Thursday, 17 January 2013

Serial Cewek-cewek Pelpek: #Ampat: The Beach, Bukan Sembarang Acara Jalan-jalan





Pada malam minggu, Eya dan Eno tidak ikut ayahnya ke kota, secara mereka lahir dan besar di tengah kota metropolitan bernama Makassar. Karena delman sudah sangat sulit ditemukan, maka mereka berdua selalu menghabiskan malam dengan naik sepeda motor keliling kota dan menjalankan hobi mengamati ciptaan Tuhan. Ini bukanlah nasib yang harus ditanggung oleh dua remaja jomblo kita, melainkan suatu kesyukuran telah cukup jauh dari pergaulan bebas yang nggak ada untung-untungnya itu.

Rute mereka hari ini adalah turut meramaikan acara antri di pompa bensin. Mereka berdua ikut ngantri di pompa bensin sekitar lima belas menit,

“Brapa , Mba?” 

“Sapa yang mo beli bensin? Orang cuma mo tukar uang kecil, ada nggak?” jawab Eya enteng. Tanduk si pegawai pertamina keluar perlahan tapi pasti.

Menurut cerita teman-teman sekelas mereka, jalan Mannuruki yang dipenuhi tempat kos itu paling rame kalo malam minggu. Maka dari itu, mereka  memutuskan untuk ikut serta. Sekedar ikutan bunyiin klakson pas lagi macet-macetnya atau ngomelin pemilik mobil pribadi yang parkir di jalanan. 

Secara udah hapal jalan itu sampai ke gang terkecil, sekali belok di lorong mereka langsung sampai di jalan aman bebas macet dan kabur ke warung coto Makassar. Di sini, entah jago atau selera pelayannya terhadap cewek emang cemen banget, Eya selalu berhasil membuat mereka geer dengan pura-pura ketawa sambil ngeliatin mereka ngelayani tamu. Padahal nih Eya sama Eno  lagi ketawain resleting mereka yang buka toko.

Perut udah terisi penuh oleh daging, hati, dan limpa kuda. Mereka melanjutkan perjalanan menuju pantai. Ada satu kejutan yang dibawa Eya hari ini. Ya…jika ditilik-tilik itu bukanlah hal yang menggemparkan dunia persilatan atau dunia perjilatan. Justru merupakan pertanda buruk bagi kemajuan tanah air Indonesia tercinta. Udara di Indonesia nggak tercinta. Eya membawa hape baru dan ada mp3 playernya. 

Dengan dodolnya, kayak manusia dari jaman batu kapur, Eno meloncat-loncat kegirangan ngeliat gadget mulai ketinggalan jaman yang dipamerin Eya.

“Gila, nyolong dimana kamu?”
“Ini itu punya kakakku,”
“Kakak kamu kan pelit, kok bisa?”
“Aku bilang pulangnya nanti kuisiin pulsa,”

Eno masang ekspresi anak teka liat perosotan, ngacak-ngacak hape itu sampai nggak tahu kalo lagi nekan tombol switch off. Perlahan layar hape itu memudar lalu tak ada cahaya sedikitpun. Keduanya pun panik setengah mati. Mereka keliling-keliling pantai, berlarian kesana kemari kayak ekor mereka udah pada kebakar. Eno dan Eya tak banyak tahu soal produk teknologi.

“Bagaimana kalo kita minta bantuan orang?”
Baru ngomong gitu, seorang anak kecil, kira-kira masih teka nol kecil menghampirinya. Ia tersenyum, mamerin gigi ompong tiga sambil megang gulali pink.

“Kakak beldua tenapa?” (artinya: lo pada kenapa?)
“Enggak kok. Kita lagi pusing sama hape ini,” Eno pun menunjukkan hape itu.
“Lusak?” (artinya: rusak ya?)
“Gini, tadi kakak nggak sengaja ngacak-ngacakin tombolnya trus langsung koit gitu,”
“Alah, kakak beldua ini bedo amat. Ini tindal didiniin kan lantung nala. Tuh belsinal ladi, buni ladi…tenonenot…tenonenonet…” (artinya: tuh hape nyala lagi).
“Eh, iya. Ade pintal!!!”
“Bukan pintal, tapi pintar. Kakak bedo!”
“Bukan bedo, tapi bego!”
“Iya, saya tau. Sok tua kakak ini,”
Rambut Eno seketika berdiri semua kayak tentara mau perang. Dia udah bersiap-siap mau ngejitak kepala tuh anak ompong tiga biar tau rasa. Eya mencegahnya,
“Eh, anak kayak gini belum punya dosa. Kualat kamu,”
“Jadi yang tadi itu bukan dosa?”
“Nggak sukur kamu udah ditolongin,”
Eya menghampiri anak kecil itu, “Gini sebagai ucapan terima kasih, kakak mau beliin kamu sesuatu. Apa aja,”
“Beneran ni apa aja?” (artinya: dia ngeyakinin Eya)
Eya tersenyum manis, “Ade kecil mau apa?”
“Saya mau mobil,” (artinya: udah jelas tuh. Bedo amat sih lo)
“Mobil-mobilan, ntar ya kakak beliin di depan sana,”
“Bukan mobil-mobilan. Tapi mobil benaran kayak yang diparkiran itu,”

Eya juga langsung kesal ngedengar nih anak ompong tiga permintaannya ga masuk di akal. Minta mobil sama dua orang yang berencana jual harga diri buat dapetin mobil. Apalagi cuma buat imbalan atas menghidupkan kembali hape kamera butut jelek itu. 

“Hmm….ade ompong minta yang lain aja…”
“Pokoknya mau mobil. Kalo nggak ini hape dimatiin lagi..”
“Matiin coba kalo berani!”

Tuh anak kecil beneran switch off-in hapenya lagi.

Setelah ngerampas hapenya dari tangan anak itu, dengan tanpa pertimbangan matang, (emang Eya nggak pernah pake timbangan kalo mau bertindak, kecuali pada hari minggu waktu bantuin ibunya jual bawang kiloan di pasar), dia langsung ngasih hadiah anak itu dengan tiga kali jitakan di ubun-ubunnya. Sontak tuh anak kecil ompong tiga nangis nggak ketulungan.
Sedikitnya dua orang kesedak pisang epek dan lima orang nggak jadi ciuman gara-gara tangisan falsetnya yang bikin sakit kuping. Sambil nangis anak itu berlari ke arah ibunya yang lagi jualan minuman. Eya dan Eno lari terbirit-birit ke arah anjungan.
Hampir saja acara malam minggu dua cewek jomblo bahagia terusik oleh ulah anak kecil sok lugu. Mereka pun melanjutkan recana paling jail mereka sebelum malam semakin larut.

Daftar acara malam mingguan:
-  Baca koran. Salah satu hal yang paling disukai Eya. Caranya: beli koran sore harga seribu di lampu merah dari anak kecil sumbing. Kemudian bawa korannya ke anjungan. Bacalah dengan suara keras sambil kaki diselonjorin ke atas.
“Berita hari ini, eh sore ini. Menurut badan meteorologi dan geofisika, daerah selat Makassar mulai terancam gempa dan mungkin saja menciptakan tsunami terbesar kedua di Indonesia…hasil penelitian ini adalah yang terbaru…”

Setelah itu, perhatikan sekeliling. Jika ada pasangan yang nggak jadi ciuman, itu berarti mereka takut kena adzab.

-  Jadi pengamen. Tenang dulu para hadirin, ini emang kerjaan Eno dan Eya di hari libur. Jangan salah, suara mereka bisa diadu sama kwek-kweknya bebek atau burung beo kejepit kandang sendiri. Buat ngamen nggak butuh gitar, sasando, atau suling. Harmonika dan gerincingan udah jadi modal gede.

Daftar lagu malam ini: potong bebek angsa, balonku ada lima, Indonesia Tanah Airku, SMS, dan Bila Waktu t’lah berakhir. Simaklah penampilan mereka berdua!

Potong bebek angsa…angsa dikadalin…
Nona minta dansa….dansa aja n’diri…
Sorong ke kiri…sorong ke kanan…
Ya…seribu aja ongkos parkirnya….

Slamat malam ibu-ibu, bapak-bapak, nenek-nenek, para selingkuhan dan pedagang harga diri…nikmati lagu kedua kami…

Balonku ada lima..
Rupa-rupa warnanya…
Ijo kuning lango-lango[1] merah muda dan biru
Ikh…ikh…ikh… (ada suara Mulan Jamidong pada akhir lagu)

Indonesia tanah air beeetaa
Pusakaa aabadi naan jaaayaa
Indoneesia sejaak dulu kaalaaa
S’lalu nyiksa-nyiksa bangsaaa
Eee…bang sms siapa ini bang
Bang pesannya pake tolong-tolong…
Bang bang tut
Ada yang kentut
(preettt) ringtone  hape siapa tuh?

Untuk terakhir para hadirin yang selalu setia ngedengerin atau emang terpaksa, kita punya lagu yang beneran serius karya Opick, Bila Waktu T’lah Berakhir.

Bila waktu t’lah berakhir..
(Eya bunyiin harmonikanya puaanjang banget. Eno b’renti bunyiin gerincingan. Ia berdiri gaya istirahat di tempat kayak hadirin pemakaman jendral). Dengan lirik religius dan teknik menyanyi seriosa Eya melanjutkan lagunya..

Bila waktu t’lah berakhir, bayar donk !!!

-  Duduk sambil mancing dan makan berondong manis.
-  Uto-uto (baca foto-foto) di bawah pohon kelapa.

Tapi sayang seribu sayang, acara ketiga dan keempat tidak jadi dilaksanakan karena petugas trantib keburu mengusir mereka atas tuduhan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesejahteran pengunjung.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger