Tuesday, 6 November 2012

Otak kiri, Otak Hantu



gambar dari amazon.com
Malam semakin gelap, udara dingin menusuk tajam, rasanya kaki Zahra tak mampu berayun. Seekor burung malam tiba-tiba melintas di atas kepalanya. Ia berteriak ketakutan. Jujur saja, Wira sama sekali tidak tega melihat Zahra pulang sendirian, apalagi lewat jam sepuluh malam seperti ini. Ia hanya tidak tahan akan Zahra yang begitu enggan berurusan dengan pelajaran matematika. Wira tahu saat SD dulu nilai matematika Zahra nggak seburuk sekarang, di bawah enam. Mungkin karena ia kebanyakan main musik, nonton film, baca novel dan kegiatan yang menyibukkan otak kanan saja yang menyebabkan kemampuan penalarannya terhadap angka-angka jadi berkurang. Nilainya pada mata pelajaran yang bersifat perhitungan sekarang anjlok seperti bus jatuh ke jurang, untung otaknya juga nggak sampai meledak. Zahra butuh paksaan dan tekanan agar mau belajar matematika lebih keras dari sebelumnya. Wira nggak mau lulus esema sendirian. “Sekarang kerjain latihan satu nomor delapan,” pinta Wira lembut.
Zahra menjawab malas, “Aku nggak bisa…”
“Coba dulu lah, ayo!” nada suara Wira meninggi.
“Udah, deh aku mau pulang…” Zahra merapikan buku-buku pelajarannya. “Aku pulang ya, anterin dong!”
“Nggak sebelum soal ini kamu jawab!” amarah Wira susah ditahan lagi.
“Ya, sudah. Aku bisa pulang sendiri. Rumahku juga nggak jauh-jauh amat. Assalamu ‘alaikum…”
 Zahra ngecek bintang-bintang di langit, banyak. Nggak ada tanda-tanda hujan akan turun, apalagi angin berhembus biasa saja. Ia mencoba berfikir positif, emang udah saatnya udara makin dingin pada pukul seperti ini. Kata pak guru, kalo lagi konsentrasi, makhlus halus nggak akan mengganggu. Zahra mengingat-ingat rumus yang diajarkan Wira barusan.
“Batas aa ef ex de ex sama dengan nol. Batas ab ef ex de ex sama dengan hm...hmm..apa lagi ya?”
“Sama dengan mines batas ab ef ex de ex, segitu aja kok lupa sih…” celutuk seseorang, eh sesosok makhluk dengan kaki tak menyentuh tanah yang tepat berdiri di hadapannya. Zahra kaget, lalu rebah.

 “Akhirnya kamu bangun juga. Diet dikit, dong! Aku kecapean, nih ngangkat kamu kemari,” celutuk sesosok itu lagi. Kali ini sosok itu muncul dengan tampilan berbeda, bergaya penyanyi r ‘n b lengkap dengan blink-blink panjangnya. Kaki sosok itu kini menapak di lantai kamarnya. Sambil nyengir lebar si hantu memperkenalkan diri, namanya Nimo. Itu julukannya waktu masih hidup, nama di batu nisan sih Rokhimah. Dia mati waktu lagi ujian matematika di sekolahan Zahra. Rohnya masih berlalu-lalang di bumi, karena waktu masih hidup ia selalu tidak tega melihat siswa yang kesulitan menyeselesaikan soal perhitungan. Nimo menunduk di depan Zahra, memberi salam,
 “Aku akan membantumu belajar matematika,”
Ujian evaluasi bab 1 tinggal 12 jam lagi. Tepatnya pukul delapan besok pagi. Zahra masih bingung menatap buku cetak matematika dan kertas cakarannya yang masih kosong, bersih, putih dan tak suci. Nimo muncul dari jendela kamar, terbang menjinjing tas besar. Tas itu berisikan buku-buku catatan Nimo semasa hidup dulu, baunya tidak enak. Ada sepasang kutu buku yang berlarian keluar saat Zahra membuka buku corat-coret warna biru.
“Coba buka halaman tengah, aku ingat pernah bikin rumus singkat untuk meyelesaikan persamaan integral. Kayaknya bakal mudah kamu mengerti tuh,” Zahra manggut-manggut. Nimo pun menjelaskan apa yang telah dijelaskan Wira kemarin malam. Zahra menguap, jam baru menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit.
“Perhatiin, ini dikurang yang ini. Terus begitu sampai habis… jangan tidur, dong!” Zahra mengatur posisi duduk, “Iya, terus gimana lagi?”
Nimo menulis beberapa soal di buku catatan Zahra tanpa memegang pena, Zahra sedikit terperangah. Pulpennya menari-nari sendiri mengikuti tatapan mata Nimo yang tajam. “Kerjakan ini, aku mau pergi dulu,” ujar Nimo lalu melesat kencang lewat jendela.
Gubrak! Zahra ketiduran, baru terbangun pukul 7 pagi. Dua hal yang membuatnya lunglai, tidak shalat subuh dan tidak satupun soal yang ia selesaikan. Di kelas, Zahra tak henti garuk-garuk kepala. Lima menit lagi pak Sutejo datang membawa kertas-kertasnya yang buas. Ia mencoba menyusuri otak kiri, tak satupun yang ia ingat tentang pelajaran dari Nimo ataupun Wira. Sesaat kemudian teman-temannya berhamburan masuk ke kelas, menyusul Pak Sutejo yang berwajah tak kenal ampun langsung membagi soal.
“Jumlahnya 10 soal, selesaikan dalam waktu 60 menit. Dilarang menoleh ke arah manapun. Tiga kali teguran, nilai melayang!” Pak Sutejo mengucapkan kalimat pamungkasnya.
Coret sana, coret sini, mulut manyun, mata belo, alis naik-turun, nafas memburu, Zahra tak mengerti apa-apa. Otak kirinya memang sudah lapuk. Cling! Nimo muncul di jendela kelas sambil nyengir. “Gimana, gampang kan?” teriak Nimo. Zahra menggeleng kencang. Nyengir Nimo berubah jadi seringai. Sekejap ia sudah berada di samping Zahra dengan mata terbelalak,
“Plis, jangan gitu. Merem aja kamu udah serem. Beneran, aku nggak ngerti,” ujar Zahra takut. Sepuluh menit lagi Pak Sutejo akan mengumpulkan lembar jawaban. Zahra semakin takut. Otaknya tidak bisa diandalkan, perlahan matanya berkaca-kaca. Nimo panik bukan main,
“Ets, jangan nangis. Aku bakal bantuin, oke…tenang ya..cup..cup…”
Sekali kerlingan, kertas jawaban Zahra sudah dipenuhi angka-angka. Sepuluh soal terjawab tanpa coretan. Zahra tersenyum bahagia saat Pak Sutejo mengambil kertasnya.
Berkali-kali ujian kertas Zahra tak pernah kosong lagi. Seisi kelas menjulukinya the matchmaster. Apalagi dia jadi siswi teraktif saat kuis matematika. Pak Sutejo expert luar biasa melihat perkembangannya dan Wira sumringah telah menemukan teman untuk mendaftar di perguruan tinggi favorit. Tapi tunggu dulu, semua tidak lepas dari campur tangan, kaki, dan otak Nimo. Nimo yang memberitahunya cara menjawab kuis, cara mengerjakan soal di papan tulis, dan tentu saja mengisi lembar ujian. Bukannya Nimo menyerah, tapi hantu baik hati ini selalu tidak tega melihat majikannya linglung punya saat ujian meski malam sebelumnya ia sudah semangat pahlawan mengajari.
Minggu depan ujian nasional tiba. Taratataaat…tarataaat…gerbang kelulusan telah terbuka lebar. Zahra bersiap-siap menyambut hari terakhirnya di esema. “Pelajaran ekonomi dan bahasa sudah di luar kepala. Tinggal tunggu soal, langsung jawab. Matematika? Jangan takut, ada Nimo,” batinnya.
“Acting dikit, dia luluh. Segenap hatiku luluh lantak…hahah. Ya Allah… hantu yang satu ini beneran baik ya…terima kasih, terima kasih atas anugerahnya…”
Hari ujian tiba, Zahra datang paling pagi, paling ceria, paling harum. Wira terperangah melihatnya sudah duduk manis bak puteri rembulan di dalam kelas sebelum pukul tujuh.
“Ra, kamu itu ratu telat. Tumben datang cepat?” ejek Wira.
“Hahaha…aku udah tobat, sobat. Nggak boleh malas-malasan lagi, kan udah mo lulus,” jawab Zahra mantap.
Pengawas ujian datang, Pak Sutejo lagi. Biasanya Zahra kontan bergidik melihat guru satu ini masuk kelas, kali ini no more. Ia santai nian mengerjakan mata ujian pertama, bahasa Indonesia. Set…set…set, silang a lalu b. Otak kanannya bekerja super cepat. Selesai. Soal selanjutnya, “Bismillahirrahmanirrahim…” Zahra membalik lembar jawaban, lembar soal diabaikan.
“Nimo…nimo…” ia mencoba memanggil Nimo. Zahra menunggu cukup lama, si hantu belum datang. Sekali lagi, “Nimo…Nimo…” hantu itu masih belum datang. Zahra menatap jendela kelas, mungkin Nimo udah dari tadi di sana. Ternyata tidak. Ia mulai resah, tiba-tiba di papan tulis muncul tulisan Nimo dengan font dua ratus perlahan-lahan merembes keluar, “Sorry, aku nggak bisa datang. Ada rapat Forum Hantu di Amsterdam,”
Zahra tertunduk lemas, kali ini pengen nangis sejadi-jadinya. Dipanggilnya Wira yang duduk berjarak dua bangku darinya, tidak ada respon. Pak Sutejo menegur.
“Kartu kuning, Zahra!”
Kaki Zahra mendingin, jemarinya bergetaran dan terdengar suara kerusakan dari jatungnya yang berdegup terlalu kencang, ia mencoba membalik lembar soal di hadapannya. Melirik soal pertama. Tangan dan otak kirinya mulai bekerja sama. Hatinya tak henti berdoa. Cakar sana, cakar sini, dahi mengerut, keringat dingin bercucuran, dan…Zahra bisa. Lanjut ke soal nomor dua, ia mencoba memutar ulang memori otak kirinya. Mengingat-ingat isi catatan Nimo, mendengar kembali penjelasan Nimo dan Wira. Selesai lagi. Perjuangan otak kiri Zahra semakin gencar saat pak Sutejo berteriak bahwa waktu tinggal tiga puluh menit.
Teng! Teeng! Teeeng!!!
Bel berdentang keras. Pak Sutejo berkeliling mengumpulkan semua lembar jawaban. Zahra tersenyum sekecut jeruk purut belum masak saat menyerahkan kertasnya. Keringat dingin masih mengalir.
¨¨¨

“Nggak! Nggak mau…!!!” Zahra menolak mati-matian ajakan Wira untuk melihat pengumuman kelulusan bersama-sama.
“Kenapa, sih? Ayo…! Kamu pasti dapat nilai tinggi,” muka Wira menunjukkan keyakinan dahsyat. Zahra jadi patah arang. Terpaksa ia mengikuti langkah Wira menuju mading sekolah. Dengan mata setengah terpejam dan jantung yang siap sedia untuk berhenti berdetak, ia melakukan scanning untuk nama lengkapnya, Zahara Mukarramah. Ckat!
Zahara Mukarramah  : LULUS
Bahasa Indonesia      : 9
Bahasa Inggris          : 8
Ekonomi                   : 7
Matematika               : 8….!!!
Ada bunga-bunga yang bermekaran di dalam dadanya. Ia melihat sekeliling lapangan sekolah seperti padang melati putih dan para siswa ibarat peri-peri kecil yang tengah dihadiahi sayap emas berkilauan. Senyum Zahra mengembang cepat menjadi tawa riang. Satu nama seketika muncul di benaknya, Nimo. Zahra berlari menuju toilet siswi sembari memanggil-manggil nama Nimo dalam hati. Sekelebat bayangan muncul dari jendela toilet, Nimo datang berpakaian baju tradisional Belanda.
“Alhamdulillah, Nimo. Aku lulus, matematikaku delapan! Thanx a lot,” Zahra kontan memeluk Nimo. Tubuhnya tembus ke belakang, dahinya kejedot pintu Sekelompok siswi yang memasuki toilet pingsan berjamaah melihat adegan barusan. Ada hantu kompeni di toilet sekolah! Nimo dan Zahra nyengir kompak.

¨¨¨



0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger