Tuesday 6 November 2012

serial 'cewek-cewek pelpek' #01 hidup adalah perjuangan


gambar dari 4.bp.blogspot
Hari pertama masuk di kelas satu sekolah menengah pertama membuat Eya deg-degan habis. 
“Sudah siap? Yakin tidak ada yang ketinggalan?” tanya papa dari atas mobil kodok mereka yang bobrok dan udah hampir roboh itu.
“Siip..” Eya pun naik Dua lembar roti tawar meses cokelat berpelukan terjepit kayak pisang epek di mulutnya. Karena makan terlalu lahap, sepotong rotinya terjatuh.
“Jangan kotorin mobil!” Ayah Eya nggak nyadar lagi marahin diri sendiri. Sejak dibeli, mobil itu sudah dilumurinya dengan berbagai jenis kulit buah dan kotoran burung perkututnya. Belum lagi kalo temen kantornya yang sering kebelet nebeng pulang,
“Sol, aku ikut kau pulang nah! Angkot ke rumahku susah kalo udah sore begini,” bujuk temen kantornya itu. Di perjalanan, dia pengen pipis,
“Sol, bisa brenti dulu, aku mo buang air keecil ini,”
Ayah Eya pusing. Kalo mobilnya brenti, bisa mogok. Dalam sehari mobil bututnya itu hanya bisa nyala dua kali dan selama perjalanan nggak boleh mati. Dengan berat hati, beliau bilang,
“Buang aja di situ,”




Si temen kantornya masa bodo tuh mobil mao bau apa nggak, dia pipis aja di atas jok mobil sambil jongkok.
“Kenapa kau begitu?”
“Kau suruh saya pipis disini tadi, bagaimana kau ini,”
“Tapi maksudku  kau pake kantong pelastik,”
“Sori, partneer!”

***
Ayah Eya masih belom sadar diri bahwa dialah pelaku utama dari bruknya penampilan benda beroda empat itu.
“Ambil tuh! Eeheh…Eya…” tiba-tiba papanya teriak.
“ITU KENAPA HANDUKNYA MASIH DIPAKE?”
Eya menoleh ke bawah. Handuk polkadot diselingi gambar miki mos pake popok terlilit rapi di pinggangnya
Kejadian amnesia tadi pagi bikin Eya telat masuk sekolah di hari pertama. Ia pun dihukum membersihkan toilet guru.
“Kamu masih murid baru sudah cetak poin pelanggaran. Lima,”
“Bagus, dong pak. Lima-kosong. Aku menang!”
“Bego,”
“Apa, pak?”
“Udah, bersihin toiletnya dan cepat masuk kelas!”
Dengan langkah gontai mirip nenek-nenek peot Eya menenteng seember air dan alat pel ke lokasi tujuan. Hari ini ia akan berjihad, membersihkan toilet sekolah dari kotoran, kuman, dan virus HIV AIDS? Loh? Iya, hari gini orang-orang tidak kenal tempat untuk melakukan hal yang tidaktidaktidak masuk di akalnya anak teka nol besar.
Segepok benda berharga tergeletak nyinyir di tengah-tengah kloset. Warnanya kuning dan menarik perhatian komunitas lalat.
“Buuusyeet…emas bertuah. Punya siapa?!” teriak Eya lantas berlari keluar. Satpam yang mengomelinya tadi mencegat di depan koridor.
“Mau lari dari tanggung jawab ya?”
“Bukan. Tapi lari dari kenyataan, pak. Gila toiletnya jual emas. Suruh cleaning servis sekolahan ini ajah…”
Tiba-tiba orang yang dimaksudkan melintas.
“Dik, saya nggak butuh emas begituan. Nih, masih banyak sisanya di bokong saya,” ujarnya seraya nunjuk-nunjuk pantat tak berbudi miliknya. Eya curiga lubangnya ada dua karena taik di kloset melimpah-ruah begitu.
Mau tak mau harus mau karena kemauan itu harus dimaukan, gimana mau nggak? Eya kembali ke toilet setelah mengenakan lima lapis masker yang diberi lima kali semprotan parfum. Tapi bau “emas” ajaib itu masih tercium jelas. Dari jarak dua meter Eya menyiramnya dengan seember air. Apa yang terjadi? Bukannya melesat turun ke sukunya, “emas” itu malah terhambur keluar. Seharusnya pemerintah menggaji para petugas kebersihan lima kali lebih tinggi.
Pekerjaan mulia itu selesai dua jam kemudian. Setelah ia membersihkan semua lantai koridor dari sisa-sisa ledakan emas berbau dan setelah pulang ke rumahnya untuk membersihkan diri. Beruntung guru pelajaran pertama tidak datang. Eya masuk ke kelasnya dan duduk di kursi terdepan. Kursi yang paling menakutkan. Dimana pada sudut nol derajat, pada jarak lurus ke depan, ia bisa langsung bertatapan dengan sang guru.
Asyik, asyik, asyik,…Eya sibuk ngegaruk perut sambil ngeliatin tiga puluh sembilan teman barunya. Sesekali telunjuknya masuk ke puser. Eya menemukan sebatang bambu, eh seorang manusia bertubuh sangat tinggi tengah sibuk memperbaiki jambulnya (bukan di dalam puser). Di sudut lain duduk anak perempuan yang dari depan kelas hanya kelihatan mukanya aja. Leher pundak-punggung-pinggul-kaki ketelan meja.
“Ei, Ei, Ei, pulpen lo jatuh,” seseorang yang tepat duduk di belakangnya memperingatkan. Eya menoleh. Anak cowok berlubang hidung gede. Saking gedenya, beruang kutub bisa main catur di dalam.
“Makasih,” ujar Eya seraya mengambil pulpennya di bawah meja.
“Dari esempe mana lo?” tanya anak itu dengan telunjuk masih hinggap di salah satu lubang hidungnya. Makin lama makin ke dalam. Menusuk-nusuk. Mengorek-ngorek ma’nyoees…
“Esempe limalima. Lo?” jawab Eya.
Anak itu tidak menjawab. Masih dengan posisi jari semula, sembunyi dalam ruang gelap gulita bernama lobang hidung. Hidungnya terangkat lebih ke atas.
“Tau dimana esempe gue?”
Kan lo belum jawab tadi,”
“Maksud gue tuh. Ini,” anak itu mengeluarkan telunjuknya yang memperoleh kutil instan dari dalam idung. Nunjukin angka satu.
“Ikh, jijik! Pergi, ah”
“Eh, tunggu dulu. Udah tau belum dimana esempe gue?”
“SMP Upil Jaya!” jawab Eya sekenanya.
Eya beranjak ke bangku di samping kirinya yang dihuni dua cewek manis. Satunya bertubuh jangkung, satunya bergigi jangkung.
“Kenalin, namaku Eya. Kalian?”
Cewek bergigi unik menyahut, “Tanya kita?”
“Iya, masa tokek sih,”
(Inilah saatnya terdengar suara tokek dari atas plafon kelas, drrtt…to’kek…to’kek…to’nek…to’cucu…)
“Hmm, gue Ruri,” jawab si gigi
“Gue Eno,” jawab si tubuh jangkung.
“Ke kantin, yuk!” ajak Ruri. Ajakan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang menyesakkan dada Eya sejak tadi, “Ada apa gerangan hingga giginya bisa sepanjang itu? Apakah  Yang Kuasa telah mengutuknya karena mencoba ngegigit batang pohon khuldi?”
Eno enggan berbalik lagi ke arah kiri. Akan tetapi berbalik ke arah kanan, depan, dan belakang bukanlah alternatif yang bagus. Ia dikelilingi makhluk-makhluk berwajah aneh. Sangat sulit membedakan mana hidung dan mulut orang-orang di kelasnya. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berbalik ke arah kiri. Memandang cewek kecil, item, jelek, idup yang begitu sok kenal, sok akrab, sok tahu dan sontoloyo itu, meskipun rasanya batin dan raga sungguh tersiksa.
Eya, anak kecil ini sudah sepuluh kali menanyai orang-orang. Nama kamu sapa? Tinggal dimana? Dimana kamu saat kejadian itu berlangsung? Siapa cucu kesayangan Teuku Umar? Pokoknya, sejak pertama kali melihat Eya, Eno langsung benci.
Makanya saat diajak Ruri ke kantin ia menolak telak. Duduk tak jauh darinya saja sudah membuat badan gatal-gatal, apalagi jika makan di hadapannya. Ia lebih mau ikutan ekstrim kuliner di tengah hutan amazon daripada melahap bakso atau bakwan bersama Eya. Dan tak dinyana, Ruri menarik tangannya agar ikut juga. Gue mau nggak dibayar sepeserpun demi nyantap belatung!
‘BERI AKU BELATUNG!’
‘BERI AKU BELATUNG!’ Batin Eno.
Tenang aja, tokoh utamakuh. Entar kita wisata kuliner ke kuburan..
Mereka bertiga duduk mengelilingi meja bulat bertaplak meja hitam putih kayak papan catur. Eno menawarkan diri untuk memesankan makanan.
“Tingkyu sebelumnya, ya. Aku semangkuk bakso aja. Sekalian pilus sama teh kotaknya,” ujar Ruri sambil tersenyum.
“Aku satu mangkuk bakso, airnya dikit, kecapnya banyak, nggak pake pizza!” sahut Eya penuh energi. Anak ini mau makan kuah kecap.
“Gue bukan pelayan. Lo pesan aja n’diri!” teriak Eno dengan ekspresi obsesi sutradara. Nggak nyadar amarahnya nggak tertahan. Ada perasaan lega juga takut. Lega sudah memaki cewek kecil sok gede itu dan takut karena seisi kantin memandang marah padanya. Ekspresi semua orang semakin menjadi dengan wajah sok imut Eya yang di-setting sesedih bundo Malin Kundang.
“Iya, deh aku ambilin,”
Lima menit kemudian pesanan mereka semua sudah datang. Nggak pake pizza. Emang kantin nggak  pernah jual pizza.
“Eya mana?” tanya Eno begitu melihat kursi di hadapannya tak ber-orang lagi. Ruri nunjuk-nunjuk ke belakang. Eya duduk membelakangi mereka.
“Ya’, makan ayuk!” ajak Eno.
“N’tar dulu,”
“Ayuk,”
“N’tar,”
“N’tar,”
“Ayuk,”
“Ratna,”
“Bobi,”
“Tince, akh….ngaco! lagi ngapain sih?” Eno yang jengkelnya udah mendidih kayak sup tai babi itu menghampiri, bersiap melayangkan bogem sementah-mentahnya.
“Skak mat!” seru Eya sambil nari hula-hula. Lawan mainnya, bapak cleaning servis yang mengabaikan tugasnya itu kalah telak. Eya memenangkan permainan catur berpapan meja kantin dan berpion sobekan kertas.

nantikan bagian keduanya :D

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger