Pada malam minggu,
Eya dan Eno tidak ikut ayahnya ke kota, secara
mereka lahir dan besar di tengah kota
metropolitan bernama Makassar. Karena delman
sudah sangat sulit ditemukan, maka mereka berdua selalu menghabiskan malam
dengan naik sepeda motor keliling kota
dan menjalankan hobi mengamati ciptaan Tuhan. Ini bukanlah nasib yang harus
ditanggung oleh dua remaja jomblo kita, melainkan suatu kesyukuran telah cukup
jauh dari pergaulan bebas yang nggak ada untung-untungnya itu.
Rute mereka hari ini
adalah turut meramaikan acara antri di pompa bensin. Mereka berdua ikut ngantri
di pompa bensin sekitar lima
belas menit,
“Brapa , Mba?”
“Sapa yang mo beli
bensin? Orang cuma mo tukar uang kecil, ada nggak?” jawab Eya enteng. Tanduk si
pegawai pertamina keluar perlahan tapi pasti.
Menurut cerita teman-teman
sekelas mereka, jalan Mannuruki yang dipenuhi tempat kos itu paling rame kalo
malam minggu. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk ikut serta. Sekedar ikutan
bunyiin klakson pas lagi macet-macetnya atau ngomelin pemilik mobil pribadi
yang parkir di jalanan.
Secara udah hapal
jalan itu sampai ke gang terkecil, sekali belok di lorong mereka langsung
sampai di jalan aman bebas macet dan kabur ke warung coto Makassar.
Di sini, entah jago atau selera pelayannya terhadap cewek emang cemen banget,
Eya selalu berhasil membuat mereka geer dengan pura-pura ketawa sambil
ngeliatin mereka ngelayani tamu. Padahal nih Eya sama Eno lagi ketawain resleting mereka yang buka toko.
Perut udah terisi
penuh oleh daging, hati, dan limpa kuda. Mereka melanjutkan perjalanan menuju
pantai. Ada
satu kejutan yang dibawa Eya hari ini. Ya…jika ditilik-tilik itu bukanlah hal
yang menggemparkan dunia persilatan atau dunia perjilatan. Justru merupakan
pertanda buruk bagi kemajuan tanah air Indonesia tercinta. Udara di
Indonesia nggak tercinta. Eya membawa hape baru dan ada mp3 playernya.
Dengan dodolnya,
kayak manusia dari jaman batu kapur, Eno meloncat-loncat kegirangan ngeliat
gadget mulai ketinggalan jaman yang dipamerin Eya.
“Gila, nyolong
dimana kamu?”
“Ini itu punya
kakakku,”
“Kakak kamu kan pelit, kok bisa?”
“Aku bilang
pulangnya nanti kuisiin pulsa,”
Eno masang ekspresi
anak teka liat perosotan, ngacak-ngacak hape itu sampai nggak tahu kalo lagi
nekan tombol switch off. Perlahan
layar hape itu memudar lalu tak ada cahaya sedikitpun. Keduanya pun panik
setengah mati. Mereka keliling-keliling pantai, berlarian kesana kemari kayak
ekor mereka udah pada kebakar. Eno dan Eya tak banyak tahu soal produk
teknologi.
“Bagaimana kalo kita
minta bantuan orang?”
Baru ngomong gitu, seorang anak
kecil, kira-kira masih teka nol kecil menghampirinya. Ia tersenyum, mamerin
gigi ompong tiga sambil megang gulali pink.
“Kakak beldua
tenapa?” (artinya: lo pada kenapa?)
“Enggak kok. Kita
lagi pusing sama hape ini,” Eno pun menunjukkan hape itu.
“Lusak?” (artinya: rusak ya?)
“Gini, tadi kakak
nggak sengaja ngacak-ngacakin tombolnya trus langsung koit gitu,”
“Alah, kakak beldua
ini bedo amat. Ini tindal didiniin kan
lantung nala. Tuh belsinal ladi, buni ladi…tenonenot…tenonenonet…” (artinya: tuh hape nyala lagi).
“Eh, iya. Ade
pintal!!!”
“Bukan pintal, tapi
pintar. Kakak bedo!”
“Bukan bedo, tapi
bego!”
“Iya, saya tau. Sok
tua kakak ini,”
Rambut Eno seketika
berdiri semua kayak tentara mau perang. Dia udah bersiap-siap mau ngejitak
kepala tuh anak ompong tiga biar tau rasa. Eya mencegahnya,
“Eh, anak kayak gini
belum punya dosa. Kualat kamu,”
“Jadi yang tadi itu
bukan dosa?”
“Nggak sukur kamu
udah ditolongin,”
Eya menghampiri anak kecil itu,
“Gini sebagai ucapan terima kasih, kakak mau beliin kamu sesuatu. Apa aja,”
“Beneran ni apa
aja?” (artinya: dia ngeyakinin Eya)
Eya tersenyum manis,
“Ade kecil mau apa?”
“Saya mau mobil,” (artinya: udah jelas tuh. Bedo amat sih lo)
“Mobil-mobilan, ntar
ya kakak beliin di depan sana,”
“Bukan
mobil-mobilan. Tapi mobil benaran kayak yang diparkiran itu,”
Eya juga langsung kesal
ngedengar nih anak ompong tiga permintaannya ga masuk di akal. Minta mobil sama
dua orang yang berencana jual harga diri buat dapetin mobil. Apalagi cuma buat
imbalan atas menghidupkan kembali hape kamera butut jelek itu.
“Hmm….ade ompong
minta yang lain aja…”
“Pokoknya mau mobil.
Kalo nggak ini hape dimatiin lagi..”
“Matiin coba kalo
berani!”
Tuh anak kecil beneran switch off-in hapenya lagi.
Setelah ngerampas
hapenya dari tangan anak itu, dengan tanpa pertimbangan matang, (emang Eya
nggak pernah pake timbangan kalo mau bertindak, kecuali pada hari minggu waktu
bantuin ibunya jual bawang kiloan di pasar), dia langsung ngasih hadiah anak
itu dengan tiga kali jitakan di ubun-ubunnya. Sontak tuh anak kecil ompong tiga
nangis nggak ketulungan.
Sedikitnya dua orang
kesedak pisang epek dan lima
orang nggak jadi ciuman gara-gara tangisan falsetnya yang bikin sakit kuping.
Sambil nangis anak itu berlari ke arah ibunya yang lagi jualan minuman. Eya dan
Eno lari terbirit-birit ke arah anjungan.
Hampir saja acara
malam minggu dua cewek jomblo bahagia terusik oleh ulah anak kecil sok lugu.
Mereka pun melanjutkan recana paling jail mereka sebelum malam semakin larut.
Daftar acara malam mingguan:
- Baca koran. Salah
satu hal yang paling disukai Eya. Caranya: beli koran sore harga seribu di
lampu merah dari anak kecil sumbing. Kemudian bawa korannya ke anjungan.
Bacalah dengan suara keras sambil kaki diselonjorin ke atas.
“Berita
hari ini, eh sore ini. Menurut badan meteorologi dan geofisika, daerah selat
Makassar mulai terancam gempa dan mungkin saja menciptakan tsunami terbesar
kedua di Indonesia…hasil
penelitian ini adalah yang terbaru…”
Setelah itu,
perhatikan sekeliling. Jika ada pasangan yang nggak jadi ciuman, itu berarti
mereka takut kena adzab.
- Jadi pengamen.
Tenang dulu para hadirin, ini emang kerjaan Eno dan Eya di hari libur. Jangan
salah, suara mereka bisa diadu sama kwek-kweknya bebek atau burung beo kejepit
kandang sendiri. Buat ngamen nggak butuh gitar, sasando, atau suling. Harmonika
dan gerincingan udah jadi modal gede.
Daftar lagu malam
ini: potong bebek angsa, balonku ada lima,
Indonesia Tanah Airku, SMS, dan Bila Waktu t’lah berakhir. Simaklah penampilan
mereka berdua!
Potong
bebek angsa…angsa dikadalin…
Nona
minta dansa….dansa aja n’diri…
Sorong
ke kiri…sorong ke kanan…
Ya…seribu
aja ongkos parkirnya….
Slamat malam
ibu-ibu, bapak-bapak, nenek-nenek, para selingkuhan dan pedagang harga
diri…nikmati lagu kedua kami…
Balonku
ada lima..
Rupa-rupa
warnanya…
Ijo
kuning lango-lango[1]
merah muda dan biru
Ikh…ikh…ikh…
(ada suara Mulan Jamidong pada akhir lagu)
Indonesia
tanah air beeetaa
Pusakaa
aabadi naan jaaayaa
Indoneesia
sejaak dulu kaalaaa
S’lalu
nyiksa-nyiksa bangsaaa
Eee…bang
sms siapa ini bang
Bang
pesannya pake tolong-tolong…
Bang
bang tut
Ada
yang kentut
(preettt)
ringtone hape siapa tuh?
Untuk terakhir para
hadirin yang selalu setia ngedengerin atau emang terpaksa, kita punya lagu yang
beneran serius karya Opick, Bila Waktu T’lah Berakhir.
Bila
waktu t’lah berakhir..
(Eya bunyiin
harmonikanya puaanjang banget. Eno b’renti bunyiin gerincingan. Ia berdiri gaya istirahat di tempat
kayak hadirin pemakaman jendral). Dengan lirik religius dan teknik menyanyi
seriosa Eya melanjutkan lagunya..
Bila
waktu t’lah berakhir, bayar donk !!!
- Duduk sambil mancing
dan makan berondong manis.
- Uto-uto (baca
foto-foto) di bawah pohon kelapa.
Tapi sayang seribu
sayang, acara ketiga dan keempat tidak jadi dilaksanakan karena petugas trantib
keburu mengusir mereka atas tuduhan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan
kesejahteran pengunjung.
0 komentar:
Post a Comment