Saturday, 1 September 2012

Something 'Perhaps'

Orang-orang mengenal saya di beragam profesi yang saya sendiri sebenarnya tidak sanggup memilih. Pernah ada teman yang bertanya, ‘Kamu sebenarnya pengen jadi filmmaker atau penulis?’ dahi saya mengerut hebat, tatapan saya memicing, saya jawab ‘Mengapa saya mesti memilih?’

Saya terlahir lebih memahami kesenian ketimbang ilmu pengetahuan lainnya. Sejak kecil saya menyenangi seni bahasa, sastra. Seni kata ini saya kenal pertama kali lewat majalah anak-anak harga tiga ribu rupiah yang terbit per minggu.

Saya juga menggemari kerajinan tangan. Semasa kecil, para remaja di sekitaran rumah saya sering membentuk bebungan dari pipet warna-warni. Saya membuat prakarya serupa dan menjualnya dengan harga yang saat itu sangat lumayan untuk kantong anak sekolah dasar. Namun kepuasan saya justru ‘terbeli’. Saya menatap satu-persatu prakarya saya terbeli orang dengan hati berat. Bagi saya, kesenian tidak memiliki harga.

Selain menulis, berprakarya, di usia SLTA saya juga membuat kaligrafi. Bersama dua teman sekelas, saya berguru dengan seorang kakak membuat kaligrafi di atas kaca. Berbulan-bulan saya mengikuti kakak itu, menggambar pola di atas kertas, menjiplaknya di atas kaca transparant, dan menyemprotkan warna. Hasil karya itu saya pajang di rumah, menjadi penyambut di ruang tamu. Saya merasa puas, walaupun saat itu saya bisa menjualnya dengan harga yang tinggi.



Saya pun terbiasa menggambar sejak kecil. Mungkin pengaruh komik bacaan atau gambar-
gambar absurd dalam mimpi kecil saya. Kamar saya yang sempit hampir setiap tahun saya dekorasi ulang dengan gambar-gambar dari alam mimpi. Di kemudian hari, ayah saya marah besar karena menganggap kamar saya seperti sarang setan. Hanya Ibu saya, yang meminta saya melukis di atas kanvas demi menambah hiasan di ruang tamu.


Sembari aktif menggambar (saya pernah jadi tukang tato dadakan untuk teman sekelas), saya menulis cerita, cerita apa saja. Saya membaginya dengan teman-teman sekelas, menempelnya di mading sekolah, dan menyertakannnya dalam perlombaan. Stratifikasi pendidikan di sekolah saya, di mana keilmuan yang saya cintai ini beroleh diskriminasi hebat, baik di kelas maupun di lingkungan pergaulan sekolah, membuat saya terpukul kala itu.

Namun saya percaya dengan kesenangan ini, saya bertekad untuk menulis demi siapa saja yang pula turut menyenanginya. Hasilnya, begitulah, saya tidak mendapatkan tempat yang tepat di jantung sekolah.

Diskriminasi ini berlanjut sampai ke bangku sekolah menengah atas. Saya harus menghentikannya, ada batin yang tertekan dalam tubuh saya. Di perkuliahan, saya mendaftar di fakultas sastra. Dan demi melebarkan keindahan bahasa Indonesia, saya memilih jurusan sastra Inggris. Di sinilah saya sekarang, menjadi penikmat sekaligus pelaku sastra yang sesekali menjamah lukisan.

Menyoal kegiatan fimmaking saya, yang banyak dianggap orang jauh bergeser dari studi dan kesenangan saya. Saya dengan lantang akan meneriaki mereka, ‘Ini sangat berhubungan’. Perfilman erat kaitannya dengan kesusasteraan, sebab wujud lain karya sastra adalah skenario. Dalam skenario, utamanya fiksi, terdapat narasi-narasi dan dialog. Kedua hal ini perwakilan terajib dari kekuatan seni bahasa. Makanya saya tak mau jauh-jauh mempelajari teknis pembuatan film selain demi kebutuhan bahasa skenario.
Saya menyenangi perfilman, berkadar persis di bawah kesenangan saya akan sastra.

Dengan film, segala aspek kesenian, tradisional, ‘seni dunia transisi’ sampai yang berteknologi mutakhir bersatu-padu untuk ditonton dan didengar. Maka dari ini, saya menggemarinya. Kebiasaan melukis, berprakarya, dan lainnya dapat saya leburkan ke dalam film. Walaupun sejauh ini karya film terbaik saya hanya berdurasi putar 40, 1 menit.

Di lain waktu, jangan meminta saya memilih dunia seni mana yang akan saya geluti sampai mati. Tapi tanyakan pada saya, ‘Tidakkah kamu ingin mempelajari dunia lain, bisnis misalnya?’ Untuk pertanyaan semacam itu, jawaban saya, ‘Perhaps’.






0 komentar:

Newer Post Older Post Home

Pages

 

Popular Posts

 

Designed by restuwashere | CSS3 by David Walsh | Powered by {N}Code & Blogger