Sebelas bulan
kemudian. Setelah duduk berdekatan dan tidak pernah mencapai titik akrab,
akhirnya Eya dan Eno disatukan oleh satu jari milik tukang cari upil,
satu-satunya penekun pekerjaan bermodal paling minim sedunia, Aco. Mengingat
namanya yang belum pernah diganti sejak kecil dan merupakan nama setiap anak
laki-laki yang baru lahir sebagai orang sulawesi-selatan, kita pasti sudah tahu
bahwa dia berjenis kelamin pria. Selain berjenis kelamin cowok, hobitnya
ngupil, berlubang hidung segede punya gorilla dan bangga-banggain esempenya,
Aco juga memiliki kelebihan lain, yakni berbakat menjadi peserta be a man. Mengikuti seniornya yang duduk
tepat di bangku belakangnya.
Ucup punya usut yang
nggak tahu kusut apa nggak, duduk deketan si senior bernama Baco itu dapat
ketularan penyakit langka bernama: YaIyalahMasaYaIyaDongSecaraMulanJameelaBukanMulanJamidongJualanKedondongDiPasarTerong,
alias kecewek-cewekan.
Tindakan Aco hari
ini sangat berjasa menyatukan kekuatan dua calon superwoman pemberantas korupsi
di Indonesia ,
Eya dan Eno. Pagi itu, saat pelajaran sejarah yang membuat semuanya kegerahan
gara-gara dampak dari perang dingin, yakni pasukan gerakan G 30 S/PKI yang
nggak tahu gimana seni menyayat wajah dengan silet, seperti biasa bersama hobitnya
yang tidak kenal tempat, waktu, dan situasi tanpa sengaja menciptakan keakraban
di antara keduanya.
Eno nggak tahan
pengen ngakak sampe nungging jatuh ke got waktu melihat cara ngupil Aco yang
penuh harmonisasi. Bahkan semakin lama mirip pantomim, memperagakan kisah
peperangan yang dibawakan bapak guru muda mereka dengan penuh penjiwaan.
“Mereka
menyebarkan isu dewan jendral untuk memperlancar gerakan,”
‘kenapa nggak bubuk
bisul aja, kan
lebih seru!’ batin Eya.
Aco mengacungkan jari telunjuknya
ke atas. Perlahan naik, mengudara menusuk lubang gelap gulita nan lebar tak
terukur meteran kutu berbulu lebat.
“…menculik
para jenderal satu-persatu di tengah malam buta…”
Jari misterius agresif-egois
itu menggaruk-garuk, menggali-gali, mengeluarkan barang tambangnya yang mirip
jelly. Menggulung-gulungnya penuh sentuhan seni.
GULUNG…DIGULUNG…GULUNG…
“…dan
Ade Irma Nasution gugur sebagai perisai ayahanya yang hendak ditembak oleh
Pee…”
SYUUUUTTT…
Telunjuk bekerja sama dengan
jempol menjadi landasan kapal kenyal untuk mengudara, menuju lubang lain
berpagar putih.
SENTIL…DISENTIL…SENTIL…
“…Kaaa…”
Memasuki mulut pak
guru muda.
Tertelan.
“..Iiiikh…”
Tersedak.
HUAHAHA…HAHE…HAHE…JAHE…
Eno nggak tahan lagi. Bersama
teman duduknya yang menjadi murid teladan karena sering terlambat, ia tertawa
terbahak-bahak. Eya menoleh ke arah sumber tawa. Sementara Aco telah
memberangkatkan pesawat lunak kedua,
SYUUTT…
Terbang ke arah Eno.
Tertelan.
Tersedak.
HUAHAHAH…HUAHAHAH
LEBIH B’RASA, B’RASA LEBIH. Eya ngakak
monyet.
“Eya dan Eno keluar
sekarang!” bentak sang guru.
Kedua gadis yang tak
bersalah itu[1] keluar kelas sambil menutup wajah
masing-masing dengan plastik transaprant. Tepat dugaan saya, keduanya pasti
bertengkar di koridor,
“Tadi napa kamu
ikutan ketawa?” gertak Eno yang merasa hak prerogatifnya terhadap tontonan
barusan dilanggar Eya.
“Emang ada
undang-undang yang ngelarang kita ketawa?”
“Ada . Punyaku,”
“Anak sapa kamu?
Presiden? Kepsek? Atau anak Raja Hutan?”
“Aku anaknya pak
Slamet,”
“Kalo aku anaknya
pak Soleh,”
“Bapak sama nenek
moyang kamu nggak penting. Yang penting itu kenapa kamu ikutan suka sama Samuel
Zylgwin?”
“Sapa lagi. Cowok kayak
dia apa bagusnya. Mending juga Junior,”
“Tuh, kan . Kamu emang nyebelin
banget, Junior itu udah jadi boy of the
year-ku,”
“Males, deh. Ambil
tuh. Mending idolain Indra,”
“Indra L Brugman
juga udah jadi boy of my life,”
“Yee…orang Indra
Birowo,”
“Itu juga pelawak
idolaku…”
“Yang nyebelin kamu
atau aku sih? Semuanya mau diambil. Kalo semua buat kamu, aku sama manusia yang
lain apa dong?”
“Sewa ama aku,”
Bener, kan Aco sudah menjadi
orang paling berjasa dalam mengakrabkan kedua manusia aneh itu. Dengan meriam
upilnya yang tak pernah keabisan peluru, Aco berhasil membuahkan pembicaraan
sepanjang itu di antara mereka. Pertengkaran tak berujung ini membuat keduanya
selalu kangen untuk memperdebatkan cowok-cowok yang dijamin akan langsung mual
dan ambeyen sampe malam lebaran begitu melihat wajah mereka berdua.
Entah mendapatkan
wangsit atau ancaman dari mana, saban hari, tujuh bulan semenjak kejadian itu,
keduanya seperti lalat dan sampah yang tak terpisahkan. Laksana jamur dan roti
kadaluarsa, bak orang pup di pinggir kali dan sarungnya. Dimana ada Eya, disitu
ada Eno. Seisi sekolah memanggil mereka bambu dan rebung. Eno bambu yang tinggi
menjulang yang tiap tahun bertambah miring (macam menara Pisa aja), Eya rebung yang nggak tahu bakalan
berusia panjang atau nggak karena banyak ibu-ibu yang ngincer mau dijadikan
sayur.
Saat ujian semester
dua yang menentukan jurusan mereka IPA, IPA, atau Bahasa, keduanya sepakat
untuk menjalin simbiosis mutualisme yang saling menguntungkannya tak habis
sampai tujuh kali tujuh turunan, demi duduk di kelas jurusan IPS. Maka strategi
pun diatur. Mereka menghindari bangku paling depan dan bangku paling belakang.
Eno memilih duduk di
barisan kedua dekat tembok. Eya tepat dibelakangnya. Eya yang kemampuan
intelegensianya lebih tajam di bagian menditail dan analisis mempelajari
pelajaran perhitungan seperti matematika, fisika, dan ekonomi. Sementara semua
yang bersifat teori dihapalin sama Eno yang kekuatan ingatannya sudah terbukti
sejak zaman orang tua bikin merek dagang.
Terjadilah
barter-barteran jawaban ujian antara orang pendek dan orang tinggi. Antara
orang manis dan orang cantik. Antara orang sama-sama berotak setengah jadi.
Tapi keduanya sangat lihai dan tidak tercium pengawas ujian sedikitpun.
Tepat pada hari
pengumuman, kerja sama itu berbuah manis. Keduanya ditempatkan di kelas yang
sama.
“Gokil
bohai…kitorang sakelas!” seru Eya.
“Kitorang sama teempat
duduk. Ujian itu sudah…” tambah Eno.
Bak orang kasmaran,
keduanya bergandengan tangan menuju kelas. Senyum menghiasi bibir mereka yang
hari ini dipolesi lip ice pink. Naik kelas, naik cara penampilan tuh. Tapi satu
yang statis dan nggak mau naik-naik. Jalan Eya yang melebar ke samping, persis
kepiting kena penyakit selangkangan.
Saat memasuki kelas,
dewi fortuna mereka sudah mati atau terusir entah kemana. Satu-satunya bangku
kosong bagi mereka hanya di belakang, paling sudut, dekat tembok, gelap, kotor,
dekat sarang laba-laba. Pertanda entar malam setan-setan sekolah mo pesta
togel.
Eya yang memang
licik sejak pembuatannya enam belas tahun yang lalu beride cemerlang. Ia
mengadakan kesepakatan dengan seorang cowok bernama Cudi Camar.
“Elow…brother. Bisa tukeran tempat duduk sama
kita nggak?” tanya Eya sok-sokan.
“Oi, aku bukan brother. Namaku Cudi Camar, burung
paling keren sedunia,”
“Iya, burung! Pake
imbalan apa aja kita beri,”
Eno menyikut dari
samping, “Itu burung mau dikasih apa? Harga diri? Kita lagi miskin, nih”
“Emang sejak kapan
kita berdua kaya?”
“Gini, kamu pindah
ke belakang, nanti tugas kamu selama seminggu kita yang kerjain,” kata Eya
kepada Cudi.
“Pelajaran apa dulu?
Aku juga bisa kali,” wajah Cudi bersinar bak pedagang lagi ngitung untung rugi.
“Yang paling susah,
apa aja”
“Kalo gitu tugas
fisika adekku,”
“Kelas berapa?”
“Tiga sma,” jawab
Cudi bangga. Hidungnya mangap. Matanya belo. Cudi Camar si burung sarap.
0 komentar:
Post a Comment