Thursday 22 November 2012

Menelusuri Jejak Ramang dari Kenangan ke Kenangan



Bicara sepakbola, saya termasuk pemudi yang tahu sepakbola sebatas liga Italia Serie A dan huru-hara nonton bareng jika kejuaraan sepakbola seperti Liga Champions atau World Cup digelar. Apalagi jika ditanya perihal sepakbola lokal. Saya hanya tahu ada klub sepakbola bernama PSM, jersey dan segala pernak-perniknya berwarna merah. Kalau musim pertandingan sepakbola nasional dimulai dan ada partai yang digelar di Makassar, kadang ada saja ricuh yang timbul. Pendukung PSM labil, kalau tim dukungannya menang akan melakukan konvoi keliling kota Makassar dalam properti serba merah dan seringkali melanggar peraturan lalu lintas.

Secara pribadi saya tidak tertarik dan bangga akan perkembangan dunia sepakbola tanah air. Saya lebih senang menonton liga Italia atau liga Inggris. Saya sendiri mengaku penggemar tim merah-hitam yang berkandang di kota Milan, AC Milan.

Yang memperkenalkan saya pada sepakbola pertama kali adalah kakak saya satu-satunya. Di masa kejayaan AC Milan, waktu Shevchenko dan Ricardo Kaka memperkuat tim, saya rela begadang demi menonton pertandingan klub andalan saya itu. Semangat ini tidak pernah muncul untuk laga sepakbola nasional. Entahlah, saya merasa pesepakbola tanah air kurang ‘wow’, bermain monoton, dan temponya kadang bikin ngantuk.

Saya pesimis dengan sepakbola Indonesia, utamanya Makassar. Menurut saya, belum pernah ada pencapaian bagus dari tim pesepakbola Indonesia. Persepsi ini berubah sekejap ketika saya mendengarkan cerita orang-orang tua tentang sosok Andi Ramang, pemain timnas Indonesia tahun 1950-an bernomor punggung sembilan. Andi Ramang dikenal luas dengan sebutan Ramang dan mendapatkan gelar Macan Asia. Memperingati 25 tahun meninggalnya Ramang, website FIFA menerbitkan artikel khusus dan memasang foto hitam-putih Ramang di halaman depannya.

Kadang-kadang saya juga mendengar ungkapan, ‘toa mi Ramang’ yang baru saya pahami betul setelah mendengarkan cerita kejayaan dan tendangan salto Ramang yang tak kalah dari tendangan si kutu loncat Lionel Messi.

Diceritakan Ramang membawa tim PSM mencapai puncak di era Perserikatan dan didaulat memperkuat timnas Indonesia. Bersama Ramang, Indonesia menang atas RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto dan terjadi di Kejuaraan Dunia di Swedia 1958. Laga paling menakjubkan terjadi di Olimpiade Melbourne pada tahun 1956. Indonesia berhasil menahan Uni-Soviet di angka 0-0. Sebuah prestasi yang sangat luar biasa. Jejeran pertandingan inilah yang mengangkat nama sepakbola Indonesia di kancah internasional.

Mengetahui sepakbola Indonesia, khususnya Makassar pernah mencapai prestasi luar biasa, saya sangat tertarik bergabung dalam tim produksi film dokumenter Ramang. Adalah produser Ichwan Persada yang mengajak saya bergabung. Pada 11 November 2012 lalu, bersama Nunuk Anwar (co-producer), Ai Wajdi, dan Saddam (tim dokumentasi riset) saya menelusuri kembali jejak kehidupan Ramang, langsung di tempat kelahirannya, Sumpang Binangae, Barru, Sulawesi-Selatan.

Riset ini menjadi sangat menarik lantaran kami ditemani langsung oleh putra legenda Ramang, Anwar Ramang yang pemain dan pelatih tim sepakbola mengikuti jejak ayahnya. Sayang, sementara ini saya belum bisa menyertakan foto-foto lengkap terkait perjalanan kami.

Tepat pukul 1 siang, tim riset berangkat ke Barru menelusuri 102 kilometer ke arah utara Makassar. Sepanjang perjalanan, bapak Anwar Ramang ditemani istri banyak melontarkan joke sepakbola dan politik yang menyusupinya. Anwar Ramang sendiri sudah ringkih, kira-kira usianya sudah 50-an. Sambil bercerita, dia melahap cemilan kripik kentang berbungkus-bungkus. Kami tiba di Sumpang Binangae pukul 4 sore.

Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah bangunan permanen dua lantai. Bangunan ini sama persis dengan tiga bangunan di sekitarnya. Tampak seperti model rumah toko tahun era 90-an. Sebelum berbentuk bangunan permanen, di daerah tersebut hanya ada jejeran rumah panggung. Di sana kami disambut kerabat Anwar Ramang yang dulunya tumbuh besar bersama Ramang. Beliau tak banyak bercerita, sebab ingatan dan kemampuan bertuturnya telah berkurang. Cerita masa kecil Ramang banyak disampaikan saudara sepupu Anwar Ramang. (informasi detail percakapan saya masukkan setelah rampung mentranskrip hasil wawancara).

Bersama dua kerabat Ramang, kami diantar ke sekolah dasar tempat Ramang meniti ilmu, SD Sumpang Binangae. Menjelang riset kami mendapatkan informasi bahwa kebanyakan sumber tertulis dan dokumentasi foto terkait kehidupan Ramang sudah tidak ada. Barangkali ini berhubungan dengan sejarah hidup sang legenda yang berada di garis kemiskinan, sebelum dan setelah kiprah hebatnya di dunia sepakbola.

Di depan sekolah itu ada sebuah lapangan luas, lapangan Sumpang Binangae. Di sanalah Ramang kecil mengasah kemampuan sepakbolanya. Menurut cerita kerabat Ramang, dulu setelah bel istirahat berdentang, Ramang kecil akan langsung berlari ke lapangan, menggiring bola disusul teman-temannya. Di sore hari, Ramang melannjutkan latihan sepakbolanya di pantai yang tak jauh dari situ. Ramang kecil senang menggiring bola di sepanjang bibir pantai sampai matahari terbenam.


(to be continued)




0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger