Sunday, 12 May 2013

Empat Musim Sebab Akibat

film ke-14 Kim Ki Duk

Menyenangkan mempelajari film dari akar-akarnya. Sama halnya mempelajari matematika dari rumus paling dasar ke rumus turunan yang skala kerumitannya mencapai tingkat dewa. Belajar film dengan cara ini tak hanya ampuh untuk filmmaker, tapi juga sebagai jurus terbaik bagi penikmat dan kritikus film. Sahihlah kata peribahasa yang wara-wiri di dunia pembelajaran film, ‘tak afdhal dirimu di film tanpa memahami dan menonton serial Star Wars’. Untuk film yang akan saya ceritakan selanjutnya, peribahasa di atas juga tepat disandingkan dengannya. Spring, Summer, Fall, Winter,...and Spring produksi tahun 2003 arahan Kim Ki Duk, salah satu master perfilman asal negeri sejuta boyband, Korea.


Beberapa waktu sebelumnya, dari list Top 250 IMDb, saya melihat salah satu karya absurd Kim Ki Duk yang benar-benar menginfeksi otak saya sampai sekarang, 3-Iron (2004). Film berdurasi cukup panjang yang dibuat setahun setelah Spring, Summer, Fall, Winter....and Spring ini dikemas dengan dialog super minim. Kedua tokoh utamanya tak mengucapkan sepatah katapun, tak berdialag dalam keadaan apapun, kecuali pada scene pamungkasnya. Sang tokoh utama wanita hanya berkata ‘saranghae’. Kalimat indah ini seperti seketika menghangatkan jiwa, meluluhkan semua gelisah, dan membenarkan semua dugaan yang muncul di benak kita selama film berlangsung. Menakjubkan!


3-Iron
3-Iron hanyalah kisah cinta. Kalau kita menyaksikan dan merata-rata semua kisah percintaan di negeri ini, pasti ujung-ujungnya akan menemukan ending semacam milik ‘bawang merah, bawang putih’. Sementara Kim Ki Duk mempermainkan semua keyakinan dan pengetahuan kita selama ini. Dalam kisah 3-Iron, anda dibawa menjelajah dan menyambung-nyambung sendiri dua galaksi berbeda: khayalan dan kenyataan.


3-Iron tidak menggunakan teknis membahana. Kim Ki Duk benar-benar fokus pada konsep dan cara berceritanya yang berkarakter. Treatment yang sama digunakan Ki Duk dalam Spring, Summer, Fall, Winter.... and Spring. Gambar-gambar mengalir apa adanya, perpindahan bergerak natural dan para cast yang berakting nyaman. Seperti 3-Iron, Ki Duk juga menggunakan sound secukupnya, namun bukan berarti gambar-gambar sunyi itu menjadi sepi. Jutsru ‘kesunyian’ merupakan bagian sakral dari keseluruhan konsep film yang luar biasa ini.




Spring, Summer, Fall, Winter.... and Spring berjudul asli Bom yeoreum gaeul gyeoul geurigo bom ini bercerita tentang kehidupan seorang biksu muda dan gurunya di sebuah kuil apung yang terdapat di lembah terpencil. Kuil tersebut dikeliling danau yang tak pernah kering.  Yah, seperti posisi geografis pulau samosir di tengah danau toba.  Satu-satunya alat berhubungan mereka hanya satu perahu kecil yang paling banter muat untuk 4 orang. Mereka pun, seperti halnya kebiasaan biksu berhungan dengan dunia luar hanya jika ada keperluan. Misalkan mereka kehabisan bahan pangan.


kuil apung

Cara mendidik sang guru bijaksana ini terbilang unik. Ia jarang sekali memberi ceramah kepada muridnya. Ia membiarkan murid satu-satunya (saat Spring pertama masih kanak-kanak) bereksplorasi di sekitar kuil. Murid tersebut dibiarkannya memetik daun obat di tepi danau, baru setelah ia pulang membawa tumbuhan yang dimaksud, sang guru mengajari tanaman-tanaman yang beracun dengan tutur kata singkat, padat, dan jelas.


Satu waktu, sang murid bermain-main di sungai berbatu di tepi danau. Diam-diam sang guru mengikutinya. Psikologi anak seusia muridnya tentu memancingnya untuk melakukan banyak hal demi memenuhi rasa keingintahuannya. Sang  murid yang mungkin bosan sebab tidak punya teman bermain, menangkap seekor ikan lalu diikatkan kerikil di badan ikan itu. Ia kemudian membiarkannya berenang dengan beban batu yang tentu berat baginya. Hal yang sama dilakukan si murid dengan seekor katak dan ular yang tadi nyaris mematoknya.

sang biksu bocah

Ulah si murid ini membuat geram gurunya. Diam-diam, saat tidur malam, sang guru mengikat batu besar di punggungnya. Dan ya, saat bangun si murid mengeluh akan batu itu. Dengan tenang sang guru mengajarinya, bahwa itulah yang dirasakan ketiga binatang yang kamu siksa kemarin. Ia meminta biksu bocah itu mencari si ikan, katak, dan ular untuk melepaskan bebannya. Sang guru berkata, “Cari mereka, bebaskan beban mereka baru saya membebaskan kamu dari bebanmu. Tapi jika mereka mati, beban itu kamu bawa selamanya dalam hatimu’. Hasilnya, si murid menangis sejadi-jadinya saat menemukan ikan dan ular tersebut mati. Peristiwa ini menjadi musabab dan tempat kembali sang murid saat ia dewasa nanti.

Saat Summer, sang murid sudah akil-baligh. Di satu pagi yang cerah, seorang ibu dan anak gadisnya datang ke kuil untuk berobat. Si gadis tampaknya mengalami kesedihan mendalam. Ditinggalkannya gadis itu di kuil untuk disembuhkan jiwanya oleh ajaran buddha. Kim Ki Duk selalu membiarkan satu dari scene-nya mudah ditebak penonton di bagian permulaan demi mendukung penuturan-penuturan yang mengejutkan selanjutnya. Benar, murid dan gadis itu saling jatuh cinta. Tak tanggung-tanggung, percintaan mereka sampai pada batas yang melanggar ajaran buddha, bercinta. Mereka melakukannya di sungai berbatu, di dalam kuil, dan di atas perahu. Set film ini tak lari ke mana-mana. Kim Ki Duk menciptakan satu set rekaan yang dapat dimaksimalkan. Semua cerita film berlangsung di kuil, danau, dan hutan di sekitar kuil saja. Tidak ke mana-mana. Tapi pikiran penonton sanggup dibawa ke mana saja.


biksu dewasa dan gadis yang 'disembuhkan'


Setelah bercinta di perahu, mereka ketahuan sang guru. Ia membuat perahu itu tenggelam saat keduanya tertidur kelelahan. Sang gadis pun sembuh karena ‘pengobatan’ ini. Ia segera dipulangkan ke keluarganya. Tentu sang murid yang telah jatuh cinta padanya tidak sanggup kehilangan. Ia menyusul gadis itu ke kota dan kembali ke kuil setelah membunuhnya. Diberi cobaan murid yang bersifat seperti ini tak membuat sang guru kehilangan inner peace dalam jiwanya. Dengan sabar ia mendidik si murid dan tidak menghukumnya dengan cara yang kasar. Ia meminta sang murid mengukir huruf-huruf dari kitab di atas dermaga kuil dengan ekor seekor kucing putih dan dua polisi yang ditugaskan menangkapnya dibiarkan menunggu sampai ia selesai menjalankan hukuman.

Kisah berlanjut ke Winter. Sang murid telah kembali dari penjara. Namun sang guru keburu meninggal dengan cara penguburan diri sendiri yang di luar dugaan. Sang murid yang terpukul menghukum diri sendiri seperti cara ia menyiksa ikan, katak, dan ular tadi. Bagian ini dilatari backsound yang benar-benar membuat kita merasakan kegelisahan dan kehilangan besar dalam jiwanya. Kisah dibuat semakin menggigit dengan kehadiran dan kehilangan beruntun selanjutnya.

Spring, Summer, Fall, Winter.... and Spring secara keseluruhan menggambarkan kehidupan biksu di kuil dari sudut pandang yang betul-betul berbeda dengan penggambaran kehidupan yang sama dalam film bertema serupa ala sineas China. Dua ajaran besar dalam ajaran Buddha dituturkan penuh pertimbangan dan rapi dalam film ini: Samsara dan Ketabahan. Samsara dalam pemahaman singkat dipahami sebagai ‘sebab-akibat’ dan tentulah ‘ketabahan’ yang membuat seseorang mampu melewatinya.

the wise monk

Teman-teman saya berkelakar, mungkin ada sekelompok orang yang langsung memeluk ajaran Buddha setelah menonton film ini. Ya, bisa jadi. Sebab Spring, Summer, Fall, Winter.... and Spring ibaratnya menceritakan agama Islam dengan setting mesjid tapi dari sudut pandang seorang preman yang berkeliaran di sekitarnya. Salah satu film Indonesia yang menggunakan point of view serupa adalah Alangkah Lucunya Negeri Ini (Deddy Mizwar, 2010) yang bercerita tentang Islam meminjam sudut pandang orang-orang yang dekat dengan dunia kriminal. Atau kita boleh menengok Le Grand Voyage (Ishmael Ferroukhi, 2004) yang bercerita tentang kesucian perjalanan haji meminjam kacamata anak muda modern Paris yang bahkan tidak tahu bahwa agama itu ada.

Menikmati Spring, Summer, Fall, Winter.... and Spring berkali-kali takkan membosankan walau gambar di sana-sini cenderung sunyi sebagai ciri khas characters who talk very little or not at all ala Ki Duk dan teknis kamera yang biasa-biasa saja. Film ini membuat kita percaya bahwa film bagus itu tak perlu menggunakan teknologi cetar membahana. 

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger