Tuesday 3 January 2012

Penonton Indonesia Belum Lahir

Saya bukan penonton film yang rajin ke bioskop. Saya penonton film yang lebih senang menontong goyonan live tukang ojek atau penjual martabak. Alasannya, setiap kali ke bioskop, saya merasa kesepian. Teman-teman saya, begitu masuk pintu bioskop, habis diperiksa tasnya, langsung lari melongoi poster film asing. Saya ditinggal sendiri sambil diteriaki, “Ndeso!”. Sebab mereka tahu, saya akan melongoi poster film Indonesia. Itupun hanya lima menit, kalau posternya bicara film semi atau horror dengan setan yang itu-itu terus. Waktu film Fiksi diputar, saya melongoi posternya sangat lama. Perasaan senang mekar-mekar di dada saya. Poster itu cantik dan artistik. Tapi teman saya, yang hari itu bersedia bayar tiket dan pop corn, menyodorkan tiket film asing. Tanpa melongoi poster.

“Semalam aku lihat di internet. Bagus,” begitu alasannya. Saya ikut-ikutan saja, melangkah masuk ke studior, dengan perasaan akan digugat putus poster film Fiksi. Selang beberapa bulan kemudian, pas perhelatan FFI, Fiksi menang sebagai film terbaik. Waktu itu, Fiksi sudah turun dari bioskop. Saya carilah Fiksi di web donlot film gratis. Dan asem, yang ada file-nya jauh dari bagus. Seminggu lebih saya begadang, mencari web lain, menggunakna internet gratis di kampus. Akhirnya saya menemukan, pas saya sangat kelaparan. Saya pun meminta seorang teman untuk men-donlot file film itu sementara saya cabut mencari makananan, teman saya mengiyakan. Pas balik, teman saya hilang. Saya periksa laptop, file-nya succesfully downloaded, tapi hanya Part1. Ternyata teman saya donlot film asing, sebuah film semi dan satu film horror Asia.

Karena jengkel, data kedua film itu saya lempar ke recycle bin dan berniat bilang,
“Kalo mau donlot film asing, jangan pake laptop pribumi!”
Tapi teman saya menghilang betulan. Entah ke mana, saya tidak peduli. Hari-hari berikutnya, saya habiskan nongkrong cerita film di kantin kampus. Mereka lebih banyak bercerita tentang film Korea, film Jepang, dan film-film box-office. Lalu saya nyelutuk, perihal Minggu Pagi di Victoria Park, Mereka Bilang, Saya Monyet, dan Merantau. Mereka cueki saya, katanya seleraku sangat tidak up to-date.

“Dasar monyet!”

Ini saya yang salah negara, atau mereka memang telah dibeli negara asing di alam bawah sadarnya? Film Indonesia berjuang membentuk diri sejak 1825, mulai dari Pribumi Berburu Buaya, sampai film Sang Penari 2011 kemarin. Beberapa kali sempat sekarat karena tuntutan penonton yang mencari dunia lain birahi dalam layar bioskop. Namun disembuhkan oleh sineas lain yang berani berbuat dan berani bicara, “Menyuguhkan Indonesia dari canteng, bukan cangkir.”

Sekarang ini, pembuat film Indonesia mengkotak-kotakkan diri. mereka yang memanjakan pasar dan tidak mau kalah saing dengan produk film luar negeri, membuat film horror dilapis semi-porn atau sebaliknya. Yang lain, yang paham bahwa tontonan tak melulu harus memuaskan serotonin, namun pula mesti memberi asupan nurani dan nilai-nilai moril, membuat film yang di luar ekspektasi penonton kebanyakan walau beresiko kurang laku.

Menurut saya, orang Indonesia banyak sekali, namun sedikit bahkan nyaris tidak ada orang yang tahu ‘menonton’. Jika alasan mereka, film Indonesia tidak ada yang bagus, lantas bagaimana nilai dan pencapaian film-film Indonesia, yang panjang atau pendek, yang memenangkan festival film bergengsi taraf Internasional?

Film-film Indonesia wajar merasa dianaktirikan oleh keluaranya sendiri. Mereka lebih dihargai orang asing ketimbang om, tante, dan saudara pribumi sekalian. Di Hollywood, film-film pemenang Oscar berada di daftar box-office, sementara film lain yang tersisih, jarang kita temukan di list itu. Ini berarti, rakyat Amerika memang senang dan menghargi Amerika. Bukan negara asing. Bahkan rakyat negara asing ikut mencintai negara adidaya itu.

Lah, kita, orang Indonesia. Waktu ibu dan ayah membuatkan kita kuda-kudaan dari pelepah pisang, kita malah minta uang naik komidi putar. Yang hanya memberikan kesenangan sejenak, paling lama 5 menit. Kuda-kudaan pelepah itu bisa tahan sampai besok sore, dan termasuk renewable resource, sebab bahannya dari alam Indonesia.
Sineas-sineas idealis itu menyuguhkan Indonesia untuk Indonesia. Kita, orang Indonesia tidak menonton Indonesia. Ini kesalahan intelektual yang lama terjajah film ‘amoril’ ataukah tak punya nalar menonton yang baik dari sananya? Atau memang penonton Indonesia belum lahir? Penonton hanya numpang kewarganegaraan Indonesia, makan-tidur di Indonesia tapi memberikan mata, tenaga, pikiran, dan uangnya untuk negara lain?

Katanya, menikmati film bukan perkara nasionalisme. Alasan beberapa orang, film Indonesia belum bisa menyentuh capaian film asing. Dari tontonan saya mengenai film Indonesia selama ini, film Indonesia semakin mencerdaskan diri. sudah banyak film-film yang kuat secara tematik dan sinematografi. Ada banyak film Indonesia yang disejajarkan dengan film-film asing, bahkan lebih manusiawi dan artistik ketimbang film-film asing. Menu tawaran perfilman Indonesia tidak lagi monoton. Jadi, penonton saya rasa mulai kurang waras jika mengangkat alasan, “sineas kita belum bisa diandalkan”. Ini hanya alasan pembenaran diri, semacam cari kambing hitam agar tidak disalahkan atas mental menonton yang jauh dari harapan.

***
Segeralah lahir, penonton Indonesia!

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger