gambar dari amazon.com |
Malam semakin gelap, udara dingin menusuk tajam,
rasanya kaki Zahra tak mampu berayun. Seekor burung malam tiba-tiba melintas di
atas kepalanya. Ia berteriak ketakutan. Jujur saja, Wira sama sekali tidak tega
melihat Zahra pulang sendirian, apalagi lewat jam sepuluh malam seperti ini. Ia
hanya tidak tahan akan Zahra yang begitu enggan berurusan dengan pelajaran
matematika. Wira tahu saat SD dulu nilai matematika Zahra nggak seburuk sekarang,
di bawah enam. Mungkin karena ia kebanyakan main musik, nonton film, baca novel
dan kegiatan yang menyibukkan otak kanan saja yang menyebabkan kemampuan
penalarannya terhadap angka-angka jadi berkurang. Nilainya pada mata pelajaran
yang bersifat perhitungan sekarang anjlok seperti bus jatuh ke jurang, untung
otaknya juga nggak sampai meledak. Zahra butuh paksaan dan tekanan agar mau
belajar matematika lebih keras dari sebelumnya. Wira nggak mau lulus esema
sendirian. “Sekarang kerjain latihan satu nomor delapan,” pinta Wira lembut.
Zahra menjawab malas, “Aku nggak bisa…”
“Coba dulu lah, ayo!” nada suara Wira meninggi.
“Udah, deh aku mau pulang…” Zahra merapikan
buku-buku pelajarannya. “Aku pulang ya, anterin dong!”
“Nggak sebelum soal ini kamu jawab!” amarah Wira
susah ditahan lagi.
“Ya, sudah. Aku bisa pulang sendiri. Rumahku juga
nggak jauh-jauh amat. Assalamu ‘alaikum…”
Zahra ngecek
bintang-bintang di langit, banyak. Nggak ada tanda-tanda hujan akan turun,
apalagi angin berhembus biasa saja. Ia mencoba berfikir positif, emang udah
saatnya udara makin dingin pada pukul seperti ini. Kata pak guru, kalo lagi
konsentrasi, makhlus halus nggak akan mengganggu. Zahra mengingat-ingat rumus
yang diajarkan Wira barusan.
“Batas aa ef ex de ex sama dengan nol. Batas ab ef
ex de ex sama dengan hm...hmm..apa lagi ya?”
“Sama dengan mines batas ab ef ex de ex, segitu aja
kok lupa sih…” celutuk seseorang, eh sesosok makhluk dengan kaki tak menyentuh
tanah yang tepat berdiri di hadapannya. Zahra kaget, lalu rebah.
“Akhirnya kamu bangun juga. Diet dikit, dong! Aku kecapean, nih ngangkat kamu
kemari,” celutuk sesosok itu lagi. Kali ini sosok itu muncul dengan tampilan
berbeda, bergaya penyanyi r ‘n b lengkap dengan blink-blink panjangnya. Kaki
sosok itu kini menapak di lantai kamarnya. Sambil nyengir lebar si hantu memperkenalkan
diri, namanya Nimo. Itu julukannya waktu masih hidup, nama di batu nisan sih
Rokhimah. Dia mati waktu lagi ujian matematika di sekolahan Zahra. Rohnya masih
berlalu-lalang di bumi, karena waktu masih hidup ia selalu tidak tega melihat
siswa yang kesulitan menyeselesaikan soal perhitungan. Nimo menunduk di depan Zahra,
memberi salam,
“Aku akan
membantumu belajar matematika,”
Ujian evaluasi bab 1 tinggal 12 jam lagi. Tepatnya
pukul delapan besok pagi. Zahra masih bingung menatap buku cetak matematika dan
kertas cakarannya yang masih kosong, bersih, putih dan tak suci. Nimo muncul
dari jendela kamar, terbang menjinjing tas besar. Tas itu berisikan buku-buku
catatan Nimo semasa hidup dulu, baunya tidak enak. Ada sepasang kutu buku yang
berlarian keluar saat Zahra membuka buku corat-coret warna biru.
“Coba buka halaman tengah, aku ingat pernah bikin
rumus singkat untuk meyelesaikan persamaan integral. Kayaknya bakal mudah kamu
mengerti tuh,” Zahra manggut-manggut. Nimo pun menjelaskan apa yang telah
dijelaskan Wira kemarin malam. Zahra menguap, jam baru menunjukkan pukul sembilan
lewat lima menit.
“Perhatiin, ini dikurang yang ini. Terus begitu
sampai habis… jangan tidur, dong!” Zahra mengatur posisi duduk, “Iya, terus
gimana lagi?”
Nimo
menulis beberapa soal di buku catatan Zahra tanpa memegang pena, Zahra sedikit
terperangah. Pulpennya menari-nari sendiri mengikuti tatapan mata Nimo yang
tajam. “Kerjakan ini, aku mau pergi dulu,” ujar Nimo lalu melesat kencang lewat
jendela.
Gubrak! Zahra ketiduran, baru terbangun pukul 7 pagi.
Dua hal yang membuatnya lunglai, tidak shalat subuh dan tidak satupun soal yang
ia selesaikan. Di kelas, Zahra tak henti garuk-garuk kepala. Lima menit lagi
pak Sutejo datang membawa kertas-kertasnya yang buas. Ia mencoba menyusuri otak
kiri, tak satupun yang ia ingat tentang pelajaran dari Nimo ataupun Wira.
Sesaat kemudian teman-temannya berhamburan masuk ke kelas, menyusul Pak Sutejo
yang berwajah tak kenal ampun langsung membagi soal.
“Jumlahnya 10 soal, selesaikan dalam waktu 60 menit.
Dilarang menoleh ke arah manapun. Tiga kali teguran, nilai melayang!” Pak
Sutejo mengucapkan kalimat pamungkasnya.
Coret sana, coret sini, mulut manyun, mata belo,
alis naik-turun, nafas memburu, Zahra tak mengerti apa-apa. Otak kirinya memang
sudah lapuk. Cling! Nimo muncul di jendela kelas sambil nyengir. “Gimana,
gampang kan?” teriak Nimo. Zahra menggeleng kencang. Nyengir Nimo berubah jadi
seringai. Sekejap ia sudah berada di samping Zahra dengan mata terbelalak,
“Plis, jangan gitu. Merem aja kamu udah serem.
Beneran, aku nggak ngerti,” ujar Zahra takut. Sepuluh menit lagi Pak Sutejo
akan mengumpulkan lembar jawaban. Zahra semakin takut. Otaknya tidak bisa
diandalkan, perlahan matanya berkaca-kaca. Nimo panik bukan main,
“Ets, jangan nangis. Aku bakal bantuin, oke…tenang
ya..cup..cup…”
Sekali
kerlingan, kertas jawaban Zahra sudah dipenuhi angka-angka. Sepuluh soal
terjawab tanpa coretan. Zahra tersenyum bahagia saat Pak Sutejo mengambil
kertasnya.
Berkali-kali ujian kertas Zahra tak pernah kosong
lagi. Seisi kelas menjulukinya the
matchmaster. Apalagi dia jadi siswi teraktif saat kuis matematika. Pak
Sutejo expert luar biasa melihat perkembangannya dan Wira sumringah telah
menemukan teman untuk mendaftar di perguruan tinggi favorit. Tapi tunggu dulu,
semua tidak lepas dari campur tangan, kaki, dan otak Nimo. Nimo yang
memberitahunya cara menjawab kuis, cara mengerjakan soal di papan tulis, dan
tentu saja mengisi lembar ujian. Bukannya Nimo menyerah, tapi hantu baik hati
ini selalu tidak tega melihat majikannya linglung punya saat ujian meski malam
sebelumnya ia sudah semangat pahlawan mengajari.
Minggu depan ujian nasional tiba.
Taratataaat…tarataaat…gerbang kelulusan telah terbuka lebar. Zahra bersiap-siap
menyambut hari terakhirnya di esema. “Pelajaran ekonomi dan bahasa sudah di
luar kepala. Tinggal tunggu soal, langsung jawab. Matematika? Jangan takut, ada
Nimo,” batinnya.
“Acting dikit, dia luluh. Segenap hatiku luluh
lantak…hahah. Ya Allah… hantu yang satu ini beneran baik ya…terima kasih,
terima kasih atas anugerahnya…”
Hari ujian tiba, Zahra datang paling pagi, paling
ceria, paling harum. Wira terperangah melihatnya sudah duduk manis bak puteri
rembulan di dalam kelas sebelum pukul tujuh.
“Ra, kamu itu ratu telat. Tumben datang cepat?” ejek
Wira.
“Hahaha…aku udah tobat, sobat. Nggak boleh
malas-malasan lagi, kan udah mo lulus,” jawab Zahra mantap.
Pengawas
ujian datang, Pak Sutejo lagi. Biasanya Zahra kontan bergidik melihat guru satu
ini masuk kelas, kali ini no more. Ia
santai nian mengerjakan mata ujian pertama, bahasa Indonesia. Set…set…set,
silang a lalu b. Otak kanannya bekerja super cepat. Selesai. Soal selanjutnya,
“Bismillahirrahmanirrahim…” Zahra membalik lembar jawaban, lembar soal diabaikan.
“Nimo…nimo…” ia mencoba memanggil Nimo. Zahra
menunggu cukup lama, si hantu belum datang. Sekali lagi, “Nimo…Nimo…” hantu itu
masih belum datang. Zahra menatap jendela kelas, mungkin Nimo udah dari tadi di
sana. Ternyata tidak. Ia mulai resah, tiba-tiba di papan tulis muncul tulisan
Nimo dengan font dua ratus perlahan-lahan merembes keluar, “Sorry, aku nggak bisa datang. Ada rapat Forum
Hantu di Amsterdam,”
Zahra tertunduk lemas, kali ini pengen nangis
sejadi-jadinya. Dipanggilnya Wira yang duduk berjarak dua bangku darinya, tidak
ada respon. Pak Sutejo menegur.
“Kartu kuning, Zahra!”
Kaki
Zahra mendingin, jemarinya bergetaran dan terdengar suara kerusakan dari
jatungnya yang berdegup terlalu kencang, ia mencoba membalik lembar soal di
hadapannya. Melirik soal pertama. Tangan dan otak kirinya mulai bekerja sama.
Hatinya tak henti berdoa. Cakar sana, cakar sini, dahi mengerut, keringat
dingin bercucuran, dan…Zahra bisa. Lanjut ke soal nomor dua, ia mencoba memutar
ulang memori otak kirinya. Mengingat-ingat isi catatan Nimo, mendengar kembali
penjelasan Nimo dan Wira. Selesai lagi. Perjuangan otak kiri Zahra semakin
gencar saat pak Sutejo berteriak bahwa waktu tinggal tiga puluh menit.
Teng! Teeng! Teeeng!!!
Bel berdentang keras. Pak Sutejo berkeliling
mengumpulkan semua lembar jawaban. Zahra tersenyum sekecut jeruk purut belum
masak saat menyerahkan kertasnya. Keringat dingin masih mengalir.
¨¨¨
“Nggak! Nggak mau…!!!” Zahra menolak mati-matian
ajakan Wira untuk melihat pengumuman kelulusan bersama-sama.
“Kenapa, sih? Ayo…! Kamu pasti dapat nilai tinggi,”
muka Wira menunjukkan keyakinan dahsyat. Zahra jadi patah arang. Terpaksa ia
mengikuti langkah Wira menuju mading sekolah. Dengan mata setengah terpejam dan
jantung yang siap sedia untuk berhenti berdetak, ia melakukan scanning untuk nama lengkapnya, Zahara
Mukarramah. Ckat!
Zahara Mukarramah :
LULUS
Bahasa Indonesia :
9
Bahasa Inggris :
8
Ekonomi :
7
Matematika :
8….!!!
Ada
bunga-bunga yang bermekaran di dalam dadanya. Ia melihat sekeliling lapangan
sekolah seperti padang melati putih dan para siswa ibarat peri-peri kecil yang tengah
dihadiahi sayap emas berkilauan. Senyum Zahra mengembang cepat menjadi tawa
riang. Satu nama seketika muncul di benaknya, Nimo. Zahra berlari menuju toilet
siswi sembari memanggil-manggil nama Nimo dalam hati. Sekelebat bayangan muncul
dari jendela toilet, Nimo datang berpakaian baju tradisional Belanda.
“Alhamdulillah, Nimo. Aku lulus, matematikaku
delapan! Thanx a lot,” Zahra kontan
memeluk Nimo. Tubuhnya tembus ke belakang, dahinya kejedot pintu Sekelompok siswi
yang memasuki toilet pingsan berjamaah melihat adegan barusan. Ada hantu
kompeni di toilet sekolah! Nimo dan Zahra nyengir kompak.
¨¨¨
0 komentar:
Post a Comment