Bicara
sepakbola, saya termasuk pemudi yang tahu sepakbola sebatas liga Italia Serie A
dan huru-hara nonton bareng jika kejuaraan sepakbola seperti Liga Champions
atau World Cup digelar. Apalagi jika ditanya perihal sepakbola lokal. Saya hanya
tahu ada klub sepakbola bernama PSM, jersey
dan segala pernak-perniknya berwarna merah. Kalau musim pertandingan sepakbola
nasional dimulai dan ada partai yang digelar di Makassar, kadang ada saja ricuh
yang timbul. Pendukung PSM labil, kalau tim dukungannya menang akan melakukan
konvoi keliling kota Makassar dalam properti serba merah dan seringkali
melanggar peraturan lalu lintas.
Secara
pribadi saya tidak tertarik dan bangga akan perkembangan dunia sepakbola tanah
air. Saya lebih senang menonton liga Italia atau liga Inggris. Saya sendiri
mengaku penggemar tim merah-hitam yang berkandang di kota Milan, AC Milan.
Yang
memperkenalkan saya pada sepakbola pertama kali adalah kakak saya satu-satunya.
Di masa kejayaan AC Milan, waktu Shevchenko dan Ricardo Kaka memperkuat tim,
saya rela begadang demi menonton pertandingan klub andalan saya itu. Semangat ini
tidak pernah muncul untuk laga sepakbola nasional. Entahlah, saya merasa
pesepakbola tanah air kurang ‘wow’, bermain monoton, dan temponya kadang bikin
ngantuk.
Saya
pesimis dengan sepakbola Indonesia, utamanya Makassar. Menurut saya, belum
pernah ada pencapaian bagus dari tim pesepakbola Indonesia. Persepsi ini
berubah sekejap ketika saya mendengarkan cerita orang-orang tua tentang sosok
Andi Ramang, pemain timnas Indonesia tahun 1950-an bernomor punggung sembilan.
Andi Ramang dikenal luas dengan sebutan Ramang dan mendapatkan gelar Macan
Asia. Memperingati 25 tahun meninggalnya Ramang, website FIFA menerbitkan
artikel khusus dan memasang foto hitam-putih Ramang di halaman depannya.
Kadang-kadang
saya juga mendengar ungkapan, ‘toa mi Ramang’ yang baru saya pahami betul
setelah mendengarkan cerita kejayaan dan tendangan salto Ramang yang tak kalah
dari tendangan si kutu loncat Lionel Messi.
Diceritakan
Ramang membawa tim PSM mencapai puncak di era Perserikatan dan didaulat
memperkuat timnas Indonesia. Bersama Ramang, Indonesia menang atas RRC dengan 2-0 di
Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto
dan terjadi di Kejuaraan Dunia di Swedia 1958.
Laga paling menakjubkan terjadi di Olimpiade Melbourne pada tahun 1956.
Indonesia berhasil menahan Uni-Soviet di angka 0-0. Sebuah prestasi yang sangat
luar biasa. Jejeran pertandingan inilah yang mengangkat nama sepakbola
Indonesia di kancah internasional.
Mengetahui sepakbola Indonesia, khususnya Makassar
pernah mencapai prestasi luar biasa, saya sangat tertarik bergabung dalam tim
produksi film dokumenter Ramang. Adalah produser Ichwan Persada yang mengajak
saya bergabung. Pada 11 November 2012 lalu, bersama Nunuk Anwar (co-producer),
Ai Wajdi, dan Saddam (tim dokumentasi riset) saya menelusuri kembali jejak
kehidupan Ramang, langsung di tempat kelahirannya, Sumpang Binangae, Barru,
Sulawesi-Selatan.
Riset ini menjadi sangat menarik lantaran kami
ditemani langsung oleh putra legenda Ramang, Anwar Ramang yang pemain dan
pelatih tim sepakbola mengikuti jejak ayahnya. Sayang, sementara ini saya belum
bisa menyertakan foto-foto lengkap terkait perjalanan kami.
Tepat pukul 1 siang, tim riset berangkat ke Barru
menelusuri 102 kilometer ke arah utara Makassar. Sepanjang perjalanan, bapak
Anwar Ramang ditemani istri banyak melontarkan joke sepakbola dan politik yang menyusupinya. Anwar Ramang sendiri
sudah ringkih, kira-kira usianya sudah 50-an. Sambil bercerita, dia melahap
cemilan kripik kentang berbungkus-bungkus. Kami tiba di Sumpang Binangae pukul
4 sore.
Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah
bangunan permanen dua lantai. Bangunan ini sama persis dengan tiga bangunan di
sekitarnya. Tampak seperti model rumah toko tahun era 90-an. Sebelum berbentuk
bangunan permanen, di daerah tersebut hanya ada jejeran rumah panggung. Di sana
kami disambut kerabat Anwar Ramang yang dulunya tumbuh besar bersama Ramang. Beliau
tak banyak bercerita, sebab ingatan dan kemampuan bertuturnya telah berkurang. Cerita
masa kecil Ramang banyak disampaikan saudara sepupu Anwar Ramang. (informasi
detail percakapan saya masukkan setelah rampung mentranskrip hasil wawancara).
Bersama dua kerabat Ramang, kami diantar ke sekolah
dasar tempat Ramang meniti ilmu, SD Sumpang Binangae. Menjelang riset kami
mendapatkan informasi bahwa kebanyakan sumber tertulis dan dokumentasi foto
terkait kehidupan Ramang sudah tidak ada. Barangkali ini berhubungan dengan
sejarah hidup sang legenda yang berada di garis kemiskinan, sebelum dan setelah
kiprah hebatnya di dunia sepakbola.
Di depan sekolah itu ada sebuah lapangan luas,
lapangan Sumpang Binangae. Di sanalah Ramang kecil mengasah kemampuan
sepakbolanya. Menurut cerita kerabat Ramang, dulu setelah bel istirahat
berdentang, Ramang kecil akan langsung berlari ke lapangan, menggiring bola
disusul teman-temannya. Di sore hari, Ramang melannjutkan latihan sepakbolanya
di pantai yang tak jauh dari situ. Ramang kecil senang menggiring bola di
sepanjang bibir pantai sampai matahari terbenam.
(to be continued)
0 komentar:
Post a Comment