Sunday, 18 March 2012

Perempuan yang Kucari

Cukup sudah. Waktu, jangan permainkan aku! Aku sudah mencarinya di setiap tempat yang kau tunjukkan. Himalaya, Los Angeles, Sydney, London, Paris, dan Kuala Lumpur. Apa, Tokyo? Sudah. Sekali lagi kuperingatkan untuk tidak permainkan aku. Tentu kau yang banyak diabaikan orang tak mau bertambah pengabai, karena aku enggan mempercayaimu lagi, kan?

“Zyigansk, kota di daerah lembah pegunungan Werchoyansk, Rusia,”

Kau yakin ia disana? Aku takkan sanggup ke negara beku itu. Di Malino saja aku sudah dikuasai hipotermia. Kau saksi senyata-nyataku, di pulau sendiri, di negara tropis ini aku pernah hampir mati kedinginan. Apalagi kalau jadi tetangga orang Eskimo. Pasti kau cuma ingin melihat Rusia lebih jelas bersamaku, karena merasa selama ini keluargamu selalu dipermainkan di daerah itu. Disana, maaf kawan, sekujur tubuh kalian memang omong kosong.

Cukup sudah. Jangan beritahu aku satu petunjuk lagi. Tak perlu lagi kudengar semua yel-yelmu tentang kegigihan dan semangat. Mengapa? Karena kedua hal itu telah lebih dulu bersanding erat dengan kerinduan dan kecintaanku kepada perempuan itu sebelum kau temukan. Aku takkan bertanya lagi padamu, biar kucari dia sendiri.

Perempuan itu, aku belum pernah menyentuhnya sama sekali. Kutatap matanya pun tak pernah. Siluet tentangnya hanya perempuan berjilbab berkacamata. Kacamata itu menyembunyikan setiap kilau matanya dan melindungi matanya dari meliarnya tatapku. Ia perempuan yang tak cocok jadi wanita karir, tak cocok pula menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Ia ajaib. Dan kau tahu, isi kepalanya itu kesintingan soal masa lampau dan barang-barang antik. Hahaha, aku tahu dimana dia sekarang. Mozaik-mozaik panorama kuno akan menuntun jalanku bertemu dengannya.

Kutatap enam angka yang tercetak rapi di buku tabungan. Enam angka adalah jumlah yang sangat kecil, masih untung angka pertamanya delapan. Kubawa kakiku ke bank cabang di dekat rumah, semua angka itu seketika menjadi nol-nol telanjang yang terus menertawaiku.

“Dasar miskin! Laki-laki melarat. Kau tak ubahnya seperti Tarzan kesasar, jelek, hitam, bau, dan tak punya uang!!”

Nol-nol yang baik. Kalimat-kalimat kalian ibarat petuah kyai. Akan selalu menghantui agar dapat kubuktikan diriku tak seburuk Tarzan.

Satu jam kemudian, uang itu sudah berubah jadi puluhan jas hujan, sepatu boot, dan payung. Waktu, catat! Aku tengah banting stir dari seorang guru honorer menjadi pengusaha kecil. Musim hujan seperti ini, peruntungan paling mantap disembunyikan oleh ketiga benda pelindung dari hujan itu.

”Dipilih, dipilih, sambalu! Bermacam-macam model untuk melindungi orang-orang tersayang anda saat berkegiatan di musim hujan!” teriakanku lantang membelah pasar., terus menggema dari megafon. Jangan mengejekku, Waktu. Memang tidak ada penjual seperti ini selain tukang obat, tentu sebelum aku muncul. Aku menjual seperti orang kesetanan cinta. Orang menawar sangat rendah pun kuterima. Tak peduli dengan untung banyak karena sedikit kali banyak sama dengan berlimpah hingga tertumpah!!

Tak lebih dari dua bulan, nol-nol itu terusir. Mereka lari terbirit-birit ditendangi laskar angka genap berjumlah delapan. Catat lagi waktu, kekuatan cinta itu memang tanpa batas. Kau tahu kenapa? Sebab cinta diciptakan oleh Yang Tak Terbatas.

Alhamdulillah, kantong sudah cukup tembem untuk berkeliling Eropa. Aku terbang ke semua kota yang terkenal dengan barang-barang antik Kutemukan bekas sentuhan perempuan itu di Athena, bekas tapak kakinya di Bukarest, di Budapest sisa tawanya masih dapat terdengar jelas, senyum-senyum manis tak putus-putusnya mengikuti aliran air di Venesia dan Sungai Seine. Jawaban atas tanya-tanya selidiknya masih dapat kujamah di Belfast, Irlandia. Perlahan pohon kebahagiaan tumbuh pasti dari kecambahnya yang memang telah lama tertanam atas nama yang kita sebut cinta.

Kusaksikan tanpa kesangsian jutaan bekas tatapan matanya di toko barang antik di Stockholm. Pemilik toko masih ingat akan seorang perempuan Indonesia berjilbab yang datang mencari claw untuk dijadikan kalung. Pohon kebahagiaan tumbuh pesat di hatiku, menjulang menembus lengkung kaki langit.

Wangi tubuhnya yang sering dibawa udara ke hidungku saat perempuan itu melintas di depan tugu Adipura, masih menempel jelas di dinding-dinding bangunan Warsawa. Warsawa, Polandia, tak begitu jauh dari Rusia! Astagfirullah, aku telah salah padamu, Waktu. Maafkan aku. Dari sini aku yakin memang mungkin saja ia pergi ke Zyigask untuk claw-claw yang dicarinya. Tapi ada yang aneh, bayang-bayang hipotermia yang selalu mengikutiku hilang entah kemana. Tengah kupijakkan kaki cukup lama di salah satu negara dingin di dunia, tak kurasakan gangguan sedikitpun. Aku segar, bugar, ceria.

Perjalanan kuteruskan ke Zyigask. Seperti daerah pegunungan Rusia yang lain, kota ini memang sepi dan tentu saja dingin. Kumasuki satu-satunya toko barang antik disana. Pemilik toko agak sulit diajak berkomunikasi tapi dapat kusimpulkan dari omongannya yang aneh dan belepotan, perempuan itu juga membeli claw di tokonya.

Tinggal satu tujuanku sebelum kembali ke Indonesia, Mesir. Jika kuarungi gugusan piramidanya, mungkin akan kutemukan perempuan itu tengah melukis puncak-puncaknya berlatar langit bergemintang. Mungkin pula aku akan menemukan hatinya disitu. Dan…nihil. Tak ada dia di sana. Kutatap gurun di hadapanku dengan gamang. Tiba-tiba Waktu datang, membisikiku penuh awas tapi senang,

“Dia sudah pulang ke Indonesia, ada di benteng Rotterdam!” Waktu menatapku lekat, penuh harap agar aku mempercayainya sekali lagi.

Maka, pulanglah aku bersama harapan besar kembali ke kotaku, Makassar yang berangin semilir lincah gemulai itu. Mungkin setan cinta di kepalaku takkan pernah pergi. Ia membuatku begitu kuat hingga perjalanan dari Mesir ke Makassar terasa hanya sekedip dan tidak kutunda dulu pencarian ini sampai besok. Tenaga langsung kukayuh ke benteng Rotterdam sesaat setelah kutinggalkan bandara Hasanuddin.

Allanynyaki passimbanga,
Nu tallangngangi parrisikku,
Nu ribbakanga’…Nu eranga…a’bayang-bayang…

Waktu, bisakah kau meninggalkanku sejenak? Aku ingin saat ini statis dulu. Berhentilah sebentar saja, biar kunikmati dirinya setelah sekian lama hilang dari seluruh sudut pandang. Perempuan itu, dengan penuh kesabaran tengah memandu sekelompok turis asing.

“Hei, apa yang kau lakukan?” Waktu menyikut-nyikut bahuku.

“Terlalu lama kau memandangnya, ayo dekati! Malumu jangan disayang-sayang…” Waktu mendesak. “Yang kutahu, sebentar lagi mereka akan pergi ke Pangkep,”

Aku melangkah ke arah perempuan itu sambil memupuk-mupuk keberanian. Ternyata makin ciut seiring dekat jarakku padanya. Perempuan itu menoleh ke arahku, roh cinta semakin melesapi. Syarifah Sinai. Itu namanya, tertulis dengan huruf kapital tebal di nametag yang tersemat di dada kirinya.

“Permisi, Mba’…” ujarku pelan padanya. Seorang turis melengos karena penjelasan Sinai terpotong oleh kedatanganku.

“Maaf, saya Prayudha Gatra. Saya tidak bisa menemukan pemandu yang lain, bolehkah saya ikut rombongan ini?”

“Tentu saja,” Sinai tersenyum. Senyum tidak kenal siapa aku. Simpul untuk menjelaskan bahwa ia ramah pada siapa saja. Dan aku, orang yang baru dikenalnya dibuat menggila karena senyum itu. Membuatku jatuh dalam, dalam, lebih dalam dari palung Asia ke dalam palung di benak hatinya sendiri.

#21 overworked underpressured

masih merasa di bawah tekanan padahal kerja-kerja nyaris membunuh karakter,
di balik semuanya,
memang menyenangkan menghapus seseorang dari hidup kita, walau sejatinya ia masih ada di sekitar, berada dalam area pergaulan, dan terkadang duduk di sampingku,
jelas semuanya tak kusadari,

bekas-bekasnya hilang sudah,
pula bekas-bekasku padanya,
kecuali satu mungkin, bekasku pada keluarganya. Sesekali mereka menghubungi, menanyakan kabar, menceritakan hidup, dan memanggilku.

entahlah, bisa kupenuhi ingin mereka, atau tetap memberi potongan teka-teki.
lama-kelamaan mereka akan sadar, masa lalu tak punya kaki panjang mencapai masa depan.


saya senang berada di kantor-kantor itu.
menulis, membaca, bercerita, dan menghabiskan genangan-genangan kopi dalam gelas.
namun, selalu saja ketertarikan akan lawan jenis, entah dari salah satu mereka kepadaku atau dariku kepada salah satu mereka: kedua hal ini sangat mengganggu.

terkadang, tetiba ada kecupan dan pertemuan-pertemuan ganjil, yang menghina keinginanku untuk terus mandiri, sendiri, dan mengerjakan tugas-tugas dari langit,
semua itu sangat mengganggu.
saya ingin profesional, saya ingin menjalaninya dalam jalur pekerjaan -jikalau anda juga menganggapnya begitu- tolong, jangan dicampuradukkan. keduanya jauh berbeda.


selamat malam, selamat bersenang-senang,
mari mengendalikan pribadi masing-masing
wahai, angin dan lain-lainnya
:)

Saturday, 17 March 2012

#20 overworked underpressured

It doesn't that hurting anymore,
after months of remedy and escaping,

still, yeah, sometimes those moments still spins me around, blow me up, throw me down, then i'll get to nowhere,

but
it doesn't that hurting anymore,
I found myself further than I felt before,

In my shadowy imagination, I'd like to make a family with ya, in secret btw..
hahhaha...
no one knows, no human knows...

I'll take it care somebody far, far away
Till forever ends and being forgetful,

See ya, at that coffee shop,
anytime....

pic: gtvone.com

Friday, 16 March 2012

Catatan dari Aksi Kecil 'Menolak Kenaikan Harga BBM' oleh Seniman-seniman Kecil

Media massa, cetak dan elektronik gencar memberitakan kabar rencana kenaikan harga bahan bakar minya pada april nanti. Resah hadir di mana-mana. Siapapun gelisah. Bahan bakar minyak telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari jutaan penduduk Indonesia, utamanya rakyat kecil. Usaha-usaha kecil dan menengah masih bergantung pada harga bahan bakar minyak, walaupun kebijakan penggunaan gas telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu.

Ketika harga bahan bakar minyak naik, harga semua sandang dan pangan mengikuti kenaikan harganya. Kekuatiran itu tampak jelas dari wajah pedagang kaki lima di kampus-kampus dan warung-warung kecil di pinggir jalan. Mereka resah. Mereka takut.

Biasanya, yang paling pertama merespon isu kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil di Unhas adalah Unit Kegiatan Mahasiswa Pers (UKPM) Unhas. Mereka sepakat turun aksi ke jalan, menolah kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Aksi kali ini berbeda, UKPM merangkul semua UKM Seni di Makassar dalam aksi seni di pintu 1 Unhas.


"Karena Katanya Seni Bukan Hanya di Gedung Kesenian," demikian bunyi salah satu spanduk yang tertempel di pusat spanduk pintu 1. Ya, sekali merengkuh dayung, dua hingga tiga pulau terlampaui. Sembari mengeritik pemerintah pusat, mereka juga bersuara atas keadaan kesenian Makassar yang menguatirkan, menurut mereka.

Kegiatan itu dilaksanakan pada 15 Maret 2012, mulai dari pukul 5 sore hingga selesai. Aksi ini dihadiri oleh Teater Kampus Unhas, Komunitas Pantun Unhas, SpaSI Unhas, Bengkel Sastra UNM, Komunitas Pengamen Jalanan, beberapa UKM Seni dari kampus-kampus lain, dan Kelompok Studi Seni, Sastra, dan Teater (Kosaster) di mana saya bergabung.

Dwiky Pratama Noviar, Ayu Lestari, Dwi Adiyatma Herlandi, Khaerul Ikhsan, Anggra Firmansyah, dan saya menampilkan teaterikal dan musikalisasi dari dua sajak saya. Konsep yang kami angkat adalah simbolisasi dari 'ibu pertiwi' berdasarkan lagu ini,

kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati,
air matanya berlinang, mas intan yang terkenang,
hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan,
kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa,


"Sang 'ibu pertiwi' memasuki panggung dengan sebuah lentera padam. Ia berlari ke sekeliling, mengamuk, mencari-cari sesuatu dengan limpung dan langkah gontai, mengikuti bunyi suling, gendang Makassar, shaker, dan gitar akustik yang magis,"

"Di pertengahan ia merunduk, menemukan sesuatu untuk membakar lentera berbahan bakar minyak tanah tersebut, dan secarik kertas berisi sajak dari bumi,"

"Sang 'ibu pertiwi' membaca sajak marah dan sajak sedih berikut,



Semua bisa saja
Tidak ada yang berubah semenjak jatuhnya titik-titik embun pagi tadi
Tetitik pemanggilku menatap buku

Biasa saja semua
Terpal hitam adalah langit hari ini
Perkelahian, tangis, jiwa retak, bisu
Hal-hal yang sama

Tapi mengapa kita tiba-tiba berteriak?
Otak karatan kita dijejalkan tanya-tanya berbau selidik
Minyak akan menenggelamkan kita
dan uang-uang akan mencekik ibu bapak kita

Jumat, sabtu, minggu,
Deretan yang tak pernah berubah
Dentuman, peredaman, memekakkan, mengemosi
Menggumpal bersama musik ini,

Teruntuk mereka,
yang mewakili kita dengan belati-belati rahasia

Teruntuk mereka,
Kita lihat nanti
Bagaimana waktu memamerkan mujizatNya
_

"Lampu dinyalakan, tadinya panggung gelap gulita. Lalu sepenggal nada intro dari lagu 'ibu pertiwi' lirih menelusup ke dalam nada magis tadi,"

Negaraku Indonesia, surga semu
Bendera diturunkan tanpa upacara
Rutinitas berlalu tak tersadari
Bukan raja perintah kami
Dia setan!

Bendera berkibar bukan pada tiang
Hukum mati selayak dinding berjamur

Indonesia, negara ayam kate
Punya sayap tapi sukar terbang
Ditendang yang adidaya, baru melompat terkaget

Darah pernah ditampung dalam satu kota
Banyak yang tersedu, lautan memerah
Itu dulu,
Itu dulu,

Satu mimpi tak berpeduli
Yang selalu kugemakan waktu kebanyakan orang tuli,

“Inginkan merdeka Indonesia sedamai hutan
Saat berteman dengan awan dan hujan

Inginkan merdeka Indonesia sedamai hutan
Saat berteman dengan awan dan hujan”
_


"Seketika suasana senyap dan kelam, seolah ada badai minyak dari segala penjuru, musik perlahan berhenti. 'ibu pertiwi' meraih kembali lenteranya, mematikan nyala sumbu. Dan suasana masih kelam,"

Sunday, 11 March 2012

Setiap Mimpi akan Dijamah

gambar: Art Quilts by Kathy York





Dari dulu saya percaya bahwa seni dan semua bagiannya adalah milik masyarakat, bukan satu kelompok tertentu, apalagi berada di bawah kendali perorangan demi berkertas-kertas uang.
Dari dulu, sejak manusia diciptakan di bumi dan belajar mengenai bangaimana satu jenis batu tertentu mengeluarkan bunyi yang indah, uang tidak turut bersamanya.

Dari dulu, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan di atas bumi dan mengelolanya bersama-sama. Tak satupun manusia diciptakan sebagai pengendali atas diri orang lain. Seorang kepala suku yang dipilih dalam satu musyawarah tidak diberi wewenang untuk memanfaatkan mereka yang telah memilihnya. Namun ia berkewajiban mengayomi dan menjaga mereka yang memilih. Seorang pemimpin bukan berarti diktator, dia justru hidup di atas tekanan-tekanan orang-orang yang ia pimpin.

Kesenian, apapun bentuknya adalah milik bersama. Seseorang mungkin telah menggubah sebuah lagu yang belum pernah ada, ia dinobatkan sebagai si pembuat lagu. Si pembuat memperdengarkannya kepada masyarakat. Dari sinilah, kesenian kembali pada pemiliknya. Si pembuat lagu terang saja mengambil beberapa bahan dari apa yang ia lihat di sekitarnya, apa-apa saja yang tentu milik sesiapa di sekitarnya. Seorang seniman hanyalah pereduksi. Seorang seniman adalah perangkai serpihan-serpihan yang tersebar di masyarakat, menjadikannya satu, lalu dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk kenikmatan.

Untuk menuliskan ini, saya tidak pernah membaca buku teori manapun. Saya belajar dari alam dan kehidupan saya selama 21 tahun di pulau Sulawesi dan mengintip bagian dunia lain melalui alat-alat komunikasi.

Berangkat dari semua pengalaman saya berkesenian dan berinteraksi dengan para seniman (sebenarnya saya bukanlah seorang seniman, saya hanya pecinta seni), saya memiliki satu mimpi akan satu dusun seni & pariwisata.

Dusun itu berdiri di atas tanah 2x ukuran lapangan sepakbola dengan beragam art points di dalamnya. Semua kesenian berkumpul di sana, yang tradisional, yang modern. Semua seniman berkumpul di sana tanpa tendensi dan arogansi.

Dusun tersebut dibagi seperti zona pembagian satwa di Indonesia: zona Asia, zona peralihan, dan zona Weber. Tapi saya membaginya dalam 3 zona lain: zona tradisional, zona peralihan, dan zona modern.

Zona tradisional:
- Berisi bangunan-bangunan yang mengadopsi arsitektur tradisional Indonesia dari berbagai daerah dalam bentuk miniatur. Miniatur-miniatur tersebut dipajang dalam satu ruang pameran yang free bagi siapa saja. Kemudian beberapa petak untuk permainan tradisional anak: enggo’-enggo’, dende’, dan lainnya lengkap dengan peralatan bermain.
- Akan ada pekan-pekan untuk kesenian rakyat seperti atraksi paraga, lomba bermain anak tradisional, pau-pau toriolo, dan permainan musik gambus, tarian daerah dan lainnya.
- Di zona ini ada pula satu bangunan untuk berlatih tarian tradisional dan satu bangunan untuk menyimpan beragam jenis alat musik tradisional yang sudah jarang kita temukan kini.

Zona peralihan:
- Saya belum memiliki pemahaman yang tepat untuk zona ini, akan tetapi secara garis besar saya mengubungkannya dengan seni teater.
- Di zona ini akan ada bangunan teater: indoor & outdoor. Adapula satu bangunan untuk pameran foto dan buku.
- Di zona ini, kita membangun satu kafe: sebuah tempat ngumpul dengan akses internet tak terbatas, perpustakaan beragam koleksi, bank of music, dan galeri desain kostum yang dikelola oleh masing-masing seniman yang fokus untuk bidang-bidang tersebut.

Zona modern:
- Apapun yang kita temukan sekarang ini ada di sini.
- Dari ruang pemutaran film (indoor & outdoor), house of DJ, studio-studio seni (studio musik, studio film, studio tari, dan lainnya)

Di atas lahan yang tersisa tersebar paviliun-paviliun bagi seniman-seniman yang akan tinggal dalam dusun ini nantinya, garasi-garasi, kebun, taman, apotek hidup, dan seluruh lahan akan dialiri air dari sungai buatan yang aliran airnya terus diperbaharui dari air terjun buatan yang terletak tepat di zona tradisional.

Secara umum konsep arsitektur dusun ini menyesuaikan diri dengan alam yang dipenuhi pepohonan dan beranekan jenis tanaman khas Indonesia. Mengenai unsur religius, unsur ini berada dalam hati masing-masing pengelolanya. Akan ada sarana ibadah, tetap dibangun, namun semua dibuat tidak mengganggu ketentraman pemeluk agama lain.

Sistem pengelolaannya: sharing. Siapapun dapat bergabung di sini dan mengelola bagian yang disanggupi. Masing-masing memiliki tanggung jawabnya. Mungkin saja akan ada kordinator umum, akan tetapi itu dibahas bersama dan harus dipegang oleh orang yang bijaksana.

Sebisa mungkin dusun seni & pariwisata ini tidak memungut biaya bagi masyarakat. Sebab merekalah pemilik sejati dusun ini. orang-orang di dalam dusun adalah pengabdi masyarakat di bidang kesenian. Dusun tidak menerima investor yang berorientasi bisnis. Kalaupun kelak akan ada bayaran, semua diperuntukkan untuk pemeliharaan dusun & tanggungan hidup pengelolanya.

***
Terbaca tinggi & jauhlah mimpi saya ini. Saya tidak mau membunuhnya, menguburnya. Saya merasa banyak pula pecinta seni di luar sana yang merasakan apa yang saya rasakan. Kelak, kami semua akan berkumpul dalam dusun ini dan memelihara kesenian sebagai bagian dari rakyat yang bebas tak terbatas.

Semoga kita dipertemukan, kawan. Semoga setelah pertemuan itu, segera dusun ini terwujud.

Saturday, 10 March 2012

#19 Overworked Underpressured

Jalan yang labil...
Tatap yang moody...
Rasa yang kerontang...


masih aku

Tidurlah, Jaia…

Waktu dimana ia bebas memaki-maki pemimpin negara, menginjak-injak para provokator, dan menghabiskan harta konglomerat angkuh durjana dengan melakukan semacam petualangan di berbagai pusat perbelanjaan adalah kegemaran Jaia.

Ruang dan suasana itu takkan ia temukan di kamar, rumah, kota, negara, benua, planet, bimasakti, dan alam ini. Ruang dan suasana yang selalu melahirkannya sebagai manusia baru bergaris nasib baru. Ruang dan suasana sekejap yang mengantarnya ke segenap gemerlap yang diinginkannya.

Jangan tawari Jaia sebuah Lamborgini atau kapal pesiar semewah Titanic. Jangan pula berpikir memberinya cinta segenap jiwa raga dapat membuatnya menemukan kebahagiannya. Kebahagian dalam hidupnya adalah masa privat singkat yang tak butuh banyak modal. Yang bisa kau lakukan hanya terpaku di sampingnya, menatap penuh harap pada tubuhnya yang terlentang—meski telanjang— tak acuh. Kebahagiaan itu akan ia temukan sesaat setelah kau hadiahi ia kasur, bantal, dan selimut rajut.

Ketika kau berniat membawanya bepergian, di lokasi pariwisata itu ia pasti lebih memilih penginapan murahan dengan kasur yang digelar di atas lantai. Dan pasti pula ia akan memilih kamar paling sudut, yang lembabnya bukan main disamping gelap seperti bagian terdalam gua.
Kau pikir dia sejenis beruang yang kecanduan hibernasi? Bukan. Ia tidak hidup melalui cadangan makanan dalam tubuhnya. Meski memejamkan mata dan terbuai melayang dalam ruang dan suasana kegemarannya, ia ingat untuk bangun untuk melahap makanan yang kau sediakan. Ia pula akan menyikat gigi, mencuci muka, mandi, bahkan shalat sebelum kembali beringsut di bawah selimut.
Saat kau memutar lagu di dekatnya, tubuhnya akan ikut bergoyang dalam lelap. Mungkin kau akan tertawa-tawa sampai keluar air mata saat melihatnya meliuk-liuk mirip bendera ikan koi begitu kau memutar CD lagu-lagu Melayu.

Tapi yang mengerikan adalah mengapa kau mencintai laki-laki seperti itu?
Karena kau tak pernah sekalipun melihat laki-laki itu sedih. Kau perlihatkan ia kliping guntingan koran yang memberitakan pembantaian Zionis Israel terhadap bangsa Palestina, ia diam lalu tidur. Kau ceritakan waktu pahitmu hari ini saat tak kuasa memberikan alasan kepada mandor pabrik mengapa terlambat dan kau menerima pemecatan karena tak ada pilihan lain. Kau pun menangis memikirkan dari mana kau akan memberinya makan. Ia diam lalu tidur.
Saat itu, seorang pria tambun datang ke rumahmu atas nama sebuah rumah produksi besar di Jakarta. Ia pernah melihatmu menyanyi di acara ulang tahun keponakannya, gadis bulat yang kaya raya. Ia menawarimu kontrak lima album sekaligus. Konsekuensinya berat, kau harus pindah ke Jakarta. Laki-laki itu tersenyum, diam, lalu tidur. Seminggu kemudian kau berangkat, membiarkannya terus berada di bawah selimut. Laki-laki itu tak tahu bagaimana cara menuntutmu untuk tetap di sampingnya. Untuk memperhatikannya sampai telanjang.

Sepuluh tahun yang lalu…

Pak guru Sulaiman, orang yang dianggap paling bijaksana di sekolah itu, diminta dengan penuh pengharapan oleh wali kelas seorang anak laki-laki tampan untuk menyampaikan raportnya. Pak Sulaiman mengenal anak itu, apalagi dengan senyum-senyum cerianya jika bermain ular naga di lapangan. Dengan sangat hati-hati ia menyerahkan raport anak itu pada kedua orang tuanya. Raut wajah ketiganya mengerut ke arah kesedihan.

Anak laki-laki tampan itu kena marah habis-habisan. Ia menangis semalaman, menatap tong sampah berisi raportnya yang tengah digaruk api. Sampai pagi membuka kotak cahaya, anak laki-laki itu masih meneteskan air mata. Ibunya murka. Ia dimaki, dicubiti. Serta merta ayahnya datang membawa bambu untuk dipukulkan di pantatnya. Ia mengerang kesakitan. Tambah bising.

“Diam!!”

Anak itu merangkak payah menuju kamarnya. Air matanya terus mengalir, ia tak bersuara sedikipun. Ia terus merangkak, terhenti di ujung tangga, cahaya putih yang timbul tenggelam di balik hutan menarik perhatiannya. Kain gorden disingkapnya lebar-lebar. Cahaya itu mendekatinya, pasti. Menancap di retina. Ia terdiam, lalu tertidur.

Ia beranjak remaja, memiliki pacar bertubuh mungil. Sungguh tak serasi dengan keadaan fisiknya yang begitu sempurna sebagai laki-laki, tinggi dan kekar. Kemudian hari, beberapa menit setelah gadis itu menolak ajakannya mengunjungi galeri, ia melihatnya tengah diajari memetik gitar oleh pemuda lain, Gii. Ia mengenal Gii tanpa sisa. Remaja itu berubah gahar, ia gelap mata, mengamuk di tempatnya bepijak. Jembatan gantung itu terhentak hebat. Pasar kaget di ujungnya dipenuhi jerit takut dan nista makian. Tiba-tiba karena amarah, remaja itu terpelanting ke bawah, menimpa sungai. Pacarnya sudah memainkan kunci G.

Remaja itu sudah esema sekarang. Ia pandai bermain kata. Setiap puisinya indah memeluk gurat-gurat hati terkecil. Para gadis menggilainya seperti korban geliat lincah Cassanova. Ia melahirkan puisi-puisi romantis di kelas, di kantin, di taman, di halte. Ia membacakannya di depan siapa saja, teman, guru, satpam, pengemis, polisi. Pada seiris petang, ia menangis melihat dua batang puisinya menyelinap dalam rubrik sastra koran. Diksi, rima, irama, dan suasana puisi itu miliknya. Sungguh, demi Tuhan. Di ekor lembarannya, terukir sebuah nama yang sangat ia kenal, Satira—seorang gadis yang mengagumi setip inci karyanya. Kalimat kedua di ekor lembaran itu menyayat hati, membuka penutup kotak air matanya, “Pemenang pertama anugrah sastra remaja,” Ia menangis kembali sejadi-jadinya. Tak sekalipun hati orang tuanya tersayat.

Metamorfosis bayi berfisik indah itu tiba pada tahap sempurna. Ia tumbuh menjadi laki-laki dewasa perkasa, dermawan, taat beribadah dan pintar. Teori pamungkasnya dalam disiplin Linguistik makro mengantarnya menuju beasiswa paling diincar. Beasiswa yang bukan hanya menanggung biaya pendidikan yang tak sanggup dipenuhi orang tuanya, meskipun daging tubuh telah dijual, melainkan juga mampu menopang hidup keluarga kecilnya selama satu dasawarsa. Namun, ayah dan ibunya tak jua disayat gembira.

Lelaki itu menangis lebih keras dari sebelumnya. Burung malam melihat darah keluar dari mata sembabnya. Satu malam yang dingin dalam sebuah alam, bimasakti, planet, benua, negara, kota, rumah, kamar, lelaki itu menjerit pilu. Menangisi ketakacuhan di sekelilingnya seorang diri. Meratapi kejahatan tampak tak dikenal. Ia rebah di atas kasur yang digelar di lantai, merangkul bantalnya, membuka selimut. Ia diam untuk tidur.

Begitu ia bangun di pagi hari berjarak satu musim dari malam itu. Kau, perempuan cantik namun aneh, melihat ada luapan cinta di matanya untukmu juga sebaliknya.

Wednesday, 7 March 2012

Keumala, Nadia Vega Si Penulis

Sehabis natap credit title, saya dan seorang teman berlari sampai ke lobi Studio 21 Mtos untuk melihat siapa saja di balik pembuatan film ‘Keumala’, eh tidak taunya poster ‘Keumala; sudah turun, diganti dengan film Indonesia lain. Saya lupa judulnya. Cepat sekali film ini turun. Padahal ‘Keumala’ rilis 1 Maret 2012 kemarin dan menyuguhkan gambar-gambar indah dalam bentuk landscape pesisir pantai, laut, dan pegunungan.

‘Keumala’ bercerita tentang seorang penulis novel terkenal yang menderita resinitis pigmentosa. Ia melakukan perjalanan dari Jakarta ke Sabang dengan kapal Kelud. Di kapal tersebut ia bertemu dengan seorang fotografer bernama Langit yang belakangan ini banyak memotret gambar pemandangan dan senja sebagai bentuk pelariannya dari masa lalu.

Di kapal itu, ia juga bertemu dengan Inong, anak dari seorang ibu yang hilang pasca tsunami di Aceh. Inong memiliki foto ibunya yang hendak ia perbaiki karena rusak terkena air, ia meminta bantuan pada Langit. Inong dan Keumala tinggal di daerah yang sama di Sabang.


Pertemuan Langit dan Keumala tidak berjalan baik. Mereka saling mengejek masa lalu dan karakter masing-masing. Langit yang ketus, Keumala yang gengsian. Setiap bertemu, mereka pasti beradu mulut. Menariknya, adu mulut itu tidak disampaikan dalam kalimat konkret, melainkan dalam bahasa puitis yang terkadang sarkas.

Setelah merapat di Padang, Keumala menghilang. Ia frustrasi dengan kebutaan yang akan ia derita. Dari situ ia memutuskan untuk menghapus semua orang-orang di masa lalunya. Namuan Langit tidak bisa melupakannya. Ia mengunjung Inong dan meminta Inong mengantarnya ke tempat Keumala. Langit lalu menyewa kamar tepat di samping kamar Keumala dan menyamar sebagai Arthur yang bisu agar dapat menjaga Keumala tanpa membuat gadis itu tersinggung.

Sepintas, film ini mengingatkan saya akan ‘L’Amant’, sebuah film perancis bercerita tentang gadis belia asal perancis yang menjalin cinta dengan seorang Cina di tepian sungai Mekong. Keduanya bertemu pertama kali di pelabuhan dan kapal menjadi penanda sebuah perjalanan cinta.
Andhy Pulung, sang sutradara berhasil mengangkat film cinta bercerita sederhana bahkan cenderung klise dengan cara yang unik. Saya kagum dengan angle dan gambar-gambar cantik yang tepat proporsi. Jadi sense yang ingin disampaikan kepada penonton dapat, penonton jadi sabar menanti scene selanjutnya walaupun scene tersebut dapat kita tebak a seperti apa. Jarang sekali saya menyaksikan gambar-gambar fotografis seperti itu. Tambahan lagi, setting alam Sabang yang jarang diekspos selama ini. Ada beberapa kali saya merasa berada di negara lain, padahal masih di Indonesia.

Sebagai penikmat sastra, saya kadang menangkap ada beberapa kalimat yang bias. Mungkin penulis fokus pada pemilihan diksi yang puitik, hingga kurang awas pada maknanya.

Nadia Vega yang berperan sebagai Keumala beberapa kali ‘bocor’. Keumala si penderita rabun senja tidak buta siang hari. Di beberapa adegan, Nadia Vega berakting buta padahal bukan pada waktunya. But well, aktris cantik ini berhasil memerankan tokoh Keumala yang menurut saya memang cocok diperankan olehnya.

‘Keumala’ cocok ditonton oleh pelaku sastra yang bijak di karya saja. Walaupun agaknya kurang etis menilai seorang sastrawan dari kesehariannya. Sindiran Langit atas sikap Keumala yang tidak inspiratif seperti dalam karya-karyanya akan menohok pelaku sastra yang sulit diajak komunikasi di dunia nyata.

Sunday, 4 March 2012

6 Maret 2012

Ketemu pocong wajah imut, dibawa genderuwo mata belo.
hahahah
genderuwo temenin saya sampai bodo', jatuh, nyasar ke mana-mana, dan berkali-kali lewat depan kuburan.

pocongnya cuma satu tapi magisnya sampai hari ini. pukul 4 sore, cuyy!


i was going around this bullshit city to meet fucking people and sniff pocong.

what a wondercool night

Newer Posts Older Posts Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger