiarkan dirinya tidak menikmati kenikmatan dunia. Padahal bukan. Ia memang terlahir untuk begitu. Untuk membunuh diri sendiri. Katanya, kalau ingin islam jangan setengah-setengah,”

Sinai betul-betul menggerogoti hidupku. Seperti zat dalam rokok tipis kesukaanku. Semenjak mengenalnya, perbendaharaan kataku bertambah. Mulai dari, hijab, nama kitab itu, Al-Qur’an dan kini menyeruak kata Islam yang seketika membuat hatiku tergetar hebat.

“Apa itu?”

“Itu yang mulai kuanut sekarang, Sinai yang memperkenalkannya padaku. Ia membawa Al-Qur’an ini untuk aku pelajari. Dan isinya betul-betul di luar nalar saya. Tapi hati saya memahaminya dengan baik,”

Sinai hawa yang penuh tanda tanya. Mataku, mulutku, telingaku, hatiku bertanya. Dan ada satu lagi yang melontarkan pertanyaan tentang munculnya Sinai. Dia jiwaku. Aku tidak menyangka ia akan ambil andil dalam urusan ini. Namun jiwaku bertanya bukan tentang Sinai, melainkan tentang keyakinan yang melahirkannya, Islam.

“A ba ta tsa...” Bu Ratna mulai lancar membunyikan huruf buku iqra. Sinai tersenyum, “Masya Allah, bagus sekali. Besok kamu sudah bisa membaca iqra jilid dua. Artinya empat buku lagi untuk membaca Al-Qur’an yang sebenarnya,”
Bu Ratna senang tak main-main. Ia kegirangan dan meloncat-loncat di depan mejanya.

“Baca hamdalah, Ratna...”

“Eh, maaf. Hamdalah...hamdalah..hamdalah...”

“Hamdalah itu Alhamdulillah. Ya sudah, saya pulang dulu. Assalamu alaikum,” Sinai pamit sambil menahan rasa geli.

“Saya juga pamit, Bu!” seruku. Air muka Bu Ratna berubah, karena jam kerjaku belum selesai. Aku bilang ada keperluan mendadak. Ia memberiku izin dengan catatan besok harus lembur. Aku tidak betulan pulang. Pertanyaan-pertanyaanku butuh jawaban secepat mungkin. Aku butuh perpustakaan.

Rak-rak di dalam tempat ini berbaris rapi seperti perwira angkatan laut. Di atas kepala mereka terpampang papan buku apa saja yang mereka simpan. Aku berjalan menelusuri rak-rak itu sambil menengadah, membaca papan perihal buku.

“Rak keempat, em...ini dia!” buku yang kucari sangat mudah ditemukan. Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Begitu yang tertulis di pembukannya. Agama ini diturunkan di jazirah Arab, ketika Muhammad ‘alaihissalam bertahannus di gua hira. Aku meneliti gambar gua tepat di samping penjelasan ini. Dan Al-Qur’an adalah kitab yang berisi semua firman Allah SWT untuk ditaati manusia.

Aku tiba pada bab mengenai perempuan. Di situ dikatakan bahwa setiap wanita wajib mengenakan hijab. Ini dia yang dikenakan Sinai. Kenapa harus berhijab? Kucari jawaban pertanyaanku di bab selanjutnya. Waktu benar-benar tidak pernah lelah, ia sudah berjalan tiga jam selama aku di dalam sini.

Dan pertanyaan terakhir yang muncul, “Sebenarnya, aku ini apa?” Aku menanyakan ini karena aku tidak tahu siapa yang menciptakanku. Oleh Mama aku diajari bagaimana makan, ke kamar kecil sendiri, tidur, berbicara dengan sopan. Oleh Papa aku diajari menghormati yang lebih tua, bersekolah, bertahan hidup, mencari uang. Dan keduanya tidak pernah mengajarku siapa itu Tuhan.
Mereka hanya bilang, suatu hari nanti aku akan mati. Caranya sama, nyawa lepas, jasad kaku mendingin. Mereka tidak bilang lagi bahwa nanti aku akan dikremasi atau dikubur.

Sekarang Sinai datang, mengajariku siapa itu Tuhan. Tuhan bernama Allah yang menciptakan seorang Rendi. Yang sampai hari ini telah mati untuk hidup kembali. Ya...aku akan hidup kembali.

***
Tiba sudah masa ini, saat aku sadar ternyata jatuh cinta ini bukan seperti biasanya. Aku tidak jatuh cinta pada Sinai, tapi pada apa yang ia bawa. Eksistensi penciptaan. Setiap hari di dalam hidupku, ia membawakanku selembar tali. Tali-tali yang kuikat sendiri, kusambung untuk membawaku pada ujung terakhirnya. Pada jawaban akan pertanyaanku. Bahwa aku ini adalah hamba Allah.

Sinai muncul di depan bangunan berkubah yang akhirnya aku tahu bernama mesjid. Bukan dengan jubah warna hijau itu, namun bermukenah putih. Di sampingnya ada seseorang yang mengenakan topi kotak, eh songkok, ia memberi salam padaku. Menuntunku masuk ke dalam. Aku didudukkan di depan mimbar. Di hadapanku, terbentang kitab Al-Qur’an. Aku dikelilingi orang-orang berpakaian warna serupa. Semakin lama, semakin banyak. Mereka tembus dari pintu, jendela, dan mimbar.

“Asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan rasulullah,” ucapku pelan, mengikuti ucapan laki-laki itu. Dan yang menyaksikanku semakin lama, semakin banyak. Sekarang mereka turun dari langit-langit mesjid, dari kubahnya yang melingkar sempurna.

***Untuk saudari-saudariku, yang mempertahankan hijabnya meski di sekitar terlalu bingar***

1 komentar:

Monyet Liar

ouh,,
ni mi blogna eq?? ato blogna perempuan kami??

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger