Wednesday 7 March 2012

Keumala, Nadia Vega Si Penulis

Sehabis natap credit title, saya dan seorang teman berlari sampai ke lobi Studio 21 Mtos untuk melihat siapa saja di balik pembuatan film ‘Keumala’, eh tidak taunya poster ‘Keumala; sudah turun, diganti dengan film Indonesia lain. Saya lupa judulnya. Cepat sekali film ini turun. Padahal ‘Keumala’ rilis 1 Maret 2012 kemarin dan menyuguhkan gambar-gambar indah dalam bentuk landscape pesisir pantai, laut, dan pegunungan.

‘Keumala’ bercerita tentang seorang penulis novel terkenal yang menderita resinitis pigmentosa. Ia melakukan perjalanan dari Jakarta ke Sabang dengan kapal Kelud. Di kapal tersebut ia bertemu dengan seorang fotografer bernama Langit yang belakangan ini banyak memotret gambar pemandangan dan senja sebagai bentuk pelariannya dari masa lalu.

Di kapal itu, ia juga bertemu dengan Inong, anak dari seorang ibu yang hilang pasca tsunami di Aceh. Inong memiliki foto ibunya yang hendak ia perbaiki karena rusak terkena air, ia meminta bantuan pada Langit. Inong dan Keumala tinggal di daerah yang sama di Sabang.


Pertemuan Langit dan Keumala tidak berjalan baik. Mereka saling mengejek masa lalu dan karakter masing-masing. Langit yang ketus, Keumala yang gengsian. Setiap bertemu, mereka pasti beradu mulut. Menariknya, adu mulut itu tidak disampaikan dalam kalimat konkret, melainkan dalam bahasa puitis yang terkadang sarkas.

Setelah merapat di Padang, Keumala menghilang. Ia frustrasi dengan kebutaan yang akan ia derita. Dari situ ia memutuskan untuk menghapus semua orang-orang di masa lalunya. Namuan Langit tidak bisa melupakannya. Ia mengunjung Inong dan meminta Inong mengantarnya ke tempat Keumala. Langit lalu menyewa kamar tepat di samping kamar Keumala dan menyamar sebagai Arthur yang bisu agar dapat menjaga Keumala tanpa membuat gadis itu tersinggung.

Sepintas, film ini mengingatkan saya akan ‘L’Amant’, sebuah film perancis bercerita tentang gadis belia asal perancis yang menjalin cinta dengan seorang Cina di tepian sungai Mekong. Keduanya bertemu pertama kali di pelabuhan dan kapal menjadi penanda sebuah perjalanan cinta.
Andhy Pulung, sang sutradara berhasil mengangkat film cinta bercerita sederhana bahkan cenderung klise dengan cara yang unik. Saya kagum dengan angle dan gambar-gambar cantik yang tepat proporsi. Jadi sense yang ingin disampaikan kepada penonton dapat, penonton jadi sabar menanti scene selanjutnya walaupun scene tersebut dapat kita tebak a seperti apa. Jarang sekali saya menyaksikan gambar-gambar fotografis seperti itu. Tambahan lagi, setting alam Sabang yang jarang diekspos selama ini. Ada beberapa kali saya merasa berada di negara lain, padahal masih di Indonesia.

Sebagai penikmat sastra, saya kadang menangkap ada beberapa kalimat yang bias. Mungkin penulis fokus pada pemilihan diksi yang puitik, hingga kurang awas pada maknanya.

Nadia Vega yang berperan sebagai Keumala beberapa kali ‘bocor’. Keumala si penderita rabun senja tidak buta siang hari. Di beberapa adegan, Nadia Vega berakting buta padahal bukan pada waktunya. But well, aktris cantik ini berhasil memerankan tokoh Keumala yang menurut saya memang cocok diperankan olehnya.

‘Keumala’ cocok ditonton oleh pelaku sastra yang bijak di karya saja. Walaupun agaknya kurang etis menilai seorang sastrawan dari kesehariannya. Sindiran Langit atas sikap Keumala yang tidak inspiratif seperti dalam karya-karyanya akan menohok pelaku sastra yang sulit diajak komunikasi di dunia nyata.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger