Friday, 16 November 2012

Cewek-cewek Pelpek #2 Rasa Lebih dari Sesentil Upil




Sebelas bulan kemudian. Setelah duduk berdekatan dan tidak pernah mencapai titik akrab, akhirnya Eya dan Eno disatukan oleh satu jari milik tukang cari upil, satu-satunya penekun pekerjaan bermodal paling minim sedunia, Aco. Mengingat namanya yang belum pernah diganti sejak kecil dan merupakan nama setiap anak laki-laki yang baru lahir sebagai orang sulawesi-selatan, kita pasti sudah tahu bahwa dia berjenis kelamin pria. Selain berjenis kelamin cowok, hobitnya ngupil, berlubang hidung segede punya gorilla dan bangga-banggain esempenya, Aco juga memiliki kelebihan lain, yakni berbakat menjadi peserta be a man. Mengikuti seniornya yang duduk tepat di bangku belakangnya.

Ucup punya usut yang nggak tahu kusut apa nggak, duduk deketan si senior bernama Baco itu dapat ketularan penyakit langka bernama: YaIyalahMasaYaIyaDongSecaraMulanJameelaBukanMulanJamidongJualanKedondongDiPasarTerong, alias kecewek-cewekan.

Tindakan Aco hari ini sangat berjasa menyatukan kekuatan dua calon superwoman pemberantas korupsi di Indonesia, Eya dan Eno. Pagi itu, saat pelajaran sejarah yang membuat semuanya kegerahan gara-gara dampak dari perang dingin, yakni pasukan gerakan G 30 S/PKI yang nggak tahu gimana seni menyayat wajah dengan silet, seperti biasa bersama hobitnya yang tidak kenal tempat, waktu, dan situasi tanpa sengaja menciptakan keakraban di antara keduanya.

Eno nggak tahan pengen ngakak sampe nungging jatuh ke got waktu melihat cara ngupil Aco yang penuh harmonisasi. Bahkan semakin lama mirip pantomim, memperagakan kisah peperangan yang dibawakan bapak guru muda mereka dengan penuh penjiwaan.

“Mereka menyebarkan isu dewan jendral untuk memperlancar gerakan,”
‘kenapa nggak bubuk bisul aja, kan lebih seru!’ batin Eya.

Aco mengacungkan jari telunjuknya ke atas. Perlahan naik, mengudara menusuk lubang gelap gulita nan lebar tak terukur meteran kutu berbulu lebat.

“…menculik para jenderal satu-persatu di tengah malam buta…”

Jari misterius agresif-egois itu menggaruk-garuk, menggali-gali, mengeluarkan barang tambangnya yang mirip jelly. Menggulung-gulungnya penuh sentuhan seni.

GULUNG…DIGULUNG…GULUNG…




“…dan Ade Irma Nasution gugur sebagai perisai ayahanya yang hendak ditembak oleh Pee…”

SYUUUUTTT…

Telunjuk bekerja sama dengan jempol menjadi landasan kapal kenyal untuk mengudara, menuju lubang lain berpagar putih.

SENTIL…DISENTIL…SENTIL…

“…Kaaa…”

Memasuki mulut pak guru muda.
Tertelan.

“..Iiiikh…”

Tersedak.
HUAHAHA…HAHE…HAHE…JAHE…

Eno nggak tahan lagi. Bersama teman duduknya yang menjadi murid teladan karena sering terlambat, ia tertawa terbahak-bahak. Eya menoleh ke arah sumber tawa. Sementara Aco telah memberangkatkan pesawat lunak kedua,

SYUUTT…
Terbang ke arah Eno.
Tertelan.
Tersedak.

HUAHAHAH…HUAHAHAH LEBIH B’RASA, B’RASA LEBIH.  Eya ngakak monyet.

“Eya dan Eno keluar sekarang!” bentak sang guru.
Kedua gadis yang tak bersalah itu[1]  keluar kelas sambil menutup wajah masing-masing dengan plastik transaprant. Tepat dugaan saya, keduanya pasti bertengkar di koridor,

“Tadi napa kamu ikutan ketawa?” gertak Eno yang merasa hak prerogatifnya terhadap tontonan barusan dilanggar Eya.

“Emang ada undang-undang yang ngelarang kita ketawa?”
Ada. Punyaku,”
“Anak sapa kamu? Presiden? Kepsek? Atau anak Raja Hutan?”
“Aku anaknya pak Slamet,”
“Kalo aku anaknya pak Soleh,”
“Bapak sama nenek moyang kamu nggak penting. Yang penting itu kenapa kamu ikutan suka sama Samuel Zylgwin?”
“Sapa lagi. Cowok kayak dia apa bagusnya. Mending juga Junior,”
“Tuh, kan. Kamu emang nyebelin banget, Junior itu udah jadi boy of the year-ku,”
“Males, deh. Ambil tuh. Mending idolain Indra,”
“Indra L Brugman juga udah jadi boy of my life,”
“Yee…orang Indra Birowo,”
“Itu juga pelawak idolaku…”
“Yang nyebelin kamu atau aku sih? Semuanya mau diambil. Kalo semua buat kamu, aku sama manusia yang lain apa dong?”
“Sewa ama aku,”

Bener, kan Aco sudah menjadi orang paling berjasa dalam mengakrabkan kedua manusia aneh itu. Dengan meriam upilnya yang tak pernah keabisan peluru, Aco berhasil membuahkan pembicaraan sepanjang itu di antara mereka. Pertengkaran tak berujung ini membuat keduanya selalu kangen untuk memperdebatkan cowok-cowok yang dijamin akan langsung mual dan ambeyen sampe malam lebaran begitu melihat wajah mereka berdua.

Entah mendapatkan wangsit atau ancaman dari mana, saban hari, tujuh bulan semenjak kejadian itu, keduanya seperti lalat dan sampah yang tak terpisahkan. Laksana jamur dan roti kadaluarsa, bak orang pup di pinggir kali dan sarungnya. Dimana ada Eya, disitu ada Eno. Seisi sekolah memanggil mereka bambu dan rebung. Eno bambu yang tinggi menjulang yang tiap tahun bertambah miring (macam menara Pisa aja), Eya rebung yang nggak tahu bakalan berusia panjang atau nggak karena banyak ibu-ibu yang ngincer mau dijadikan sayur.

Saat ujian semester dua yang menentukan jurusan mereka IPA, IPA, atau Bahasa, keduanya sepakat untuk menjalin simbiosis mutualisme yang saling menguntungkannya tak habis sampai tujuh kali tujuh turunan, demi duduk di kelas jurusan IPS. Maka strategi pun diatur. Mereka menghindari bangku paling depan dan bangku paling belakang.

Eno memilih duduk di barisan kedua dekat tembok. Eya tepat dibelakangnya. Eya yang kemampuan intelegensianya lebih tajam di bagian menditail dan analisis mempelajari pelajaran perhitungan seperti matematika, fisika, dan ekonomi. Sementara semua yang bersifat teori dihapalin sama Eno yang kekuatan ingatannya sudah terbukti sejak zaman orang tua bikin merek dagang.

Terjadilah barter-barteran jawaban ujian antara orang pendek dan orang tinggi. Antara orang manis dan orang cantik. Antara orang sama-sama berotak setengah jadi. Tapi keduanya sangat lihai dan tidak tercium pengawas ujian sedikitpun.

Tepat pada hari pengumuman, kerja sama itu berbuah manis. Keduanya ditempatkan di kelas yang sama.
“Gokil bohai…kitorang sakelas!” seru Eya.
“Kitorang sama teempat duduk. Ujian itu sudah…” tambah Eno.

Bak orang kasmaran, keduanya bergandengan tangan menuju kelas. Senyum menghiasi bibir mereka yang hari ini dipolesi lip ice pink. Naik kelas, naik cara penampilan tuh. Tapi satu yang statis dan nggak mau naik-naik. Jalan Eya yang melebar ke samping, persis kepiting kena penyakit selangkangan.

Saat memasuki kelas, dewi fortuna mereka sudah mati atau terusir entah kemana. Satu-satunya bangku kosong bagi mereka hanya di belakang, paling sudut, dekat tembok, gelap, kotor, dekat sarang laba-laba. Pertanda entar malam setan-setan sekolah mo pesta togel.

Eya yang memang licik sejak pembuatannya enam belas tahun yang lalu beride cemerlang. Ia mengadakan kesepakatan dengan seorang cowok bernama Cudi Camar.

“Elow…brother. Bisa tukeran tempat duduk sama kita nggak?” tanya Eya sok-sokan.
“Oi, aku bukan brother. Namaku Cudi Camar, burung paling keren sedunia,”
“Iya, burung! Pake imbalan apa aja kita beri,”
Eno menyikut dari samping, “Itu burung mau dikasih apa? Harga diri? Kita lagi miskin, nih”
“Emang sejak kapan kita berdua kaya?”
“Gini, kamu pindah ke belakang, nanti tugas kamu selama seminggu kita yang kerjain,” kata Eya kepada Cudi.
“Pelajaran apa dulu? Aku juga bisa kali,” wajah Cudi bersinar bak pedagang lagi ngitung untung rugi.
“Yang paling susah, apa aja”
“Kalo gitu tugas fisika adekku,”
“Kelas berapa?”
“Tiga sma,” jawab Cudi bangga. Hidungnya mangap. Matanya belo. Cudi Camar si burung sarap. 

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger