Dari dulu saya percaya bahwa seni dan semua bagiannya adalah milik masyarakat, bukan satu kelompok tertentu, apalagi berada di bawah kendali perorangan demi berkertas-kertas uang.
Dari dulu, sejak manusia diciptakan di bumi dan belajar mengenai bangaimana satu jenis batu tertentu mengeluarkan bunyi yang indah, uang tidak turut bersamanya.
Dari dulu, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan di atas bumi dan mengelolanya bersama-sama. Tak satupun manusia diciptakan sebagai pengendali atas diri orang lain. Seorang kepala suku yang dipilih dalam satu musyawarah tidak diberi wewenang untuk memanfaatkan mereka yang telah memilihnya. Namun ia berkewajiban mengayomi dan menjaga mereka yang memilih. Seorang pemimpin bukan berarti diktator, dia justru hidup di atas tekanan-tekanan orang-orang yang ia pimpin.
Kesenian, apapun bentuknya adalah milik bersama. Seseorang mungkin telah menggubah sebuah lagu yang belum pernah ada, ia dinobatkan sebagai si pembuat lagu. Si pembuat memperdengarkannya kepada masyarakat. Dari sinilah, kesenian kembali pada pemiliknya. Si pembuat lagu terang saja mengambil beberapa bahan dari apa yang ia lihat di sekitarnya, apa-apa saja yang tentu milik sesiapa di sekitarnya. Seorang seniman hanyalah pereduksi. Seorang seniman adalah perangkai serpihan-serpihan yang tersebar di masyarakat, menjadikannya satu, lalu dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk kenikmatan.
Untuk menuliskan ini, saya tidak pernah membaca buku teori manapun. Saya belajar dari alam dan kehidupan saya selama 21 tahun di pulau Sulawesi dan mengintip bagian dunia lain melalui alat-alat komunikasi.
Berangkat dari semua pengalaman saya berkesenian dan berinteraksi dengan para seniman (sebenarnya saya bukanlah seorang seniman, saya hanya pecinta seni), saya memiliki satu mimpi akan satu dusun seni & pariwisata.
Dusun itu berdiri di atas tanah 2x ukuran lapangan sepakbola dengan beragam art points di dalamnya. Semua kesenian berkumpul di sana, yang tradisional, yang modern. Semua seniman berkumpul di sana tanpa tendensi dan arogansi.
Dusun tersebut dibagi seperti zona pembagian satwa di Indonesia: zona Asia, zona peralihan, dan zona Weber. Tapi saya membaginya dalam 3 zona lain: zona tradisional, zona peralihan, dan zona modern.
Zona tradisional:
- Berisi bangunan-bangunan yang mengadopsi arsitektur tradisional Indonesia dari berbagai daerah dalam bentuk miniatur. Miniatur-miniatur tersebut dipajang dalam satu ruang pameran yang free bagi siapa saja. Kemudian beberapa petak untuk permainan tradisional anak: enggo’-enggo’, dende’, dan lainnya lengkap dengan peralatan bermain.
- Akan ada pekan-pekan untuk kesenian rakyat seperti atraksi paraga, lomba bermain anak tradisional, pau-pau toriolo, dan permainan musik gambus, tarian daerah dan lainnya.
- Di zona ini ada pula satu bangunan untuk berlatih tarian tradisional dan satu bangunan untuk menyimpan beragam jenis alat musik tradisional yang sudah jarang kita temukan kini.
Zona peralihan:
- Saya belum memiliki pemahaman yang tepat untuk zona ini, akan tetapi secara garis besar saya mengubungkannya dengan seni teater.
- Di zona ini akan ada bangunan teater: indoor & outdoor. Adapula satu bangunan untuk pameran foto dan buku.
- Di zona ini, kita membangun satu kafe: sebuah tempat ngumpul dengan akses internet tak terbatas, perpustakaan beragam koleksi, bank of music, dan galeri desain kostum yang dikelola oleh masing-masing seniman yang fokus untuk bidang-bidang tersebut.
Zona modern:
- Apapun yang kita temukan sekarang ini ada di sini.
- Dari ruang pemutaran film (indoor & outdoor), house of DJ, studio-studio seni (studio musik, studio film, studio tari, dan lainnya)
Di atas lahan yang tersisa tersebar paviliun-paviliun bagi seniman-seniman yang akan tinggal dalam dusun ini nantinya, garasi-garasi, kebun, taman, apotek hidup, dan seluruh lahan akan dialiri air dari sungai buatan yang aliran airnya terus diperbaharui dari air terjun buatan yang terletak tepat di zona tradisional.
Secara umum konsep arsitektur dusun ini menyesuaikan diri dengan alam yang dipenuhi pepohonan dan beranekan jenis tanaman khas Indonesia. Mengenai unsur religius, unsur ini berada dalam hati masing-masing pengelolanya. Akan ada sarana ibadah, tetap dibangun, namun semua dibuat tidak mengganggu ketentraman pemeluk agama lain.
Sistem pengelolaannya: sharing. Siapapun dapat bergabung di sini dan mengelola bagian yang disanggupi. Masing-masing memiliki tanggung jawabnya. Mungkin saja akan ada kordinator umum, akan tetapi itu dibahas bersama dan harus dipegang oleh orang yang bijaksana.
Sebisa mungkin dusun seni & pariwisata ini tidak memungut biaya bagi masyarakat. Sebab merekalah pemilik sejati dusun ini. orang-orang di dalam dusun adalah pengabdi masyarakat di bidang kesenian. Dusun tidak menerima investor yang berorientasi bisnis. Kalaupun kelak akan ada bayaran, semua diperuntukkan untuk pemeliharaan dusun & tanggungan hidup pengelolanya.
***
Terbaca tinggi & jauhlah mimpi saya ini. Saya tidak mau membunuhnya, menguburnya. Saya merasa banyak pula pecinta seni di luar sana yang merasakan apa yang saya rasakan. Kelak, kami semua akan berkumpul dalam dusun ini dan memelihara kesenian sebagai bagian dari rakyat yang bebas tak terbatas.
Semoga kita dipertemukan, kawan. Semoga setelah pertemuan itu, segera dusun ini terwujud.
0 komentar:
Post a Comment