Thursday, 27 June 2013

Kekuatan Semiotika, Story-telling dan Art of Revenge dalam 'Pieta' (Kim Ki Duk, 2012)

Dibuka dengan adegan-adegan di kamar tidur karakter utama disampaikan dengan lugas, sebagai introduksi slasher ini jadi tidak begitu mengerikan, malah terkesan kuat mewakili karakter utama yang kejam dan misterius. Belumlah film bergulir lama, adegan mimpi basah, darah, dan usus binatang sudah diperlihatkan. Tempo yang lambat membuat elemen-elemen dalam film tidak begitu mengerikan.

Sehari-hari Gang-Do (Jeong-Jin Lee), sang tokoh utama bergerilya di distrik industri yang tampak kumuh, ia menagih utang dari lapak ke lapak kecil dengan caranya yang 'menyenangkan'. Ia tinggal meminta nasabahnya memilih 'bayar dengan uang' atau 'dengan anggota tubuh' sekarang juga. Alangkah cerdas Ki Duk menghadirkan set distrik yang rongsok, gelap, dan dingin. Seolah tokoh utama memang terlahir untuk menduduki wilayah itu. Semua department artistik tidak ada pemborosan. Dalam lapak-lapak itulah si tokoh utama beraksi, mengeluarkan darah, memotong tangan, hingga mempermainkan istri orang tanpa merasa bersalah. Dan para nasabah yang terlanjut berurusan dengan orang sakit itu pun tak punya pilihan selain berkorban.



Mungkin sejenak anda akan merasa marah, jijik, sekaligus malu menyaksikan aksi Gang-Do. Akan tetapi, Ki Duk beralasan kuat untuk memainkan ini. Ki Duk sebelumnya memang dikenal sebagai sutradara kontroversial. Ia selalu mengambil tema dan visualilasi yang mengundang begitu banyak perdebatan. Visualisasi simbolis beresiko namun cerdas, menurut saya.




Adrenalin menurun setelah 15 menit pertama, namun curiosity penonton digelitik. Tetiba saja, muncul sosok seorang ibu paruh baya yang terus-menerus mengikuti si tokoh utama, mengaku ibunya. Konflik pun disulut antara seorang anak yatim-piatu yang tumbuh menjadi monster dan wanita misterius yang meyakinkan anak ini bahwa ia adalah ibu kandungnya. Ki Duk membuat kita percaya bahwa Mi-Son (Min-Soo Jo) ini adalah ibunya. Membuat penonton lupa pada sepotong adegan yang diletakkan seolah tempelan belaka di bagian paling pertama. Sebagai titik tolak keindahan art of revenge menurut sang sutradara.

Bukan Ki Duk kalau ceritanya tidak ber-ending tragis atau sekalian absurd. Ia selalu menyisipkan pesan super dalam setiap simbolisasi visual ciptaannya. Dialog-dialog minim, suara sunyi, set sepi, dan semua elemen ditampilkan tepat sesuai kebutuhah cerita saja. Sebagai penyedap, khas nyentriknya, Ki Duk menambahkan twist. Meskipun beberapa orang mungkin mampu menebaknya, cara bertutur Ki Duk akan membuatnya menjaga kesabaran sampai ke penyelesaian cerita.




Ki Duk adalah pencerita handal yang dapat menanamkan ceritanya pada penonton dalam waktu yang cukup lama. Teknis sinematografi yang digunakannya pun selalu mengingatkan saya, bahwa film bagus tak harus 'wah' dengan teknik-teknik yang mahal.

Saya mengagumi penggambaran kerumitan hubungan kedua tokoh utama ini dalam cara yang lugas, vulgar, kasar, tapi bukan untuk kontroversi belaka. Ada 'rencana besar' dalam setiap karya Ki Duk. Pada akhirnya semua adegan 'sakit jiwa' dalam Pieta disadari sebagai keharusan demi menyampaikan pesan yang ternyata berkebalikan dari makna-makna simbolisasi vulgar tersebut. Pieta (bahasa Italia) menggambarkan virgin mary, salah satu yang dikultuskan dalam agama Kristen. Dan Ki Duk ternyata memiliki interpretasi menarik atasnya.

0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger