gambar dari 4.bp.blogspot |
Hari
pertama masuk di kelas satu sekolah menengah pertama membuat Eya deg-degan
habis.
“Sudah
siap? Yakin tidak ada yang ketinggalan?” tanya papa dari atas mobil kodok
mereka yang bobrok dan udah hampir roboh itu.
“Siip..”
Eya pun naik Dua lembar roti tawar meses cokelat berpelukan terjepit kayak
pisang epek di mulutnya. Karena makan terlalu lahap, sepotong rotinya terjatuh.
“Jangan
kotorin mobil!” Ayah Eya nggak nyadar lagi marahin diri sendiri. Sejak dibeli,
mobil itu sudah dilumurinya dengan berbagai jenis kulit buah dan kotoran burung
perkututnya. Belum lagi kalo temen kantornya yang sering kebelet nebeng pulang,
“Sol, aku ikut kau pulang nah! Angkot ke rumahku
susah kalo udah sore begini,” bujuk temen kantornya itu. Di perjalanan, dia
pengen pipis,
“Sol, bisa brenti dulu, aku mo buang air keecil ini,”
Ayah Eya pusing. Kalo mobilnya brenti, bisa mogok.
Dalam sehari mobil bututnya itu hanya bisa nyala dua kali dan selama perjalanan
nggak boleh mati. Dengan berat hati, beliau bilang,
“Buang aja di situ,”
Si temen kantornya masa bodo tuh mobil mao bau apa
nggak, dia pipis aja di atas jok mobil sambil jongkok.
“Kenapa kau begitu?”
“Kau suruh saya pipis disini tadi, bagaimana kau ini,”
“Tapi maksudku kau pake kantong pelastik,”
“Sori, partneer!”
***
Ayah Eya
masih belom sadar diri bahwa dialah pelaku utama dari bruknya penampilan benda
beroda empat itu.
“Ambil
tuh! Eeheh…Eya…” tiba-tiba papanya teriak.
“ITU
KENAPA HANDUKNYA MASIH DIPAKE?”
Eya
menoleh ke bawah. Handuk polkadot diselingi gambar miki mos pake popok terlilit
rapi di pinggangnya
Kejadian
amnesia tadi pagi bikin Eya telat masuk sekolah di hari pertama. Ia pun dihukum
membersihkan toilet guru.
“Kamu
masih murid baru sudah cetak poin pelanggaran. Lima ,”
“Bagus,
dong pak. Lima-kosong. Aku menang!”
“Bego,”
“Apa,
pak?”
“Udah,
bersihin toiletnya dan cepat masuk kelas!”
Dengan
langkah gontai mirip nenek-nenek peot Eya menenteng seember air dan alat pel ke
lokasi tujuan. Hari ini ia akan berjihad, membersihkan toilet sekolah dari
kotoran, kuman, dan virus HIV AIDS? Loh? Iya, hari gini orang-orang tidak kenal
tempat untuk melakukan hal yang tidaktidaktidak masuk di akalnya anak teka nol
besar.
Segepok
benda berharga tergeletak nyinyir di tengah-tengah kloset. Warnanya kuning dan
menarik perhatian komunitas lalat.
“Buuusyeet…emas
bertuah. Punya siapa?!” teriak Eya lantas berlari keluar. Satpam yang
mengomelinya tadi mencegat di depan koridor.
“Mau
lari dari tanggung jawab ya?”
“Bukan.
Tapi lari dari kenyataan, pak. Gila toiletnya jual emas. Suruh cleaning servis sekolahan ini ajah…”
Tiba-tiba
orang yang dimaksudkan melintas.
“Dik,
saya nggak butuh emas begituan. Nih, masih banyak sisanya di bokong saya,”
ujarnya seraya nunjuk-nunjuk pantat tak berbudi miliknya. Eya curiga lubangnya
ada dua karena taik di kloset melimpah-ruah begitu.
Mau tak
mau harus mau karena kemauan itu harus dimaukan, gimana mau nggak? Eya kembali
ke toilet setelah mengenakan lima lapis masker
yang diberi lima
kali semprotan parfum. Tapi bau “emas” ajaib itu masih tercium jelas. Dari
jarak dua meter Eya menyiramnya dengan seember air. Apa yang terjadi? Bukannya
melesat turun ke sukunya, “emas” itu malah terhambur keluar. Seharusnya
pemerintah menggaji para petugas kebersihan lima kali lebih tinggi.
Pekerjaan
mulia itu selesai dua jam kemudian. Setelah ia membersihkan semua lantai
koridor dari sisa-sisa ledakan emas berbau dan setelah pulang ke rumahnya untuk
membersihkan diri. Beruntung guru pelajaran pertama tidak datang. Eya masuk ke
kelasnya dan duduk di kursi terdepan. Kursi yang paling menakutkan. Dimana pada
sudut nol derajat, pada jarak lurus ke depan, ia bisa langsung bertatapan
dengan sang guru.
Asyik,
asyik, asyik,…Eya sibuk ngegaruk perut sambil ngeliatin tiga puluh sembilan
teman barunya. Sesekali telunjuknya masuk ke puser. Eya menemukan sebatang
bambu, eh seorang manusia bertubuh sangat tinggi tengah sibuk memperbaiki
jambulnya (bukan di dalam puser). Di sudut lain duduk anak perempuan yang dari
depan kelas hanya kelihatan mukanya aja. Leher pundak-punggung-pinggul-kaki
ketelan meja.
“Ei, Ei,
Ei, pulpen lo jatuh,” seseorang yang tepat duduk di belakangnya memperingatkan.
Eya menoleh. Anak cowok berlubang hidung gede. Saking gedenya, beruang kutub
bisa main catur di dalam.
“Makasih,”
ujar Eya seraya mengambil pulpennya di bawah meja.
“Dari
esempe mana lo?” tanya anak itu dengan telunjuk masih hinggap di salah satu
lubang hidungnya. Makin lama makin ke dalam. Menusuk-nusuk. Mengorek-ngorek
ma’nyoees…
“Esempe
limalima. Lo?” jawab Eya.
Anak itu
tidak menjawab. Masih dengan posisi jari semula, sembunyi dalam ruang gelap
gulita bernama lobang hidung. Hidungnya terangkat lebih ke atas.
“Tau
dimana esempe gue?”
“Kan lo belum jawab
tadi,”
“Maksud
gue tuh. Ini,” anak itu mengeluarkan telunjuknya yang memperoleh kutil instan
dari dalam idung. Nunjukin angka satu.
“Ikh,
jijik! Pergi, ah”
“Eh,
tunggu dulu. Udah tau belum dimana esempe gue?”
“SMP Upil Jaya!” jawab Eya sekenanya.
Eya
beranjak ke bangku di samping kirinya yang dihuni dua cewek manis. Satunya
bertubuh jangkung, satunya bergigi jangkung.
“Kenalin,
namaku Eya. Kalian?”
Cewek
bergigi unik menyahut, “Tanya kita?”
“Iya,
masa tokek sih,”
(Inilah
saatnya terdengar suara tokek dari atas plafon kelas, drrtt…to’kek…to’kek…to’nek…to’cucu…)
“Hmm,
gue Ruri,” jawab si gigi
“Gue
Eno,” jawab si tubuh jangkung.
“Ke
kantin, yuk!” ajak Ruri. Ajakan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang
menyesakkan dada Eya sejak tadi, “Ada
apa gerangan hingga giginya bisa sepanjang itu? Apakah Yang Kuasa telah mengutuknya karena mencoba
ngegigit batang pohon khuldi?”
Eno
enggan berbalik lagi ke arah kiri. Akan tetapi berbalik ke arah kanan, depan,
dan belakang bukanlah alternatif yang bagus. Ia dikelilingi makhluk-makhluk
berwajah aneh. Sangat sulit membedakan mana hidung dan mulut orang-orang di
kelasnya. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berbalik ke arah kiri. Memandang
cewek kecil, item, jelek, idup yang begitu sok kenal, sok akrab, sok tahu dan
sontoloyo itu, meskipun rasanya batin dan raga sungguh tersiksa.
Eya,
anak kecil ini sudah sepuluh kali menanyai orang-orang. Nama kamu sapa? Tinggal
dimana? Dimana kamu saat kejadian itu berlangsung? Siapa cucu kesayangan Teuku
Umar? Pokoknya, sejak pertama kali melihat Eya, Eno langsung benci.
Makanya
saat diajak Ruri ke kantin ia menolak telak. Duduk tak jauh darinya saja sudah
membuat badan gatal-gatal, apalagi jika makan di hadapannya. Ia lebih mau
ikutan ekstrim kuliner di tengah hutan amazon daripada melahap bakso atau
bakwan bersama Eya. Dan tak dinyana, Ruri menarik tangannya agar ikut juga. Gue
mau nggak dibayar sepeserpun demi nyantap belatung!
‘BERI
AKU BELATUNG!’
‘BERI
AKU BELATUNG!’ Batin Eno.
Tenang aja, tokoh utamakuh. Entar kita wisata
kuliner ke kuburan..
Mereka
bertiga duduk mengelilingi meja bulat bertaplak meja hitam putih kayak papan
catur. Eno menawarkan diri untuk memesankan makanan.
“Tingkyu
sebelumnya, ya. Aku semangkuk bakso aja. Sekalian pilus sama teh kotaknya,”
ujar Ruri sambil tersenyum.
“Aku
satu mangkuk bakso, airnya dikit, kecapnya banyak, nggak pake pizza!” sahut Eya
penuh energi. Anak ini mau makan kuah kecap.
“Gue
bukan pelayan. Lo pesan aja n’diri!” teriak Eno dengan ekspresi obsesi
sutradara. Nggak nyadar amarahnya nggak tertahan. Ada perasaan lega juga takut. Lega sudah
memaki cewek kecil sok gede itu dan takut karena seisi kantin memandang marah
padanya. Ekspresi semua orang semakin menjadi dengan wajah sok imut Eya yang
di-setting sesedih bundo Malin
Kundang.
“Iya,
deh aku ambilin,”
“Eya
mana?” tanya Eno begitu melihat kursi di hadapannya tak ber-orang lagi. Ruri
nunjuk-nunjuk ke belakang. Eya duduk membelakangi mereka.
“Ya’,
makan ayuk!” ajak Eno.
“N’tar
dulu,”
“Ayuk,”
“N’tar,”
“N’tar,”
“Ayuk,”
“Ratna,”
“Bobi,”
“Tince,
akh….ngaco! lagi ngapain sih?” Eno yang jengkelnya udah mendidih kayak sup tai
babi itu menghampiri, bersiap melayangkan bogem sementah-mentahnya.
“Skak
mat!” seru Eya sambil nari hula-hula. Lawan mainnya, bapak cleaning servis yang mengabaikan tugasnya itu kalah telak. Eya
memenangkan permainan catur berpapan meja kantin dan berpion sobekan kertas.
nantikan bagian keduanya :D
0 komentar:
Post a Comment