Saturday 13 October 2012

Ada Apa dengan Penonton Film Indonesia?



Film Indonesia di negaranya sendiri, masih dianaktirikan. Bayangkan dalam sebulan, penonton film Indonesia tidak mencapai setengah jumlah penonton film asing. Dalam satu bulan, tak jarang film Indonesia paling lama bertahan di bioskop hanya 2 minggu. Lewat dua minggu, posternya berganti film asing. kursi-kursi bioskop tidak terisi penuh. Padahal produksi film indonesia di tahun 2012 ini rata-rata empat film per bulan. Banyak yang mempermasalahkan tema film Indonesia yang monoton. 



Pada September 2012 lalu, ada film 'Perahu Kertas', 'Test Pack', 'Mamacake', dan 'Rayya'. Keempat film ini termasuk film Indonesia berkualitas. hanya Perahu Kertas yang tayang di bioskop nasional lebih dari sebulan, ini lantaran 'Perahu Kertas' merupakan adaptasi sebuah novel best seller yang telah memperoleh fansnya sendiri, jauh sebelum film ini dibuat. 'Mamacake' bercerita tentang 3 pemuda kota metropolitan yang bermasalah dengan diri mereka sendiri, sampai suatu hari harus melakukan perjalanan yang mengubah hidup mereka selama-lamanya. Dalam film ini, musisi legendaris Iwan Fals-pun turun tangan, menyumbangkan sebuah lagu untuk OST yang diaransemen ulang. 

 Merujuk 'Test Pack', kualitas film ini tidak diragukan lagi. Mengusung tema yang menjadi momok manusia modern Indonesia, ‘belum punya keturunan’. Dalam 'Test Pack' terlihat jelas kematangan akting para pemain film Indonesia. Yang terakhir, Rayya. Rayya kenyataannya di bioskop-bioskop Indonesia timur bertahan tak sampai satu minggu di bioskop. Rayya mengangkat genre film yang tak biasa, 'road movie'. Genre road movie jarang sekali ada di film-film Indonesia. Penulis telah meriset 'Katalog Film Indonesia' dan menemukan hanya beberapa film saja yang mengusung genre ini. Rayya merupakan sebuah pencapaian besar. 

Penonton film lokal cenderung lebih tertarik pada pola cerita beralur klasik ala film hollywood dengan tambahan teknis berteknologi mutakhir. Padahal jika ditilik lebih jauh, tema-tema film hollywood malah monoton. Kita ambil contoh film superhero. Superhero seringkali lahir karena diberi berkah kekuatan dari alam, dari kristal-kristal asing, dari sejenis virus ciptaan manusia, secara umum bersifat science fiction. Dan lagi memiliki ending tertebak di mana sang superhero pasti memenangkan pertarungan. Ini sangat berbeda dengan film Indonesia yang mulai banyak bermain di ending-ending menggantung pengusungan tema yang lebih 'bijak'. 

Film Indonesia tak sekedar menawarkan cerita bagus, namun juga menawarkan 'pelajaran-pelajaran' berharga. Menuntut film Indonesia mampu menghasilkan efek secanggih film asing, penulis pikir tidak wajar. Sineas Indonesia kurang mendapatkan dukungan dalam hal materi dan peralatan dari pemerintah. Film masih dianggap komoditi yang kurang menguntungkan bagi investor dan pemodal lokal. Sementara rumah-rumah produksi asing, semisal di Amerika memberi banyak dukungan untuk kemajuan industri film dengan aturan-aturan, dan pemodalan yang baik dan berkesinambungan. Minimnya dukungan ini berdampak pada penggunaan peralatan membuat film. Bioskop berformat digital saja baru masuk di seluruh bioskop Indonesia tahun ini, sementara di negara raksasa film sudah berlaku sejak lama. 

Terakhir ini kita tentu masih mengingat 'The Raid', salah satu film laga Indonesia yang laris manis sampai ke kancah internasional. Namun tidakkah pembaca tahu bahwa banyak peralatannya merupakan pinjaman dari studio asing dan beberapa kru pun merupakan tenaga asing? Jika saja film dilirik sebagai komoditi yang menjanjikan seperti industri tekstil dan minyak mentah, tentunya perfilman Indonesia tidak terus lari di tempat begini. Belum lagi penonton Indonesia yang dengan mudahnya terpengaruh kemasan-kemasan yang tidak berciri khas lokal. Mental penonton Indonesia itu 'menganggap film bertema lokal tidak keren'. Mental ini pula yang digunakan sebagian besar masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi pakaian dan makanan di kesehariannya. 

Pembajakan ada di mana-mana. Indonesia adalah sarang pembajak dan pengonsumsi barang-barang bajakan. Makanan, pakaian, musik, sofware, sampai DVD filmpun dibajak habis-habisan. Satu keping DVD film Indoensia original dijual selalu dengan harga murah dan di bawah harga pasaran DVD original film asing. Namun masih saja para penonton membeli DVD bajakan yang harganya sangat jatuh. Di pasar loak, kita bisa menemukan seri film Indonesia di mana lebih dari 3 judul film digabungkan dalam satu DVD seharga Rp 8.000. Miris sekali. 

Ada apa dengan penonton film Indonesia, sebenarnya apa yang mereka cari?

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger