Tuesday, 3 January 2012

Ini Tentang Angin

Saya sungguh mencintai angin. Angin kecil dari siulan, hembusan dari pantat, angin kecil yang mencumbui daun telinga, dan angin besar yang menerbangkan rumah-rumah.

Suatu hari, saya bertemu angin beriak tenang, seperti sungai tak berakhir di air terjun. Angin itu melekat di tengkuk saya. Lalu di atas tubuh saya. Beberapa hari kemudian, angin itu hilang. Hilang seperti bumi sudah terlalu basah tampaknya. Saya menemukan dia, bermain-main dalam sebuah gua purba yang diisi setangkai bunga warna biru. Bunga yang tak terdaftar di ensiklopedia flora. Mungkin saya yang kurang intelek, atau membaca ensiklopedia kadaluarsa.

Angin itu saya panggil, ia tidak menoleh. Mungkin pura-pura. Lama saya marah dibuatnya, ia datang membawa kata maaf. Saya benci kehilangan barang canduan. Dia menyesal buat saya sakau. Angin itu saya maafkan, saya ijinkan dia jadi tornado di depan saya, setiap malam.

Angin itu kembali lagi menjamah gua purba. Saya tidak paham apa yang dipikirkannya. Benar-benar angin kurang ajar. Saya memutar satu lagu yang mampu kembalikan rasa benci saya. Saya buatkan air terjun di ujung tiupannya. Saya tak ingin memaafkan dia lagi.

Agaknya dia angin yang pandai. Pandai mencari kelemahan di tubuh saya. Itu pula yang membuat ia merasa jadi angin yang lebih muda dari angin muson. Saya tidak peduli padanya. Saya mau dia bertiup bukan di dua tempat. Saya tahu dia tak mungkin memilih gurun mana tempatnya akan menghabiskan hembusan terakhir. Saya juga tidak punya hak apa-apa memiliki dia. Saya usir dia, saya usir dia.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger