Ketika harga bahan bakar minyak naik, harga semua sandang dan pangan mengikuti kenaikan harganya. Kekuatiran itu tampak jelas dari wajah pedagang kaki lima di kampus-kampus dan warung-warung kecil di pinggir jalan. Mereka resah. Mereka takut.
Biasanya, yang paling pertama merespon isu kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil di Unhas adalah Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKPM) Unhas. Mereka sepakat turun aksi ke jalan, menolah kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Aksi kali ini berbeda, UKPM merangkul semua UKM Seni di Makassar dalam aksi seni di pintu 1 Unhas.
"Karena Katanya Seni Bukan Hanya di Gedung Kesenian," demikian bunyi salah satu spanduk yang tertempel di pusat spanduk pintu 1. Ya, sekali merengkuh dayung, dua hingga tiga pulau terlampaui. Sembari mengeritik pemerintah pusat, mereka juga bersuara atas keadaan kesenian Makassar yang menguatirkan, menurut mereka.
Kegiatan itu dilaksanakan pada 15 Maret 2012, mulai dari pukul 5 sore hingga selesai. Aksi ini dihadiri oleh Teater Kampus Unhas, Komunitas Pantun Unhas, SpaSI Unhas, Bengkel Sastra UNM, Komunitas Pengamen Jalanan, beberapa UKM Seni dari kampus-kampus lain, dan Kelompok Studi Seni, Sastra, dan Teater (Kosaster) di mana saya bergabung.
Dwiky Pratama Noviar, Ayu Lestari, Dwi Adiyatma Herlandi, Khaerul Ikhsan, Anggra Firmansyah, dan saya menampilkan teaterikal dan musikalisasi dari dua sajak saya. Konsep yang kami angkat adalah simbolisasi dari 'ibu pertiwi' berdasarkan lagu ini,
kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati,
air matanya berlinang, mas intan yang terkenang,
hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan,
kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa,
"Sang 'ibu pertiwi' memasuki panggung dengan sebuah lentera padam. Ia berlari ke sekeliling, mengamuk, mencari-cari sesuatu dengan limpung dan langkah gontai, mengikuti bunyi suling, gendang Makassar, shaker, dan gitar akustik yang magis,"
"Di pertengahan ia merunduk, menemukan sesuatu untuk membakar lentera berbahan bakar minyak tanah tersebut, dan secarik kertas berisi sajak dari bumi,"
"Sang 'ibu pertiwi' membaca sajak marah dan sajak sedih berikut,
Semua bisa saja_
Tidak ada yang berubah semenjak jatuhnya titik-titik embun pagi tadi
Tetitik pemanggilku menatap buku
Biasa saja semua
Terpal hitam adalah langit hari ini
Perkelahian, tangis, jiwa retak, bisu
Hal-hal yang sama
Tapi mengapa kita tiba-tiba berteriak?
Otak karatan kita dijejalkan tanya-tanya berbau selidik
Minyak akan menenggelamkan kita
dan uang-uang akan mencekik ibu bapak kita
Jumat, sabtu, minggu,
Deretan yang tak pernah berubah
Dentuman, peredaman, memekakkan, mengemosi
Menggumpal bersama musik ini,
Teruntuk mereka,
yang mewakili kita dengan belati-belati rahasia
Teruntuk mereka,
Kita lihat nanti
Bagaimana waktu memamerkan mujizatNya
"Lampu dinyalakan, tadinya panggung gelap gulita. Lalu sepenggal nada intro dari lagu 'ibu pertiwi' lirih menelusup ke dalam nada magis tadi,"
Negaraku Indonesia, surga semu
Bendera diturunkan tanpa upacara
Rutinitas berlalu tak tersadari
Bukan raja perintah kami
Dia setan!
Bendera berkibar bukan pada tiang
Hukum mati selayak dinding berjamur
Indonesia, negara ayam kate
Punya sayap tapi sukar terbang
Ditendang yang adidaya, baru melompat terkaget
Darah pernah ditampung dalam satu kota
Banyak yang tersedu, lautan memerah
Itu dulu,
Itu dulu,
Satu mimpi tak berpeduli
Yang selalu kugemakan waktu kebanyakan orang tuli,
“Inginkan merdeka Indonesia sedamai hutan
Saat berteman dengan awan dan hujan
…
Inginkan merdeka Indonesia sedamai hutan
Saat berteman dengan awan dan hujan”
_
"Seketika suasana senyap dan kelam, seolah ada badai minyak dari segala penjuru, musik perlahan berhenti. 'ibu pertiwi' meraih kembali lenteranya, mematikan nyala sumbu. Dan suasana masih kelam,"
0 komentar:
Post a Comment