Cukup sudah. Waktu, jangan permainkan aku! Aku sudah mencarinya di setiap tempat yang kau tunjukkan. Himalaya, Los Angeles, Sydney, London, Paris, dan Kuala Lumpur. Apa, Tokyo? Sudah. Sekali lagi kuperingatkan untuk tidak permainkan aku. Tentu kau yang banyak diabaikan orang tak mau bertambah pengabai, karena aku enggan mempercayaimu lagi, kan?
“Zyigansk, kota di daerah lembah pegunungan Werchoyansk, Rusia,”
Kau yakin ia disana? Aku takkan sanggup ke negara beku itu. Di Malino saja aku sudah dikuasai hipotermia. Kau saksi senyata-nyataku, di pulau sendiri, di negara tropis ini aku pernah hampir mati kedinginan. Apalagi kalau jadi tetangga orang Eskimo. Pasti kau cuma ingin melihat Rusia lebih jelas bersamaku, karena merasa selama ini keluargamu selalu dipermainkan di daerah itu. Disana, maaf kawan, sekujur tubuh kalian memang omong kosong.
Cukup sudah. Jangan beritahu aku satu petunjuk lagi. Tak perlu lagi kudengar semua yel-yelmu tentang kegigihan dan semangat. Mengapa? Karena kedua hal itu telah lebih dulu bersanding erat dengan kerinduan dan kecintaanku kepada perempuan itu sebelum kau temukan. Aku takkan bertanya lagi padamu, biar kucari dia sendiri.
Perempuan itu, aku belum pernah menyentuhnya sama sekali. Kutatap matanya pun tak pernah. Siluet tentangnya hanya perempuan berjilbab berkacamata. Kacamata itu menyembunyikan setiap kilau matanya dan melindungi matanya dari meliarnya tatapku. Ia perempuan yang tak cocok jadi wanita karir, tak cocok pula menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Ia ajaib. Dan kau tahu, isi kepalanya itu kesintingan soal masa lampau dan barang-barang antik. Hahaha, aku tahu dimana dia sekarang. Mozaik-mozaik panorama kuno akan menuntun jalanku bertemu dengannya.
Kutatap enam angka yang tercetak rapi di buku tabungan. Enam angka adalah jumlah yang sangat kecil, masih untung angka pertamanya delapan. Kubawa kakiku ke bank cabang di dekat rumah, semua angka itu seketika menjadi nol-nol telanjang yang terus menertawaiku.
“Dasar miskin! Laki-laki melarat. Kau tak ubahnya seperti Tarzan kesasar, jelek, hitam, bau, dan tak punya uang!!”
Nol-nol yang baik. Kalimat-kalimat kalian ibarat petuah kyai. Akan selalu menghantui agar dapat kubuktikan diriku tak seburuk Tarzan.
Satu jam kemudian, uang itu sudah berubah jadi puluhan jas hujan, sepatu boot, dan payung. Waktu, catat! Aku tengah banting stir dari seorang guru honorer menjadi pengusaha kecil. Musim hujan seperti ini, peruntungan paling mantap disembunyikan oleh ketiga benda pelindung dari hujan itu.
”Dipilih, dipilih, sambalu! Bermacam-macam model untuk melindungi orang-orang tersayang anda saat berkegiatan di musim hujan!” teriakanku lantang membelah pasar., terus menggema dari megafon. Jangan mengejekku, Waktu. Memang tidak ada penjual seperti ini selain tukang obat, tentu sebelum aku muncul. Aku menjual seperti orang kesetanan cinta. Orang menawar sangat rendah pun kuterima. Tak peduli dengan untung banyak karena sedikit kali banyak sama dengan berlimpah hingga tertumpah!!
Tak lebih dari dua bulan, nol-nol itu terusir. Mereka lari terbirit-birit ditendangi laskar angka genap berjumlah delapan. Catat lagi waktu, kekuatan cinta itu memang tanpa batas. Kau tahu kenapa? Sebab cinta diciptakan oleh Yang Tak Terbatas.
Alhamdulillah, kantong sudah cukup tembem untuk berkeliling Eropa. Aku terbang ke semua kota yang terkenal dengan barang-barang antik Kutemukan bekas sentuhan perempuan itu di Athena, bekas tapak kakinya di Bukarest, di Budapest sisa tawanya masih dapat terdengar jelas, senyum-senyum manis tak putus-putusnya mengikuti aliran air di Venesia dan Sungai Seine. Jawaban atas tanya-tanya selidiknya masih dapat kujamah di Belfast, Irlandia. Perlahan pohon kebahagiaan tumbuh pasti dari kecambahnya yang memang telah lama tertanam atas nama yang kita sebut cinta.
Kusaksikan tanpa kesangsian jutaan bekas tatapan matanya di toko barang antik di Stockholm. Pemilik toko masih ingat akan seorang perempuan Indonesia berjilbab yang datang mencari claw untuk dijadikan kalung. Pohon kebahagiaan tumbuh pesat di hatiku, menjulang menembus lengkung kaki langit.
Wangi tubuhnya yang sering dibawa udara ke hidungku saat perempuan itu melintas di depan tugu Adipura, masih menempel jelas di dinding-dinding bangunan Warsawa. Warsawa, Polandia, tak begitu jauh dari Rusia! Astagfirullah, aku telah salah padamu, Waktu. Maafkan aku. Dari sini aku yakin memang mungkin saja ia pergi ke Zyigask untuk claw-claw yang dicarinya. Tapi ada yang aneh, bayang-bayang hipotermia yang selalu mengikutiku hilang entah kemana. Tengah kupijakkan kaki cukup lama di salah satu negara dingin di dunia, tak kurasakan gangguan sedikitpun. Aku segar, bugar, ceria.
Perjalanan kuteruskan ke Zyigask. Seperti daerah pegunungan Rusia yang lain, kota ini memang sepi dan tentu saja dingin. Kumasuki satu-satunya toko barang antik disana. Pemilik toko agak sulit diajak berkomunikasi tapi dapat kusimpulkan dari omongannya yang aneh dan belepotan, perempuan itu juga membeli claw di tokonya.
Tinggal satu tujuanku sebelum kembali ke Indonesia, Mesir. Jika kuarungi gugusan piramidanya, mungkin akan kutemukan perempuan itu tengah melukis puncak-puncaknya berlatar langit bergemintang. Mungkin pula aku akan menemukan hatinya disitu. Dan…nihil. Tak ada dia di sana. Kutatap gurun di hadapanku dengan gamang. Tiba-tiba Waktu datang, membisikiku penuh awas tapi senang,
“Dia sudah pulang ke Indonesia, ada di benteng Rotterdam!” Waktu menatapku lekat, penuh harap agar aku mempercayainya sekali lagi.
Maka, pulanglah aku bersama harapan besar kembali ke kotaku, Makassar yang berangin semilir lincah gemulai itu. Mungkin setan cinta di kepalaku takkan pernah pergi. Ia membuatku begitu kuat hingga perjalanan dari Mesir ke Makassar terasa hanya sekedip dan tidak kutunda dulu pencarian ini sampai besok. Tenaga langsung kukayuh ke benteng Rotterdam sesaat setelah kutinggalkan bandara Hasanuddin.
Allanynyaki passimbanga,
Nu tallangngangi parrisikku,
Nu ribbakanga’…Nu eranga…a’bayang-bayang…
Waktu, bisakah kau meninggalkanku sejenak? Aku ingin saat ini statis dulu. Berhentilah sebentar saja, biar kunikmati dirinya setelah sekian lama hilang dari seluruh sudut pandang. Perempuan itu, dengan penuh kesabaran tengah memandu sekelompok turis asing.
“Hei, apa yang kau lakukan?” Waktu menyikut-nyikut bahuku.
“Terlalu lama kau memandangnya, ayo dekati! Malumu jangan disayang-sayang…” Waktu mendesak. “Yang kutahu, sebentar lagi mereka akan pergi ke Pangkep,”
Aku melangkah ke arah perempuan itu sambil memupuk-mupuk keberanian. Ternyata makin ciut seiring dekat jarakku padanya. Perempuan itu menoleh ke arahku, roh cinta semakin melesapi. Syarifah Sinai. Itu namanya, tertulis dengan huruf kapital tebal di nametag yang tersemat di dada kirinya.
“Permisi, Mba’…” ujarku pelan padanya. Seorang turis melengos karena penjelasan Sinai terpotong oleh kedatanganku.
“Maaf, saya Prayudha Gatra. Saya tidak bisa menemukan pemandu yang lain, bolehkah saya ikut rombongan ini?”
“Tentu saja,” Sinai tersenyum. Senyum tidak kenal siapa aku. Simpul untuk menjelaskan bahwa ia ramah pada siapa saja. Dan aku, orang yang baru dikenalnya dibuat menggila karena senyum itu. Membuatku jatuh dalam, dalam, lebih dalam dari palung Asia ke dalam palung di benak hatinya sendiri.
“Zyigansk, kota di daerah lembah pegunungan Werchoyansk, Rusia,”
Kau yakin ia disana? Aku takkan sanggup ke negara beku itu. Di Malino saja aku sudah dikuasai hipotermia. Kau saksi senyata-nyataku, di pulau sendiri, di negara tropis ini aku pernah hampir mati kedinginan. Apalagi kalau jadi tetangga orang Eskimo. Pasti kau cuma ingin melihat Rusia lebih jelas bersamaku, karena merasa selama ini keluargamu selalu dipermainkan di daerah itu. Disana, maaf kawan, sekujur tubuh kalian memang omong kosong.
Cukup sudah. Jangan beritahu aku satu petunjuk lagi. Tak perlu lagi kudengar semua yel-yelmu tentang kegigihan dan semangat. Mengapa? Karena kedua hal itu telah lebih dulu bersanding erat dengan kerinduan dan kecintaanku kepada perempuan itu sebelum kau temukan. Aku takkan bertanya lagi padamu, biar kucari dia sendiri.
Perempuan itu, aku belum pernah menyentuhnya sama sekali. Kutatap matanya pun tak pernah. Siluet tentangnya hanya perempuan berjilbab berkacamata. Kacamata itu menyembunyikan setiap kilau matanya dan melindungi matanya dari meliarnya tatapku. Ia perempuan yang tak cocok jadi wanita karir, tak cocok pula menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Ia ajaib. Dan kau tahu, isi kepalanya itu kesintingan soal masa lampau dan barang-barang antik. Hahaha, aku tahu dimana dia sekarang. Mozaik-mozaik panorama kuno akan menuntun jalanku bertemu dengannya.
Kutatap enam angka yang tercetak rapi di buku tabungan. Enam angka adalah jumlah yang sangat kecil, masih untung angka pertamanya delapan. Kubawa kakiku ke bank cabang di dekat rumah, semua angka itu seketika menjadi nol-nol telanjang yang terus menertawaiku.
“Dasar miskin! Laki-laki melarat. Kau tak ubahnya seperti Tarzan kesasar, jelek, hitam, bau, dan tak punya uang!!”
Nol-nol yang baik. Kalimat-kalimat kalian ibarat petuah kyai. Akan selalu menghantui agar dapat kubuktikan diriku tak seburuk Tarzan.
Satu jam kemudian, uang itu sudah berubah jadi puluhan jas hujan, sepatu boot, dan payung. Waktu, catat! Aku tengah banting stir dari seorang guru honorer menjadi pengusaha kecil. Musim hujan seperti ini, peruntungan paling mantap disembunyikan oleh ketiga benda pelindung dari hujan itu.
”Dipilih, dipilih, sambalu! Bermacam-macam model untuk melindungi orang-orang tersayang anda saat berkegiatan di musim hujan!” teriakanku lantang membelah pasar., terus menggema dari megafon. Jangan mengejekku, Waktu. Memang tidak ada penjual seperti ini selain tukang obat, tentu sebelum aku muncul. Aku menjual seperti orang kesetanan cinta. Orang menawar sangat rendah pun kuterima. Tak peduli dengan untung banyak karena sedikit kali banyak sama dengan berlimpah hingga tertumpah!!
Tak lebih dari dua bulan, nol-nol itu terusir. Mereka lari terbirit-birit ditendangi laskar angka genap berjumlah delapan. Catat lagi waktu, kekuatan cinta itu memang tanpa batas. Kau tahu kenapa? Sebab cinta diciptakan oleh Yang Tak Terbatas.
Alhamdulillah, kantong sudah cukup tembem untuk berkeliling Eropa. Aku terbang ke semua kota yang terkenal dengan barang-barang antik Kutemukan bekas sentuhan perempuan itu di Athena, bekas tapak kakinya di Bukarest, di Budapest sisa tawanya masih dapat terdengar jelas, senyum-senyum manis tak putus-putusnya mengikuti aliran air di Venesia dan Sungai Seine. Jawaban atas tanya-tanya selidiknya masih dapat kujamah di Belfast, Irlandia. Perlahan pohon kebahagiaan tumbuh pasti dari kecambahnya yang memang telah lama tertanam atas nama yang kita sebut cinta.
Kusaksikan tanpa kesangsian jutaan bekas tatapan matanya di toko barang antik di Stockholm. Pemilik toko masih ingat akan seorang perempuan Indonesia berjilbab yang datang mencari claw untuk dijadikan kalung. Pohon kebahagiaan tumbuh pesat di hatiku, menjulang menembus lengkung kaki langit.
Wangi tubuhnya yang sering dibawa udara ke hidungku saat perempuan itu melintas di depan tugu Adipura, masih menempel jelas di dinding-dinding bangunan Warsawa. Warsawa, Polandia, tak begitu jauh dari Rusia! Astagfirullah, aku telah salah padamu, Waktu. Maafkan aku. Dari sini aku yakin memang mungkin saja ia pergi ke Zyigask untuk claw-claw yang dicarinya. Tapi ada yang aneh, bayang-bayang hipotermia yang selalu mengikutiku hilang entah kemana. Tengah kupijakkan kaki cukup lama di salah satu negara dingin di dunia, tak kurasakan gangguan sedikitpun. Aku segar, bugar, ceria.
Perjalanan kuteruskan ke Zyigask. Seperti daerah pegunungan Rusia yang lain, kota ini memang sepi dan tentu saja dingin. Kumasuki satu-satunya toko barang antik disana. Pemilik toko agak sulit diajak berkomunikasi tapi dapat kusimpulkan dari omongannya yang aneh dan belepotan, perempuan itu juga membeli claw di tokonya.
Tinggal satu tujuanku sebelum kembali ke Indonesia, Mesir. Jika kuarungi gugusan piramidanya, mungkin akan kutemukan perempuan itu tengah melukis puncak-puncaknya berlatar langit bergemintang. Mungkin pula aku akan menemukan hatinya disitu. Dan…nihil. Tak ada dia di sana. Kutatap gurun di hadapanku dengan gamang. Tiba-tiba Waktu datang, membisikiku penuh awas tapi senang,
“Dia sudah pulang ke Indonesia, ada di benteng Rotterdam!” Waktu menatapku lekat, penuh harap agar aku mempercayainya sekali lagi.
Maka, pulanglah aku bersama harapan besar kembali ke kotaku, Makassar yang berangin semilir lincah gemulai itu. Mungkin setan cinta di kepalaku takkan pernah pergi. Ia membuatku begitu kuat hingga perjalanan dari Mesir ke Makassar terasa hanya sekedip dan tidak kutunda dulu pencarian ini sampai besok. Tenaga langsung kukayuh ke benteng Rotterdam sesaat setelah kutinggalkan bandara Hasanuddin.
Allanynyaki passimbanga,
Nu tallangngangi parrisikku,
Nu ribbakanga’…Nu eranga…a’bayang-bayang…
Waktu, bisakah kau meninggalkanku sejenak? Aku ingin saat ini statis dulu. Berhentilah sebentar saja, biar kunikmati dirinya setelah sekian lama hilang dari seluruh sudut pandang. Perempuan itu, dengan penuh kesabaran tengah memandu sekelompok turis asing.
“Hei, apa yang kau lakukan?” Waktu menyikut-nyikut bahuku.
“Terlalu lama kau memandangnya, ayo dekati! Malumu jangan disayang-sayang…” Waktu mendesak. “Yang kutahu, sebentar lagi mereka akan pergi ke Pangkep,”
Aku melangkah ke arah perempuan itu sambil memupuk-mupuk keberanian. Ternyata makin ciut seiring dekat jarakku padanya. Perempuan itu menoleh ke arahku, roh cinta semakin melesapi. Syarifah Sinai. Itu namanya, tertulis dengan huruf kapital tebal di nametag yang tersemat di dada kirinya.
“Permisi, Mba’…” ujarku pelan padanya. Seorang turis melengos karena penjelasan Sinai terpotong oleh kedatanganku.
“Maaf, saya Prayudha Gatra. Saya tidak bisa menemukan pemandu yang lain, bolehkah saya ikut rombongan ini?”
“Tentu saja,” Sinai tersenyum. Senyum tidak kenal siapa aku. Simpul untuk menjelaskan bahwa ia ramah pada siapa saja. Dan aku, orang yang baru dikenalnya dibuat menggila karena senyum itu. Membuatku jatuh dalam, dalam, lebih dalam dari palung Asia ke dalam palung di benak hatinya sendiri.