Kalo Puthut Ea dalam “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” punya rumah di setiap kota, saya punya banyak Teras di seantero Kota Daeng ini, kawan.
Inilah sebatu menhir persegi. Tertera huruf-huruf tercipta dari malam bertangis dan renyah sore pemilik teras. Huruf-huruf tanda terima kasih.
Teras Berpasir
Butuh waktu kurang lebih 45 menit untuk mencapainya. Teras itu jauh di sebelah barat Makassar. Tepatnya di Tanjung Bayang. Adalah seorang gadis pesisir manis pemiliknya. Tulang badannya besar dan lebar. Dari belakang mirip seorang kuli bangunan. Rambut panjangnya menepis dugaan itu. Hasra Ramadhana. Dulu, saat masih di MAN Model, kami sekelas. Juga satu angkatan di ambalan Mujahid. Aku, dia, dan Heny berteman amat karib. Kami berbagi segala sesuatunya bersama. Kalau tak ada kerjaan, aku dan Heni berpelesir ke sana. Tak perlu mengeluarkan dana selain uang bensin dan jajanan di kios pinggir jalan.
“Mau ke rumah Dg. Rukka” ini password jika hendak melewati pos masuk tanjung jalur gratis. Di pertigaan setelah pos, belok kanan, ikuti jalan setapak, teras itu berdiri bersahaja di sisi kiri. Sederhana menapak pasir hitam pantai
Aku dan Heni senantiasa dijamu segelas teh gelas atau racikan sirup DHT dan beberapa cemilan dari warung keluarganya. Tak lupa pelukan hangat dari ibunya dan perhatian ayahnya. Lalu kami bercengkrama seolah aku ini anak yang dua jaman tak pulang.
Hasra punya balai-balai yang diperuntukkan untuk wisatawan tanjung. Bagi kami, gratis plus cemilan lagi. Kami bertiga sering menikmati sunset di sana. Sambil berbagi cerita paling masuk akal, sampai yang tabu jika mungkin diperdengarkan.
Biasanya… sehabis tendang-menendang kaki semalaman, kami bangun pagi-pagi betul, mendirikan shalat lalu ngacir, nyeker menelusuri pantai sampai ke muara sungai Je’neberang di sebelah selatan.
Berbulan-bulan ini, kami bertiga digerus kesibukan masing-masing. Heni dengan kuliah, kerja dan percintaannya. Hasra dengan bisnis mlm dan jaga di Mall GTC, aku oleh kesibukan sebagai mahasiswa, penggaul, petualang, dan penggiat sastra, seni, dan budaya. Praktis tak ada waktu lagi untuk memanasi dipan bamboo buatan ayahnya.
Terasku ini, selalu sederhana dan penyubur kenangan taburan hati.
Teras Tepi Kanal
Siang hari, teras ini diramaikan tukang ojek saja. Lalu-lalang kendaraan yang berasal dari jalan sebelah, jalan gotong royong menuju jalan abubakar lambogo pasti sempat terpaku pada teras di sudut perempatan itu.
Saat malam tiba, seperti kucing liar di sekitar bak sampah, anak muda di sekitarnya berdatangan untuk kongkow. Ada seorang gondrong pemabuk, mirip vokalis Blackout menanti kami di kegelapan teras. Dia akan bermain gitar dengan harmonica di bibirnya. Matanya selalu berbicara pada kami. Sebab cahaya kurang, kami tak pernah menimpalinya.
Teras ini punya Izna, seorang sahabat baik yang diperkenalkan oleh sahabat sejak kecil tahun 2007 silam. Anak-anak di sana, tergolong cheerleader-ku di masa transisi dari punya keluarga lengkap jadi berkeluarga tak jelas. Proses perceraian itu, kawan. Kuhabiskan banyak malamku di sana hingga pukul satu dini hari agar tidak menerus disiksa luka rumah.
Aku makan, tidur, dan boker di sana. Lucunya, saat pertama kali menginjakkan kaki, mereka mengira aku berasal dari keluarga yang taraf ekonominya tak jauh berbeda dengan mereka. Setelah sekali bertandang ke rumah, mereka kaget dengan kediamanku yang besar.
Aku bilang, di sini luas. Tapi hatiku menyempit. Di Dekker sempitmu, entah mengapa hatiku pandai bertumbuh.
Teras Dua Piatu
Dari matanya, seringkali terjatuh nanah di sela jam belajar. Tangisan asing berubah pekat. Tangis, jadi darah. Darah jadi nanah. Bertahun-tahun ia menahan tangis tak jatuh, maka jadilah nanah. Jatuhan satu itu tak pernah niat kutahan. Suatu kali, kutuliskan sepotong sajak untuknya. Nanah itu jatuh lagi. Namun ia ketagihan. Katanya, nanah itu bengkak. Tegakah kau lihat aku berbengkak mata setiap berangkat sekolah?
Karena serapan puisiku, aku diajak ke rumahnya. Aku dijamu di teras, dengan teh hangat dan kue kering buatannya sendiri. Namun Arfina tak pernah bisa bercengkarama cukup lama denganku. Paling banter sepuluh menit, selebihnya ia akan sibuk di dapur atau kamar ruang cuci. Ia piatu. Dipiara sanak keluarga seolah anak sendiri. Bagiku ia pesuruh.
Aku pernah membayangkan, ditinggal mati ibu, kemudian ayah menikah lagi. Aku dan adikku dipindahrumahkan ke rumah kakak ibu, dipiara tuk jadi pesuruh, disekolahkan namun ia tak pernah marah jika aku membolos. Semua ini kemudian membuatku memutuskan mimpi tak harus dikejar.
Wanita ini punya dua hati. Kanan dan kiri. Yang kiri ia serahkan pada kerabat itu, rela. Yang kanan ia pelihara sendiri untuk hidupnya kelak. Aku belajar membuat kue kering dan masakan rumah di teras Arfina. Dibantu adiknya. Anak kecil yang belajar menguras air mata agar tak jadi nanah. Kata Arfina, kau hadapi hari esok bersenjatakan kesedihan, sebab aku tahu, hatimu ada tiga. Yang satu, kau simpan untuk ibu.
Teras ini senantiasa berderis miris. Demikianlah derik tirisanku. Seperti bisik kecil penggigit deru kehidupan.
Teras itu Bernama 'Sarang'
Aku kena makna nyata “Persahabatan SMA itu untuk selamanya”. Ya, kami, segenap pemangkal sarang ini bertemu pertama kali saat SMA, kelas satu. Dua di antaranya teman sebaya sejak kecil. Mereka Firman dan Faiz.
Dulu, di kelas kami, ada klasifikasi kecil-kecilan. Yang suka gossip, menyudut di arah jam 5 pintu kelas. Yang mata papan tulis, mengudeta jejeran bangku terdepan. Dan kami, anak-anak baru gede, baru melek, senang rusuh berkoloni di area tengah dan belakang kelas. Adalah kami sebagai penyebab utama banyak guru hendak hengkang dari kewajiban mengajar. Heni (lagi), Faiz, Firman, dan Boxing. Ritual asap-asapan lumrah bagi kami. Bahkan tiga tahun belakangan ini, asap itu semakin wangi nan memabukkan.
Sarang, garasi pernah jadi toko barang kelontong, disulap Firman jadi basecamp kami setelah lulus SMA. Di sanalah muara kami. Heni bekerja, aku kuliah di Unhas, Faiz di Stimik Dipanegara ambil disiplin ilmu Teknik Informatika, dan Boxing di UNM. Di atas pukul Sembilan malam, kami menyempatkan diri kongkow di sarang. Apapun kami lakukan bersama, kecuali berbagi kekasih mungkin.
Yang namanya persahabatan, seringkali dirusak sedikit oleh cinta. Aku pernah berkasih dengan Firman, Heni pernah menjalin cerita dengan Faiz. Dan sebelum berkasih dengan Firman, Boxing sempat bilang tertarik padaku.
Pernah suatu lama, aku dan Heni hilang batang hidung dari sarang. Muncullah makhluk-makhluk baru yang menambah kesan kelam tempat itu, Edwin, Reja, Kodok, dan Sadli. Ada juga penghuni musiman, muncul saat libur saja. Dan seperti nayamuk, banyak tapi yang teruncing moncongnya saja yang dapat dikenali. Mereka datang silih berganti. Kadang muncul jika mencari bahan baku mabuk-mabukan.
Sarang, seringkali kusebut kamar rehabilitasi. Di dalamnya, pernah terjadi kasus nyari overdosis, nyaris mati ditobok kekasih, nyaris mati dicekap makhluk halus. Ya, tempat ini benar-benar gila.
Oleh seorang cenayang, temanku juga, Sarang didaulat sebagai tempat bertemunya roh-roh halus seputara Makassar bagian Timur. Pemiliknya sendiri, Firman mengakui itu. Bahkan dia menyimpan beberapa benda keramat di salah satu kamar di dalam rumah. Sarang hanya garasi awalnya, namun semenjak Firman ditinggal kedua orangtuanya, Sarang adalah sebangunan bertingkat itu. Katanya, dia membiarkan sesosok Pontianak tinggal di wc tempatku sering muntah kalau kebanyakan minum.
Menyendiri dan tak punya nyali di Sarang adalah tindakan bodoh. Makanya, Boxing yang stiap hari berbekal busur dan kalewang jika ke kampus saja, sering nangis sendiri kalau Firman dan aku keluar cari makan.
Seseram-seramnya Sarang, paling tidak itulah tempat paling demokratis dan bebas yang pernah kudiami. Sampai sekarang malah.
Dua malam lalu, kutandangi Sarang. Hanya Firman yang ada di sana, seperti biasa, pelototi layar berkoneksi internet, menyelesaikan job-job game yang tak ada habisnya. Tatapannya aneh saat itu. Katanya, sejam lalu Boxing datang membawa beberapa biji obat penenang. Tak lama, datang Faiz. Sarang itu seperti medan magnet, merapatkan orang-orang kepala besi dari radius puluhan meter. Katanya, dia tak niat singgah, namun tiba-tiba kepengen. Jadilah kami bertiga, kembali bernostalgia.nostalgila.
Sarang pekat, sarang jalang.
Banyak nyamuk di sana, tak mengalahi riuh kejutan.
Sarang kelam, sarang malang.
Sejauh mata memandang, di sanalah kami selami kerinduan
Teras Berdawai
Teras itu adalah angklung, kecapi, dan gendang. Tiga alat musik perindu. Suasana pedesaan dan kesederhanaan sempurna kutemukan di teras ini. Rumah kecil yang ramai. Setengahnya difungsikan sebagai dapur untuk menciptakan aneka penganan khas jawa dan nasi kuning bersambal paling nikmat.
“Masuklah ke kandang kami,” Aku akrab kalimat ini. Si pengujar juga akrab dengan timpalanku, “Sekujur tubuh bumi ini kandang, ibu,”
Ibu dari sahabatku adalah ibuku. Suka tidak suka, berikan ibumu padaku. Sebab kami sama-sama menyayangimu. Dia ibu yang sangat baik. Pula istri yang pandai menyimpan masalah keluarganya, menyembunyikannya dari gunjingan tetangga. Ibu-ibu di sekitar rumahnya sering berkata padaku, saat aku menunggu sahabatku di halaman rumah.
“Keluarga Mbak ini damai skali ya. Kami tidak pernah mendengar pertengkaran dari dalam,”
Aku tersenyum saja. Semestinya kalian juga begitu, jangan menyebarluaskan masalah keluarga kalian pada orang banyak. Pikirlah, apa gunanya seluruh dunia tahu bahwa kalian kesulitan beli beras hari ini. Dunia sedang dipenuhi orang egois, mana mau memedulikan masalahmu. Pun ada baiknya kalian menyelesaikan masalah sendiri dulu semampu kalian, baru minta saran sama orang lain. Kalian ini bukan selebritas tanah air loh.
Sejak ramadhan, Heni ditinggal keluarganya ke Jawa. Dia tidak ikutan mudik, sebab masih ada urusan kuliah dan pekerjaan yang tertunda. Heni memang penuh tanggung jawab, satu pesona dari teras sederhana ini. Jika ada yang hendak kujadikan kekasihku, Henilah orangnya.
Sahabat itu, pemilik salah satu bilik di hatimu
0 komentar:
Post a Comment