Iking Siahsia, seorang film maker independen Makassar yang mengawali karirnya secara tidak sengaja dengan ide iseng untuk film pendek ‘Please, Karmila’ pada tahun 2003. Salah seorang pengurus ForFilm Makassar ini sekarang menyibukkan diri bergaul dengan anak-anak SMA di Makassar dan sekitarnya, belajar bersama mereka, sembari memberikan masukan mengenai pembuatan film pendek, penulisan skenario, dan pertimbangan sinematografi.
Menurut Iking, sebenarnya definisi film indie itu melekat di banyak sudut pandang. Dia sendiri berpendapat bahwa film indie bergerak sendiri, di luar industri, sebuah gerakan semangat. Film indie menawarkan gaya film alternatif dan eksperimental. Filmmaker ini berbeda dengan filmmaker industry minded yang memikirkan untung dan rugi sebuah produksi film.
Ditanya mengenai psikologi filmmaker di Makassar secara umum di awal munculnya, ia menjawab mereka bergerak dinamis dan kuat di beberapa personal. Geliat kompetisi berkarya masih kurang. Maksudnya, para filmmaker di kota ini melakukan produksi film untuk kebutuhan sendiri atau antar personal sebuah kelompok film. Belum ada gerakan-gerakan khusus yang ‘mengadu’ film karya sendiri dengan karya orang lain. Akibatnya, ada film yang ‘sukses’ sendiri, ada film yang jadi namun tidak dinonton orang.
Iking mengibaratkan filmmaker independen di Makassar itu seperti ikan-ikan di dalam akurium dan orang yang menonton gerak-gerak ikan itu dari luar. Ada ikan kecil, ada ikan yang besar. Ikan besar terlihat eye-catching dari segi ukuran dan mungkin corak tubuh yang menarik. Sehingga orang yang melihat dapat langsung menunjuk ikan-ikan mana yang mereka sukai. Ada pula jenis ikan tertentu yang senang berkelompok, jenis lain cenderung menyendiri. Inilah analogi Iking Siahsia mengamati perilaku filmmaker di Makassar. Kini, akuarium tersebut sudah dipenuhi ikan-ikan tambahan jenis baru. Gerakan mereka tetap ‘timbul-tenggelam’. Kadang ikan tersebut naik ke permukaan, ada yang statis di tengah, ada pula yang betah berada di dasar akuarium.
Filmmaker Makassar terlihat moody. Pendapat ini didasari kondisi psikologi pekerja film independen yang berdasar pada minat dan minimnya dana produksi. Film independen memiliki ciri khas di managemen dan pendanaan yang sederhana. Sulit memang menjadikan film independen sebagai industri, seperti film komersil. Sebagian filmmaker beranggapan, film independen adalah lahan filmmaker idelis yang tidak ingin terikat kontrak dan peraturan film komersil (bisnis film). Dalam film independen, seorang film maker bebas menentukan ide, management produksi, pemain, lokasi, durasi, bahkan cara kerjanya sendiri. Inilah keunikannya. Untuk alasan ini, jika satu karya ingin mendapat tempat di hati penonton, ingin merebut perhatian penonton film industri, seorang filmmaker membutuhkan screening. Baik itu screening komersil, festival, atau screening independen yang kebanyakan dibuat sendiri oleh filmmaker film yang bersangkutan.
Ikingpun menaruh perhatian terhadap mental penonton film Makassar. Selama menekuni dunia film pendek selama 9 tahun (sejak booming-nya ‘Please, Kartika’), ia mendapati masyarakat yang sebelah mata memandang perfilman independen. Filmmaker masih berusaha mencari penonton. Bukan penonton yang mendatangi. Cara memandang tersebut mulai berubah pasca menggeliatnya perfilman independen, menyusul screening regular Solata, Cinematica, dan gerbios Dewi Bulan. Penonton kini memiliki tiga lebih (menghitung screening lain yang bersifat temporal dan momentum) ‘bioskop’ alternatif di luar jaringan XXI. Screening-screening independen ini, walau digerakkan dalam bingkai kerja kolektif suatu komunitas, memperkenalkan langsung film-film pendek Makassar. Informasi-informasi mengenai perfilman independenpun kini mudah diakses lewat situs jejaring sosial.
Makassar telah memiliki banyak filmmaker dan program screening tempat mereka mengajukan karya kepada penonton. Menurut Iking, tinggal bagaimana kita memperkenalkan film independen dengan cara-cara khusus untuk seluruh lapisan usia masyarakat. Tentu sulit mengajak penonton bioskop beralih ke film independen. Sebab mereka terbiasa menonton film ‘mewah’. Iking memahami, usia remaja lebih mudah diperkenalkan jenis film seperti ini. Dua tahun terakhir, Iking fokus mendampingi anak putih abu-abu membuat film-film pendek untuk menciptakan mindset film independen di pikiran mereka dengan cara persuasif dan edukatif. Selain itu, ia memiliki treatment khusus mengawali mereka. Iking sering membawa film-film independen asing atau film yang selama ini tidak mereka dapatkan di bioskop untuk memperluas wawasan film.
20 Januari 2012.
Friday, 20 January 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pages
Labels
#7HariMenulisSuratPutus
(39)
#fiksikal
(12)
#kesukaan
(1)
#reblog
(2)
Artikel
(9)
backpacking
(1)
Bicara Teater
(2)
Cerita Pendek
(14)
cewek cewek pelpek
(4)
Findie Makassar
(1)
Gambar Dunia
(11)
Ilmu Sastra
(1)
info
(2)
Kita Memimpikan Ini
(2)
Kritik Film
(17)
My Quotes
(41)
Naskah Drama
(1)
Puisi
(22)
sajak
(2)
Screening Film
(2)
Terpotong
(7)
Ujaran
(64)
Popular Posts
-
Sebuah film memiliki daya magis yang sangat memikat jika digarap sendiri oleh penulisnya. Cerita sebagai landasan utama, tolak ukur, jabang ...
-
Mungkin jikalau saja kita (umat manusia) mau berfikir tentang hal-hal kecil yang mungkin dianggap remeh yang ada di sekitar kita, maka Insya...
-
Judul Film : Cinta/mati Sutradara : Ody C. Harahap Penulis Naskah : Ody C. Harahap, Akbar Maraputra Produser ...
-
Dear Erika, How are you? We haven't meet again since when? Oh yeah, a year after junior high school graduate, right? Look at yo...
-
Judul Film : Mika Sutradara : Lasja Fauzia Susatyo Penulis Naskah : Indra Herlambang Produser : ...
0 komentar:
Post a Comment