Berlama-lama di sini hanya
menyenangkan hati Alma, tapi tidak hatiku. Maksudku, aku senang berada di kota
ini, berteman dengannya. Aku senang memberi tumpangan skuter sewaan ini padanya,
lalu seperti biasa ia turun lima puluh meter lewat kuburan tua – tanpa pernah
kutahu kenapa ia turun di situ – setiap hari. Tiap kota kuberi jatah paling
lama tiga bulan. Satu bulan untuk mengenal kota dan kenalan sana-sini. Satu
bulan untuk cari gara-gara, maksudku melakukan apa yang bisa kulakukan di sana.
Sisanya memikirkan destinasi berikutnya.
Alma tentu senang jika kutunda
kepergianku barang satu atau dua bulan. Dari gerak-geriknya, mungkin dia sedang
jatuh cinta padaku. Ia tak pernah terlambat membawakanku sarapan pagi. Kamar
sewaannya tepat di samping kamarku. Dia senang memasak dan lebih senang jika
masakannya dinikmati sampai habis. Aku satu-satunya orang, katanya, yang selalu
menghabiskan masakannya.
Agar ia tidak begitu kecewa,
sebaiknya kuberikan hadiah perpisahan. Seperti kota lainnya, aku tak pernah
berjanji pada siapapun di sana bahwa aku segera kembali. Aku tidak suka pulang
pergi. Aku suka terus berjalan, ke manapun asalkan aku tidak berhenti. Hidupku
bukan untuk menetap, kurasa. Hmm... sebaiknya aku memberi Alma, sebuah Almari.
Karena ia sering turun dekat
kuburan dan aku ingin pergi dengan keren, sebuah pahatan Almari (aku punya
souvernir berukuran sekepalan tangan) dan tengkorak bayi kucing. Tentu toko ini
menjualnya.
Maksudku apa yang tidak dijual di
toko ini. Tokonya berisi segala rupa barang. Dari keset bekas hingga sebidang
tanah. Pemiliknya selalu memberi informasi di mana pelanggan dapat menemukan
yang dicarinya jika kebetulan ia tidak punya. Dalam bau apek dan pengap tokonya,
aku dibawa ke sederet rak memajang stoples-stoples berisikan kebutuhan kelas
sains. Di antara awetan katak dan ular albino, stoples bening berisi
kerikil-kerikil berpenampilan jauh lebih menarik dari yang lainnya, tepat dalam
rak di belakang. Pikirku, orang mana yang ikut-ikutan hobiku mengoleksi batu?
“Barang jualan kelompok daur
ulang dari gang sebelah,” kata pemilik toko. Kubayar tanpa menunggu kembalian.
Si bapak mengacungkan tengkorak bayi kucing, lantas aku keluar toko dengan hati
hampir meledak.
Alamanda, Swarsa, New Delphia,
dan sederet nama kota lain, tempat-tempat yang pernah menerimaku dengan bijak
tertulis di tiap kerikil itu. Dan batu yang tampak begitu kentara dari luar
stoples bertuliskan nama kota apung kecil. Kota yang jelas tidak tertulis dalam
peta. Tempat paman Gaiman yang mungkin sedang menungguku.
0 komentar:
Post a Comment