Monday 17 January 2011

Satira

Seekor burung melintas tepat di atas ubun-ubunnya. Satira menengadah, setetes darah jatuh di puncak hidungnya. Tidak jauh dari tempatnya berpijak, seorang pemburu mengokang senapannya sekali lagi untuk buruannya yang terbang menjauh.Satira menyentuh darah itu dengan telunjuk lentiknya, lalu..., aku paling suka bagian ini, Satira menjilatinya. Seutas senyum lahir dengan bibir mungilnya yang berserat-serat. Aku lahir pada saat itu, Maria. Tidakkah kau tahu betapa bahagianya ia melihat setetes gumpal merah itu? Mana pernah kau membuat dia merasa senang begitu. Kau memang sudah ada dua tahun lebih awal, tapi Satira mencintaiku seolah kami berdua telah saling kenal selama satu dasawarsa.

Ketika itu, Bumi berusaha mengabukan rumah mereka dengan sebatang obor. Satira butuh seseorang untuk menghentikan tindakan itu, namun kau tidak muncul. Payah!Maka aku datang untuknya, Maria. Aku menghapus semua beban di pikirannya. Aku membungkusBumiuntuk bergabung bersama abu rumahnya.

“Diam,”

Begitulah reaksi lain orang yang bersalah kalau bukan melempar cerita-cerita palsu, menjalin kalimat-kalimat eskapisme. Kau tidak bisa muncul, karena kau lahir di satu malam hina. Saat Satira dikelilingi sepi kamarnya. Ia yang lelah menanti penghuni rumah yang lain pulangtanpa sengaja singgah di situs tentang orang-orang sepertimu. Yang memuja bibir sesamanya. Yang menikmati payudara sesamanya.


.....baca lanjutannya dalam kumpulan cerpen 'Satira (Perempuan dan Pena Takdir)'

3 komentar:

Unknown

ada yg kisah nyata ndak ?

Rezkiyah Saleh Tjako

:3

UmmY

meninggalq ne satira ato bmana ? ?

hidupkan mi sja ru lanjutkanq critax . . hehe

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger