Monday, 1 July 2013

Pulau Gaiman

Berlama-lama di sini hanya menyenangkan hati Alma, tapi tidak hatiku. Maksudku, aku senang berada di kota ini, berteman dengannya. Aku senang memberi tumpangan skuter sewaan ini padanya, lalu seperti biasa ia turun lima puluh meter lewat kuburan tua – tanpa pernah kutahu kenapa ia turun di situ – setiap hari. Tiap kota kuberi jatah paling lama tiga bulan. Satu bulan untuk mengenal kota dan kenalan sana-sini. Satu bulan untuk cari gara-gara, maksudku melakukan apa yang bisa kulakukan di sana. Sisanya memikirkan destinasi berikutnya.

Alma tentu senang jika kutunda kepergianku barang satu atau dua bulan. Dari gerak-geriknya, mungkin dia sedang jatuh cinta padaku. Ia tak pernah terlambat membawakanku sarapan pagi. Kamar sewaannya tepat di samping kamarku. Dia senang memasak dan lebih senang jika masakannya dinikmati sampai habis. Aku satu-satunya orang, katanya, yang selalu menghabiskan masakannya.

Agar ia tidak begitu kecewa, sebaiknya kuberikan hadiah perpisahan. Seperti kota lainnya, aku tak pernah berjanji pada siapapun di sana bahwa aku segera kembali. Aku tidak suka pulang pergi. Aku suka terus berjalan, ke manapun asalkan aku tidak berhenti. Hidupku bukan untuk menetap, kurasa. Hmm... sebaiknya aku memberi Alma, sebuah Almari.



Karena ia sering turun dekat kuburan dan aku ingin pergi dengan keren, sebuah pahatan Almari (aku punya souvernir berukuran sekepalan tangan) dan tengkorak bayi kucing. Tentu toko ini menjualnya. 
Maksudku apa yang tidak dijual di toko ini. Tokonya berisi segala rupa barang. Dari keset bekas hingga sebidang tanah. Pemiliknya selalu memberi informasi di mana pelanggan dapat menemukan yang dicarinya jika kebetulan ia tidak punya. Dalam bau apek dan pengap tokonya, aku dibawa ke sederet rak memajang stoples-stoples berisikan kebutuhan kelas sains. Di antara awetan katak dan ular albino, stoples bening berisi kerikil-kerikil berpenampilan jauh lebih menarik dari yang lainnya, tepat dalam rak di belakang. Pikirku, orang mana yang ikut-ikutan hobiku mengoleksi batu?

“Barang jualan kelompok daur ulang dari gang sebelah,” kata pemilik toko. Kubayar tanpa menunggu kembalian. Si bapak mengacungkan tengkorak bayi kucing, lantas aku keluar toko dengan hati hampir meledak.


Alamanda, Swarsa, New Delphia, dan sederet nama kota lain, tempat-tempat yang pernah menerimaku dengan bijak tertulis di tiap kerikil itu. Dan batu yang tampak begitu kentara dari luar stoples bertuliskan nama kota apung kecil. Kota yang jelas tidak tertulis dalam peta. Tempat paman Gaiman yang mungkin sedang menungguku. 

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger