Saturday 10 March 2012

Tidurlah, Jaia…

Waktu dimana ia bebas memaki-maki pemimpin negara, menginjak-injak para provokator, dan menghabiskan harta konglomerat angkuh durjana dengan melakukan semacam petualangan di berbagai pusat perbelanjaan adalah kegemaran Jaia.

Ruang dan suasana itu takkan ia temukan di kamar, rumah, kota, negara, benua, planet, bimasakti, dan alam ini. Ruang dan suasana yang selalu melahirkannya sebagai manusia baru bergaris nasib baru. Ruang dan suasana sekejap yang mengantarnya ke segenap gemerlap yang diinginkannya.

Jangan tawari Jaia sebuah Lamborgini atau kapal pesiar semewah Titanic. Jangan pula berpikir memberinya cinta segenap jiwa raga dapat membuatnya menemukan kebahagiannya. Kebahagian dalam hidupnya adalah masa privat singkat yang tak butuh banyak modal. Yang bisa kau lakukan hanya terpaku di sampingnya, menatap penuh harap pada tubuhnya yang terlentang—meski telanjang— tak acuh. Kebahagiaan itu akan ia temukan sesaat setelah kau hadiahi ia kasur, bantal, dan selimut rajut.

Ketika kau berniat membawanya bepergian, di lokasi pariwisata itu ia pasti lebih memilih penginapan murahan dengan kasur yang digelar di atas lantai. Dan pasti pula ia akan memilih kamar paling sudut, yang lembabnya bukan main disamping gelap seperti bagian terdalam gua.
Kau pikir dia sejenis beruang yang kecanduan hibernasi? Bukan. Ia tidak hidup melalui cadangan makanan dalam tubuhnya. Meski memejamkan mata dan terbuai melayang dalam ruang dan suasana kegemarannya, ia ingat untuk bangun untuk melahap makanan yang kau sediakan. Ia pula akan menyikat gigi, mencuci muka, mandi, bahkan shalat sebelum kembali beringsut di bawah selimut.
Saat kau memutar lagu di dekatnya, tubuhnya akan ikut bergoyang dalam lelap. Mungkin kau akan tertawa-tawa sampai keluar air mata saat melihatnya meliuk-liuk mirip bendera ikan koi begitu kau memutar CD lagu-lagu Melayu.

Tapi yang mengerikan adalah mengapa kau mencintai laki-laki seperti itu?
Karena kau tak pernah sekalipun melihat laki-laki itu sedih. Kau perlihatkan ia kliping guntingan koran yang memberitakan pembantaian Zionis Israel terhadap bangsa Palestina, ia diam lalu tidur. Kau ceritakan waktu pahitmu hari ini saat tak kuasa memberikan alasan kepada mandor pabrik mengapa terlambat dan kau menerima pemecatan karena tak ada pilihan lain. Kau pun menangis memikirkan dari mana kau akan memberinya makan. Ia diam lalu tidur.
Saat itu, seorang pria tambun datang ke rumahmu atas nama sebuah rumah produksi besar di Jakarta. Ia pernah melihatmu menyanyi di acara ulang tahun keponakannya, gadis bulat yang kaya raya. Ia menawarimu kontrak lima album sekaligus. Konsekuensinya berat, kau harus pindah ke Jakarta. Laki-laki itu tersenyum, diam, lalu tidur. Seminggu kemudian kau berangkat, membiarkannya terus berada di bawah selimut. Laki-laki itu tak tahu bagaimana cara menuntutmu untuk tetap di sampingnya. Untuk memperhatikannya sampai telanjang.

Sepuluh tahun yang lalu…

Pak guru Sulaiman, orang yang dianggap paling bijaksana di sekolah itu, diminta dengan penuh pengharapan oleh wali kelas seorang anak laki-laki tampan untuk menyampaikan raportnya. Pak Sulaiman mengenal anak itu, apalagi dengan senyum-senyum cerianya jika bermain ular naga di lapangan. Dengan sangat hati-hati ia menyerahkan raport anak itu pada kedua orang tuanya. Raut wajah ketiganya mengerut ke arah kesedihan.

Anak laki-laki tampan itu kena marah habis-habisan. Ia menangis semalaman, menatap tong sampah berisi raportnya yang tengah digaruk api. Sampai pagi membuka kotak cahaya, anak laki-laki itu masih meneteskan air mata. Ibunya murka. Ia dimaki, dicubiti. Serta merta ayahnya datang membawa bambu untuk dipukulkan di pantatnya. Ia mengerang kesakitan. Tambah bising.

“Diam!!”

Anak itu merangkak payah menuju kamarnya. Air matanya terus mengalir, ia tak bersuara sedikipun. Ia terus merangkak, terhenti di ujung tangga, cahaya putih yang timbul tenggelam di balik hutan menarik perhatiannya. Kain gorden disingkapnya lebar-lebar. Cahaya itu mendekatinya, pasti. Menancap di retina. Ia terdiam, lalu tertidur.

Ia beranjak remaja, memiliki pacar bertubuh mungil. Sungguh tak serasi dengan keadaan fisiknya yang begitu sempurna sebagai laki-laki, tinggi dan kekar. Kemudian hari, beberapa menit setelah gadis itu menolak ajakannya mengunjungi galeri, ia melihatnya tengah diajari memetik gitar oleh pemuda lain, Gii. Ia mengenal Gii tanpa sisa. Remaja itu berubah gahar, ia gelap mata, mengamuk di tempatnya bepijak. Jembatan gantung itu terhentak hebat. Pasar kaget di ujungnya dipenuhi jerit takut dan nista makian. Tiba-tiba karena amarah, remaja itu terpelanting ke bawah, menimpa sungai. Pacarnya sudah memainkan kunci G.

Remaja itu sudah esema sekarang. Ia pandai bermain kata. Setiap puisinya indah memeluk gurat-gurat hati terkecil. Para gadis menggilainya seperti korban geliat lincah Cassanova. Ia melahirkan puisi-puisi romantis di kelas, di kantin, di taman, di halte. Ia membacakannya di depan siapa saja, teman, guru, satpam, pengemis, polisi. Pada seiris petang, ia menangis melihat dua batang puisinya menyelinap dalam rubrik sastra koran. Diksi, rima, irama, dan suasana puisi itu miliknya. Sungguh, demi Tuhan. Di ekor lembarannya, terukir sebuah nama yang sangat ia kenal, Satira—seorang gadis yang mengagumi setip inci karyanya. Kalimat kedua di ekor lembaran itu menyayat hati, membuka penutup kotak air matanya, “Pemenang pertama anugrah sastra remaja,” Ia menangis kembali sejadi-jadinya. Tak sekalipun hati orang tuanya tersayat.

Metamorfosis bayi berfisik indah itu tiba pada tahap sempurna. Ia tumbuh menjadi laki-laki dewasa perkasa, dermawan, taat beribadah dan pintar. Teori pamungkasnya dalam disiplin Linguistik makro mengantarnya menuju beasiswa paling diincar. Beasiswa yang bukan hanya menanggung biaya pendidikan yang tak sanggup dipenuhi orang tuanya, meskipun daging tubuh telah dijual, melainkan juga mampu menopang hidup keluarga kecilnya selama satu dasawarsa. Namun, ayah dan ibunya tak jua disayat gembira.

Lelaki itu menangis lebih keras dari sebelumnya. Burung malam melihat darah keluar dari mata sembabnya. Satu malam yang dingin dalam sebuah alam, bimasakti, planet, benua, negara, kota, rumah, kamar, lelaki itu menjerit pilu. Menangisi ketakacuhan di sekelilingnya seorang diri. Meratapi kejahatan tampak tak dikenal. Ia rebah di atas kasur yang digelar di lantai, merangkul bantalnya, membuka selimut. Ia diam untuk tidur.

Begitu ia bangun di pagi hari berjarak satu musim dari malam itu. Kau, perempuan cantik namun aneh, melihat ada luapan cinta di matanya untukmu juga sebaliknya.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger